Beranda / Romansa / AIR MATA RINDU / Mau Pergi Sama-Sama?

Share

Mau Pergi Sama-Sama?

Penulis: Deshika Widya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-13 11:41:38

Hari ini begitu berat kujalani. Kaki yang biasanya melangkah yakin, kini perlu diseret untuk bisa sampai di dapur yang masih sepi.

Ya, seperti inilah kegiatanku setiap hari. Memasak, mencuci, membersihkan seluruh penjuru rumah, dan pergi bekerja setelahnya.

Tangan tanpa tenaga ini mulai bergerak mengiris sayuran dengan pelan. Menimbulkan bunyi yang menemaniku di sini. Sekarang, aku sudah sedikit lebih tenang dibanding semalam.

Biar bagaimanapun, hidup harus tetap berjalan, bukan?

Setidaknya, aku harus bisa bertahan sampai keadaan benar-benar memungkinkan. Tenang saja, rencanaku untuk pergi dari sini tetap ada. Namun, akan kuutarakan nanti.

"Nggak usah masak banyak-banyak, Rin. Ibu sama mbakmu sudah pergi ke kota pagi sekali."

Suara Bapak membuat aku menoleh dengan dahi yang terlipat ke dalam. "Pergi sepagi ini? Mau apa, Pak?"

Kulihat, Bapak seperti ragu untuk menjawab. Pria kesayanganku itu tampak menghela napas panjang sembari mengambil duduk pada kursi.

"Mereka ...."

Kutatap mata sayu Bapak dengan keriput yang sudah terlihat jelas. Mata itu masih ragu untuk menjawab. Namun, aku tetap menunggu dengan sabar.

"Mereka ... pergi buat cari bahan."

Aku kembali mengernyit. Tak mengerti dengan jawaban Bapak. "Bahan? Bahan untuk apa, Pak?"

"Untuk ... membuat baju pengantin mbakmu."

Kali ini aku diam. Bibir ini pun terkunci rapat seolah tak mau lagi merespon apa-apa. Mungkin bibirku saja tahu betapa menjijikannya nama Mbak Zita.

Tuhan ... bukan aku bersikap tak sopan. Tapi, sejak kejadian semalam, aku sama sekali tak memiliki rasa hormat untuk Mbak Zita lagi.

Aku ... benci.

Kulanjutkan kembali kegiatan yang sempat tertunda tadi. Sungguh, aku tak mau peduli lagi pada Mbak Zita juga Mas Dimas. Terserah mereka mau menikah atau apalah. Toh, tanpa mereka pun aku masih bisa hidup, kan?

"Rin ...."

"Hm?" Aku hanya menyahut panggilan Bapak dengan deheman. Masih dengan posisi yang sama hingga tak bisa melihat wajah Bapak.

Ya, aku berdiri di samping kompor. Sedang Bapak duduk di kursi menghadap meja makan yang ada di belakangku saat ini.

"Kamu ... gak apa-apa, Nak?"

Kali ini aku tak menjawab, membiarkan pertanyaan Bapak menggantung di udara. Terdengar aneh memang, kenapa pria itu masih bertanya demikian? Tak tahukah hatiku sehancur apa semalam?

Meski sudah berusaha untuk tegar dan menerima kenyataan, di hatiku tetap ada yang mengganjal. "Pak ...," panggilku memecah keheningan.

"Apa, Nak?"

Kutarik napas dalam-dalam sebelum memberi Bapak satu pertanyaan yang mengganggu sejak semalam. Berharap, pria tua itu tak terkejut nantinya.

"Kalau boleh tahu, kenapa Bapak izinkan Mbak Zita nikah sama Mas Dimas?" tanyaku dengan luka hati yang kembali terbuka hanya karena menyebut nama lelaki itu.

Diam.

Hanya keheningan yang kudapatkan di sana. Tak ada sedikit pun jawaban yang keluar dari mulut Bapak. Hingga setelah beberapa lama, Bapak pun memberi jawaban yang menurutku tak meyakinkan.

"Kamu tahu sendiri posisi Bapak di sini seperti apa, Rin. Bapak ... nggak bisa berbuat apa-apa."

Sumpah demi apa pun, kurasa bukan ikut alasan yang tepat atas kejadian semalam.

"Kenapa Bapak nggak bilang sama Rindu kalau Mas Dimas datang buat melamar Mbak Zita? Setidaknya, Rindu nggak perlu lihat pemandangan itu, Pak. Lagipula, Rindu rasa ada yang Bapak sembunyikan."

Diam.

Bapak tak menyahut satu kata pun atas pertanyaanku. Membuat dada ini kembali sesak karena merasa semua orang memang sengaja membuatku terluka.

Termasuk Bapak.

Sembari memasak, ingatanku kembali melayang pada saat aku bersiap sebelum Mas Dimas datang.

"Sudah siap belum, Rin?" tanya Mbak Zita di ambang pintu kamarku saat itu.

Meskipun sedikit ragu karena mbakku itu tiba-tiba baik, aku tetap tersenyum sembari mengangguk. "Sudah, Mbak."

Mbak Zita ikut tersenyum sambil melangkah masuk. Dia gandeng tanganku hingga kami bersisian. Namun, aku sedikit tak nyaman dengan kebaya yang Mbak Zita kenakan.

"Kenapa kebaya kita sama, Mbak?" Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk bertanya.

Mbak Zita masih tersenyum, lantas menjawab, "Kan Ibu emang beli buat kita berdua. Sengaja biar kembar."

Bodohnya aku yang percaya begitu saja saat itu. Padahal, Mbak Zita sengaja berdandan sama karena dia yang akan dilamar.

Tuhan ... tolong beri aku kekuatan.

Setelah masakanku matang, gegas aku sarapan bersama Bapak. Hanya berdua. Kemudian, bersiap untuk bekerja seperti biasa.

Ya, meskipun berat karena di sana ada Mas Dimas juga.

Kami memang bekerja di pabrik yang sama. Pabrik roti yang cukup terkenal di desa kami. Pendistribusiannya pun sudah sampai ke seluruh kota dan kabupaten sekitar. Hasil dari sanalah aku bisa sedikit demi sedikit menabung dan menyambung hidup.

"Mau berangkat sekarang, Rin?" tanya Bapak ketika aku keluar dari kamar.

Bapak terlihat duduk di atas sofa tua yang sudah ada sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Sedang satu cangkir kopi yang masih mengepul terletak di atas meja di depannya.

Kaki ini melangkah lebih dekat dan duduk di samping Bapak. Aku mengangguk saja sembari melirik pada jam bundar yang terpasang di dinding. Masih ada waktu sebelum aku berangkat ke pabrik.

Sepertinya, ini waktu yang tepat untuk aku bicara berdua dengan Bapak.

Bapak terlihat keheranan. Mungkin karena aku hanya diam. Baiklah, sekarang kuubah posisi duduk menjadi sedikit menyamping agar bisa lebih serius lagi.

"Rindu mau bicara, Pak."

Bapak tampak mengangguk, memberi persetujuan. Langsung saja aku berkata, "Rindu ... mau merantau ke kota, Pak."

Bapakku langsung terdiam. Mungkin terkejut, atau justru tak senang karena akan aku tinggal. Wajar, sedari kecil aku memang belum pernah jauh dari Bapak. Bekerja pun hanya di sekitar desa saja.

"Rindu ... mau memulai hidup baru di kota, Pak. Setidaknya, Rindu nggak akan merasa terbebani melihat Mbak Zita dan Mas Dimas menikah nantinya."

Bapak masih diam, membuatku kembali berucap, "Bapak tahu sendiri, Rindu akan terus bertemu Mas Dimas jika di sini. Dan itu ... menyakitkan buat Rindu, Pak."

"Rindu mohon, izinkan Rindu pergi, ya, Pak?"

Bukan jawaban yang kudapat. Malah air mata Bapak yang keluar, membuat dadaku sesak. Pria tua itu terisak dengan tatapan sendunya.

"Pak ... kenapa Bapak malah nangis?"

Tanganku terulur untuk mengusap air mata yang membasahi wajah tua Bapak. Sungguh, aku tak tega.

"Apa perkataan Rindu buat Bapak tersinggung? Rindu buat Bapak sakit hati, ya?"

Bapak tampak menggelengkan kepala dengan air mata yang masih mengalir di kedua pipi. Sejurus kemudian, ia menarik tubuhku ke dalam pelukan.

"Ka-kalau kamu pergi, Bapak sama siapa, Nak? Si-siapa yang rawat Bapak kalau sakit? Si-siapa yang siapin Bapak obat? Si-siapa yang peduli sama Bapak?"

Tuhan ... aku sampai lupa jika hanya aku yang bisa Bapak andalkan. Jika aku tak ada, Bapak bagaiamana? Sepertinya aku terlalu egois memikirkan rasa sakit hingga lupa jika ada seorang pria tua yang hanya bergantung padaku di sini.

Namun, sanggupkah aku untuk tetap bertahan di sini? Memikirkannya pun sudah berat sekali.

Otakku kembali bekerja sembari menenangkan Bapak. Hingga tiba-tiba saja terlintas sebuah ide di kepala.

"Pak ... gimana kalau kita pergi sama-sama?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AIR MATA RINDU   Boleh, Kan?

    Aku melangkah tanpa semangat menuju tempat bekerja setelah lolos dari ruangan Bu Siska. Rasanya, kaki ini langsung kehilangan tenaga ketika tadi wanita itu berkata, "Gaji kamu tetap saya potong! Dan kamu nggak boleh ambil izin lagi setelah ini!"Tuhan ... bagaimana jika suatu saat aku memang tak bisa masuk kerja? Tak hanya karena harus mengantar Bapak, tapi karena sebab yang lainnya juga. Bukankah selalu ada saja hal mendadak yang tidak bisa kita tinggal?Separah ini pekerjaanku. Gaji yang bisa dibilang kecil, lembur pun hanya dibayar murah yang kurasa tak sesuai. Belum lagi, Bu Siska memang tak bisa ramah para karyawan.Bisa kutebak, orang-orang bertahan di pabrik roti ini karena tak memiliki pilihan pekerjaan. Bukan karena betah berada di bawah kuasa bos besar yang entah siapa.Ya, kami tahu nama pemilik pabrik. Namun, tidak dengan wajahnya. Sejak awal pabrik ini berdiri 5 tahun lalu, kami langsung diarahkan oleh Bu Siska yang katanya diberi mandat untuk memegang kuasa."Rin, kamu k

  • AIR MATA RINDU   Tahu Akibatnya

    Aku dan Bapak kompak menoleh sembari mengernyit heran saat mendengar Bu Wati meneriaki nama Janu. Ya, mungkin maksudnya Dokter Januar. Terbukti, pria itu langsung keluar lagi dari dalam mobil begitu mendengar suara Bu Wati."Sepertinya mereka saling mengenal," gumam Bapak yang masih bisa kudengar. Kualihkan perhatian pada Bapak yang masih duduk di atas sofa dengan pandangan yang keluar. "Rindu anter ke kamar dulu, yuk, Pak! Habis ini Rindu mau ke pabrik," ucapku.Ya, meski sudah sangat terlambat, aku tetap harus datang ke pabrik agar bos besar tak lebih marah. Setidaknya, dia masih bersedia membiarkanku bekerja di sana. Itu saja sudah cukup untuk sekarang."Sana, kamu berangkat saja. Bapak bisa sendiri," sahut Bapak sembari memberiku senyuman khasnya.Baiklah, karena tak ingin berlama-lama, aku pun gegas pamit pada Bapak."Bapak doakan, semoga kamu nggak terkena masalah karena ini, ya, Nak.""Aamiin."Harapanku juga sama. Datang ke pabrik seperti biasa, tak ada drama marah-marah. Nam

  • AIR MATA RINDU   Janu

    Kuhembuskan napas lega setelah berhasil buang air kecil. Kini, aku sudah merasa nyaman kembali.Merasa tak ada lagi kepentingan di dalam toilet, gegas kulangkahkan kaki ini untuk keluar. Sedikit kubungkukan badan saat melewati orang yang sedang berada dalam antrean.Huh, untung saja saat aku akan masuk, di depan toilet tidak mengantre seperti sekarang. Bayangkan jika aku harus menunggu seperti ini juga tadi, pasti tak tahan sekali.Kufokuskan pandangan ke depan sembari berjalan. Namun, tiba-tiba alisku mengernyit heran melihat dokter yang tadi tak sengaja kutabrak seperti tengah mencari sesuatu.Merasa penasaran, aku pun membawa kaki ini melangkah lebih dekat lagi."Maaf, Dok. Saya lihat Dokter sedang mencari sesuatu. Ada yang bisa saya bantu?" Kutawarkan bantuan, takut dia memang membutuhkan.Sesama manusia harus saling menolong, kan? Meskipun kita tak saling mengenal."Oh, ini, Mbak. Name tag saya hilang. Sepertinya jatuh di sini," jawabnya sambil melirikku sedikit.Seketika perasaa

  • AIR MATA RINDU   Astagfirullah

    Sungguh, aku tak menyangka Mas Dimas tiba-tiba datang ke rumah. Untuk apa? Namun, sepertinya otakku sedikit terganggu hingga lupa jika pria ini adalah calon suami mbakku. Bebas saja jika dia ingin berkunjung kapan pun, kan? Tapi, tadi aku dengar dia ingin mengantar Bapak berobat. Apa tak salah?"Biar aku saja yang antar Bapak, Mas," tolakku sembari menatap pria bertubuh tinggi itu untuk beberapa detik. "Biar Mas saja, Rin. Mas memang nggak kerja hari ini."Hem, pantas saja Mas Dimas datang mengenakan pakaian santai, bukan seragam kerja seperti biasa. Jika begitu, rasanya tidak salah kalau aku menitipkan Bapak. Toh, Bapak juga calon orang tua Mas Dimas, kan? Aku jadi bisa tetap berangkat ke pabrik hari ini."Emh, baik—""Nggak bisa, Mas!"Ucapanku harus terpotong kala Mbak Zita dengan cepat menyela. Mbakku itu mendekat dengan penampilan yang sudah rapih. Sepertinya akan pergi."Kita udah janjian buat pergi, Mas. Jadi, kamu harus pergi sama aku!"Hah, kali ini aku tahu jika kedatangan

  • AIR MATA RINDU   Kenangan Manis

    Aroma sedap dari kwetiau goreng tak membuatku makan dengan lahap. Rasanya memang sama, sangat lezat. Namun, ada satu hal yang hilang sekarang.Kebahagiaan.Ya, jika dulu aku selalu semangat tiap kali Mas Dimas memberi kwetiau seperti ini, maka tidak dengan sekarang. Jika dulu aku akan langsung memakannya hingga habis, maka sekarang tidak.Bahkan, sudah satu jam berlalu sejak aku mulai memasukkan kwetiau goreng ini pada mulut, belum habis lima puluh persen pun. Selera makanku hilang, rasa lapar pun ikut pergi bersama pria yang masih kucintai.Entah aku yang bodoh atau memang cinta yang buatku buta. Aku ... masih mencintainya. Hingga sepanjang makan dengan gerakan perlahan, kenangan-kenangan indah dulu kembali berputar di kepala.Sore itu sepulang dari pabrik, Mas Dimas mengajakku ke sebuah warung yang cukup jauh. Hampir di luar kampung. Namun, karena Mas Dimas membawa motor, aku pun setuju.Sesampainya di sana, aku benar-benar dijamu oleh Mas Dimas. Pria itu memesan satu porsi kwetiau

  • AIR MATA RINDU   Apa yang Harus Kulakukan?

    "RINDU!"Pekikan Ibu membuat rasa lelahku setelah bekerja seharian makin bertambah. Kuayunkan kaki menuju wanita yang sudah menatap tajam padaku di ambang pintu itu."Assalamualaikum, Bu."Aku tak menghiraukan pekikan Ibu tadi. Tangan ini terulur untuk menyalami, tapi malah ditepis. Buka hanya itu. Sejurus kemudian, Ibu menarik kasar tanganku memasuki rumah."Aws ... sakit, Bu!" Aku berusaha melepaskan cekalan Ibu yang cukup kuat hingga tanganku terasa sakit. Namun, wanita tua itu seolah menulikan pendengaran. Ia terus menyeretku hingga sampai di kamar Mbak Zita.Seketika isi kepalaku dipenuhi tanya, ada apa? Kenapa aku dibawa ke kamar Mbak Zita?Bruk!Tubuhku dihempaskan dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Sebelah lenganku terasa sakit karena mengenai lemari.Aku mendongak pada Ibu yang masih setia memberikan tatapan tajam. Lalu beralih pada Mbak Zita yang sedang menangis sesenggukan. "Ada apa ini, Bu?" tanyaku tak mengerti.Bukannya menjawab, Ibu malah memekik sembari menarik ji

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status