Share

AJISEKA
AJISEKA
Penulis: Arya. P

Bab 1. Kekacauan di wilayah Punden

“Romo, semalam Aji bertemu Eyang. Eyang menyuruh Aji segera belajar Kanuragan supaya bisa menjaga keraton Setya Loka dan wilayah punden dari incaran wanita yang bernama Sariti.”

Aktivitas Danuseka terhenti seketika saat putranya berbicara, “Oya? Kamu tau dimana keraton itu, Nak?”

Sepuluh tahun yang lalu Ajiseka terlahir didunia, selama itu pula proses pengalihan digdaya dari sang Kakek berlangsung. Namun, Ajiseka harus menempa dirinya sendiri untuk menumbuhkan digdaya yang ia miliki. Sayangnya sang Kakek sudah mengasingkan diri sebelum Ajiseka dewasa.

“Aji beberapa kali kesana, Romo. Tapi Aji tidak tau letaknya, yang Aji tau rumah disana besar dan berwarna kuning emas,”

“Mulai sekarang, Aji harus belajar. Dengan Romo atau yang lainnya, Aji harus sungguh-sungguh.”

Danuseka mengelus pucuk kepala putranya. Pikirannya langsung tertuju perihal pesan yang disampaikan pada Ajiseka. Pasalnya, tidak mungkin Ayahnya atau Kakek Ajiseka yang baru empat hari pergi itu kembali dari tapa bratanya. Danuseka yakin jika yang menemui putranya adalah Sukma sang Ayah.

“Jadi selama ini Aji sering bepergian dengan Eyang?”

“Iya, Romo.”

Jawaban Ajiseka sudah cukup membuat Danuseka memahami yang terjadi pada putranya. Jelas Ajiseka telah disiapkan untuk menggantikan dirinya kelak. Ia menatap raut polos Ajiseka, memikirkan bagaimana nanti ke depan. Pasalnya, menjaga sebuah keraton gaib yang sarat dengan harta kekayaan tidaklah mudah.

Dalam beberapa hari firasat Danuseka tidak baik-baik saja, ia termangu didepan kediamannya. Menatap langit sore yang tampak aneh.

“Ada apa Kakang? Sepertinya ada sesuatu yang Kakang pikirkan,”

“Lihatlah, tidak biasanya punden seperti itu, rasanya ada sesuatu yang tidak beres.” Ucap Danuseka khawatir.

         Langit kelam menyelimuti puncak Punden. Wilayah yang sejatinya begitu indah. Namun, saat ini tertutup total oleh awan hitam yang menggumpal. Danuseka, tetua muda sekaligus pimpinan dari para tetua wilayah Punden menatap gelisah puncak Punden saat berduaan dengan istrinya.

 Kekhawatiran Danuseka memuncak manakala petir menyambar ke sembarang arah. Hal itu membuat Danuseka segera bertindak, meminta petunjuk kepada sang Pangeran, juga meminta ijin kepada para leluhur perihal tindakan yang harus ia lakukan. Danuseka lantas mengumpulkan warga untuk berkumpul di pendopo rumahnya.

 “Saudara-saudaraku, saat ini penghuni gaib menginginkan kebebasan di wilayah punden, hal ini tentu sangat merugikan kalangan manusia di sekitar punden. Jika ini terjadi, saya yakin kita akan punah di tempat ini. Oleh sebab itu saya mengajak saudara-saudara untuk bersatu memerangi mereka.”

 “Bagaimana dengan rekan-rekan yang tidak memiliki digdaya untuk melawannya, Ki. Apakah kita akan tetap mengikut sertakan?” ujar salah satu tetua.

Terdengar suara bisik-bisik dari orang-orang yang di kumpulkan oleh Danuseka. Mereka tidak menyangka jika tempat tinggal mereka terancam. Sebagian bahkan merasa ketakutan dengan berita yang di sampaikan oleh pimpinannya.

“Ki Danuseka, apa yang membuat makhluk -makhluk itu menginginkan kebebasan, bukankah selama ini kehidupan di wilayah punden baik-baik saja?” timpal tetua satunya.

 “Saya rasa kita bisa memilih warga yang layak dan bisa menghadapi musuh kita saat ini. Ingatlah yang kita hadapi bukanlah manusia.” Danuseka menatap seluruh tetua yang hadir.

Hening. Tidak ada yang kembali membuka suaranya. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak di sangka mereka akan berhadapan langsung dengan makhluk yang selama ini mereka hindari.

“Seperti yang kita ketahui, Romo saya pergi tujuh hari yang lalu, saya rasa makhluk-makhluk itu berani karena mereka merasa tidak ada lagi yang akan bisa menghalangi niatnya. Mari kita buktikan kepada mereka bahwa kita mampu menjaga warga Punden.” ucap Danuseka setelah lama terdiam.

Sementara, setelah Sandikala berlalu. Puncak punden telah berkumpul berbagai jenis makhluk tak kasat mata. Di pohon-pohon rindang duduk puluhan Kuntilanak bergaun putih, beberapa makhluk tinggi besar dan berbulu hitam legam juga berdiri angkuh di atas pepohonan. Tak lama kemudian dua jenis Siluman bergerak memasuki kawasan punden, mereka tidak lain adalah dua wanita Siluman dari wilayah danau tepi Barat dan satunya lagi siluman ular dari tepi Utara.

   Di sisi lain. Sekelompok manusia datang bersama seorang wanita yang berpenampilan anggun. Ya! Wanita jelmaan dari Kuntilanak merah yang bernama Sariti, pimpinan seluruh siluman dan makhluk astral. Ia juga membawa para pengikutnya dari kalangan Manusia.

“Bertahanlah di sini, kawasan Punden sudah penuh oleh para Siluman juga Demit, baiknya kalian menjaga jarak dan tunggu aba-aba dariku,”

“Baik, Nyai.”

Sariti terlebih dahulu menahan pengikutnya di suatu tempat, ia langsung melesat ke wilayah puncak Punden. Kini tiga pimpinan sudah berada di tempat yang sama, Ketiga makhluk bengis itu langsung mengatur strategi. Setelah itu masing-masing memberi komando kepada bawahannya.

“Seperti yang kita rasakan, di tempat ini aura digdaya manusia berkumpul. Artinya di pemukiman sana hanya ada manusia biasa. Kacaukan pemukiman itu agar kekuatan yang berkumpul di tempat ini terpecah belah!” titah Sariti kepada dua rekannya.

“Laksanakan, Nyai. Lihatlah ... Sepertinya mereka sudah tidak sabar melakukannya ....” jawab salah satu pimpinan siluman.

Blar!

Dua larik cahaya menerangi pekatnya malam di puncak Punden. Membuat semua Siluman tercekat. Tidak lama Kemudian, muncul sosok manusia yang tiba-tiba berdiri di bebatuan.

“Tidak semudah itu kalian berbuat onar di wilayah ini! Baiknya kalian urungkan niat itu!”

“Kau rupanya, tidak ku sangka kau akan menggantikan posisi Romomu, lebih baik kau membersamai diriku saja cah Bagus ... Percayalah ... Kau akan mendapat tempat teristimewa ... Ikutlah denganku ....” Wanita bergaun merah itu mendekati Danuseka, ia berjalan mengitari tubuhnya dan tanpa segan menatap manik mata Danuseka.

 Danuseka menatap tajam perempuan itu. Walau dirinya sedikit bergetar saat tatapannya bersirobok dengan tatapan Sariti. Namun, Ia sama sekali tidak gentar menghadapinya.

  “Percuma saja kau mencoba mempengaruhiku, gendammu tidak akan mampu menembusku, Nyai.” ucap Danuseka sembari mengibaskan salah satu tangannya di depan wajah ayu wanita yang tidak sedikit pun berkedip menatapnya.

Seringai tipis terukir di bibir tipis Sariti manakala Danuseka berucap, “Kau keras kepala, sama seperti Romomu. Baiklah... saat ini aku tidak perlu merayumu, sebab sebentar lagi kau akan kehilangan kesenanganmu, Danuseka!”

Slash!

Kilatan cahaya terang menderu dari telapak tangan Sariti. Tetapi secepat kilat Danuseka menghindarinya, ia juga melontarkan serangan balasan. Akibatnya ledakan kecil terjadi saat dua kekuatan beradu. Serangan terus terjadi di antara keduanya belah pihak, hingga akhirnya membuat Danuseka terpental beberapa langkah kebelakang.

“Sudahlah, Danuseka. Nikmatilah sisa-sisa kehidupanmu di tempat ini, tidak ada gunanya kau melawanku.”

 Setelah berucap Sariti terbang menjauhi Danuseka, bersamaan dengan itu kericuhan terjadi di beberapa penjuru puncak Punden. Artinya pertempuran besar telah terjadi. Danuseka baru menyadarinya, ia lantas melesat pergi tanpa menghiraukan kepergian Sariti. Keselamatan rekan-rekannya tentu lebih penting, oleh karena itu Danuseka memilih membantu mereka yang berjibaku melawan para siluman.

Blar!

Blar!

Dua ledakan membinasakan beberapa Siluman ular yang sedang menyerang salah satu tetua. Beruntung tetua itu juga memiliki kedigdayaan cukup mumpuni. Namun, Siluman ular bukanlah lawan yang tepat untuk rekannya.

“Kau tidak apa-apa, Kang?”

 “Saya baik-baik saja, Ki. Terimakasih. Baiknya kita segera bertindak, banyak makhluk aneh beterbangan di tempat ini,”

“Jika Kakang berkenan, ajaklah beberapa orang untuk turun. Saya khawatir terjadi sesuatu di bawah sana kang,” ujar Danuseka.

“Baik, Ki”

Tetua muda itu menuruti ucapan Danuseka, dirinya merasa siluman bukan lawan tepat untuknya. Terlebih lagi suara-suara kikikan kuntilanak yang selalu terdengar di telinga membuat konsentrasinya sering terganggu, tentu ia harus bisa menakar dirinya sendiri. Ia mengajak beberapa orang yang tidak memiliki ilmu kebatinan untuk turut serta ke perkampungan.

“Tenanglah, saya akan membersamai kalian,” ucap salah satu tetua yang tiba-tiba turut turun bersama rombongan.

“Baiklah, mari.”

 Sesampainya di pemukiman mereka dikejutkan dengan lengkingan jeritan seorang wanita, ya! Mereka terlambat datang.

 “Ibuk, Ibuk!”

 Belum habis rasa terkejutnya, teriakan kembali terdengar. Kini suara teriakan seorang bocah menghentikan ayunan langkahnya. Lelaki itu mendengarkan secara seksama asal suara, tetua muda yang mendapat tugas dari Danuseka berlari ke arah suara. Ia tidak memperdulikan rekan lainnya, sebab ia yakin yang berteriak memanggil sang ibu adalah Ajiseka, putra dari Danuseka.

“Apa yang terjadi, Ajiseka?”

“Ibu, Ki. Ibu di bawa pergi selendang berkepala manusia,” jawab Ajiseka sembari menitikkan air matanya.

Lelaki itu memegang pundak Ajiseka, “Jangan khawatirkan hal itu. Siapa-pun! sampaikan kepada Ki Danuseka tentang hal ini.”

Tanpa menunggu diminta untuk kedua kalinya, salah satu tetua langsung bergegas menuju puncak Punden. Ia harus segera menyampaikan kabar buruk itu kepada Danuseka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status