“Ki Danuseka!”
Tiba-tiba saja Danuseka hadir di depan utusan yang memanggilnya, “Ada apa, Kang? Adakah sesuatu yang genting di bawah sana, Kang?”
“Ketiwasan, Ki. Nyai dibawa makhluk selendang berkepala manusia, Ki!”
Mendengar aduan itu dada Danuseka terasa sesak seketika, begitu juga dengan tubuhnya yang bergetar. Menandakan jika dirinya sedang dikuasai oleh amarah. Namun, ia mencoba menetralisir hal itu, sebab jika amarahnya memuncak hanya akan membuntukan pikirannya. Terlebih lagi, ia tidak bisa meninggalkan pertarungan begitu saja.
“Kita selesaikan pertarungan dulu, Kang. Terlalu banyak siluman juga dedemit yang turut andil disini. Lalu, bagaimana keadaan di bawah, Kang?”
“Saya tidak tau pasti, Ki. Tapi Ajiseka sudah diamankan oleh para tetua,”
“Baiklah, waspadai sekeliling Kakang, jika ada yang mengganggu panggil saya secepatnya.”
Tetua utusan mengangguk mengerti, sedangkan Danuseka sendiri segera kembali ke medan pertarungan. Kini fokus Danuseka adalah siluman selendang berkepala manusia, pimpinan siluman danau tepi Barat. Ciri khasnya membuat Danuseka cepat menemukan sosok yang ia cari.
“Biarkan makhluk itu menjadi urusanku, Ki” ujar Danuseka saat salah satu tetua sedang berjibaku melawan makhluk yang ia cari.
Danuseka melesat cepat menuju sasaran. Dari segi kekuatan tentu kekuatan Danuseka sangat berbeda jauh dengan tetua yang lainnya. Namun, pimpinan danau tepi Barat juga bukan siluman biasa.
“Cuih! Bedebah Kau!”
“Jika ini yang Kau mau, maka berbuatlah semampumu.”
Merasa tertantang oleh ucapan Danuseka, pimpinan siluman danau melesat cepat, merangsek maju dengan digdaya yang ia miliki. Namun, Danuseka mampu membaca pergerakan darinya. Beberapa kali serangan terlontar, tetapi selalu saja dapat di antisipasi oleh Danuseka. Ledakan kecil kembali terjadi dan menghantam sasarannya, akibatnya sosok pimpinan siluman yang meliuk-liuk di udara tersambar oleh ledakan dan terjerambab ke tanah.
“Katakan! Apa tujuanmu menculik istriku!” ujar Danuseka setelah lawannya meringkuk lemah.
“Jangan berbicara yang tidak-tidak! aku tidak mengenali istrimu, Wahai Manusia.”
Danuseka seketika tersadar, pasalnya ucapan siluman danau itu benar adanya. Yang mengetahui keberadaan keluarganya hanyalah Sariti. Namun Danuseka tidak mau begitu saja percaya dengan ucapan wanita siluman di depannya.
“Tidak semudah itu aku mempercayaimu, Wahai Wanita Siluman! ingatlah. Tipu daya yang kalian lakukan akan membawa petaka untuk seluruh siluman di wilayah ini,”
“Kau menekanku? he? Kau tidak akan pernah mampu membinasakan diriku, lalu apa yang bisa Kau lakukan heh!”
Selesai berucap wanita itu melesat cepat dan melakukan penyerangan. Sungguh pergerakan yang tidak lazim jika di lihat oleh mata manusia biasa. Terlebih setiap pergerakannya meninggalkan aura yang sangat panas.
Slash!
Seberkas sinar melesat dari telapak tangan Danuseka. Mematahkan Pergerakan lawan yang begitu cepat. Lagi-lagi jual beli serangan terjadi, daya serang keduanya bahkan semakin kuat saja.
Sementara itu, di tempat berbeda tetapi masih di kawasan Timur Punden, di sebuah tempat yang menyerupai gua, makhluk yang membawa pergi istri Danuseka menghentikan langkahnya. Ia mengulas senyum manakala mendapati istri tetua utama Punden masih dalam keadaan tidak sadar. Perlahan wujud anehnya berubah menjadi wanita ayu. Sungguh tipu daya yang merugikan pemilik wujud aslinya.
“Mau Kau bawa kemana, Nduk? Cah Ayu? Lepaskan,”
“Siapa Kau manusia bungkuk! Berani-beraninya Kau memintaku melepaskannya!” jawab ketus sosok yang tak lain adalah Sariti.
Ulas senyumnya yang menawan lebur seketika setelah menelisik lelaki tua dan bungkuk yang tiba-tiba berada di depannya. Bukan fisik ringkihnya yang ia telisik. Namun, tiadanya aura manusia yang membuat Sariti harus mewaspadainya.
“Kau tidak perlu tau siapa diriku cah Ayu, cukup Kau lepaskan saja.” ucap lelaki sepuh itu sembari mengelus janggut panjangnya.
Mendengar ucapan lelaki sepuh yang menghalanginya, Sariti langsung melesatkan aura panas dari telapak tangannya. Namun, aura panas itu lebur begitu saja dengan satu jentikan jari saja. Merasa di remehkan, Sariti kembali menyerang dengan cara lain. Kali ini ia melesat cepat ke arah lelaki sepuh itu. Namun, serangan Sariti sia-sia, tubuhnya malah jatuh terhempas.
“Hentikan! Tidak ada gunanya Kau menyerangku, kembalikan dia dan pergilah...” ucap sang sepuh tanpa sedikit-pun merubah posisinya, ia begitu tenang.
“Tidak akan aku kembalikan, apa yang kulakukan adalah mutlak! Bahkan Danuseka sekalipun tidak akan mampu mencegahku!“
“Dia yang akan membinasakan dan melebur jasadmu,”
Sariti terdiam manakala lelaki itu dengan tegas memotong ucapannya. Terlebih lagi ia melihat jari keriput lelaki sepuh menunjuk ke arah istri Danuseka. Sariti tersenyum sembari menatap wanita lemah di dekatnya.
“Jika seperti itu, tidak salah jika aku membawanya bukan?” jawab Sariti sembari melesat ke arah wanita yang tergeletak di atas tanah.
Sariti menyambar tubuh wanita itu. Lalu, melesat cepat ke udara. Namun, pergerakan Sariti terhenti manakala tangan lelaki sepuh terangkat ke atas. Tubuhnya terasa kelu, bahkan untuk berbicara saja ia tidak mampu. Lebih mengejutkan lagi, wanita yang berada dalam kuasanya raib bersama dengan raibnya Lelaki bungkuk yang membuatnya terpaku beberapa saat.
“Kurang ajar!” pekik kesal Sariti.
Wanita jelmaan kuntilanak merah itu Murka. Sosoknya melesat pergi setelah sesuatu yang membelenggunya sirna. Namun, ia tidak langsung turut dalam pertempuran.
“Bersiaplah! Lawan kalian adalah seluruh manusia yang ada di kawasan punden! Lakukan sesuka hati kalian dan jangan pernah ragu, aku berada di belakang kalian.” ucap Sariti di depan puluhan pengabdinya.
Mendengar titah junjungannya para lelaki itu langsung menyulut obor yang telah di siapkan. Ya! Mereka membutuhkan sarana penerangan di tempat yang teramat gelap.
Disisi lain, dari kejauhan salah satu tetua melihat obor-obor yang bergerak mendekati wilayah Punden. Seketika itu juga ia memanggil Danuseka.
“Ki Danuseka!” Panggilnya.
“Ada apa, kang?” tiba-tiba Danuseka sudah berada di sebelahnya.
Tatapannya begitu teduh, walau dirinya sedang menghadapi musuh. Namun, perangainya tetap tenang. Tidak terlihat jika dirinya baru saja bertarung.
“Maaf Ki, ada begitu banyak obor menyala di sana,” jawabnya sembari menunjuk ke arah yang ia maksud.
“Mereka manusia Kang, baiknya kakang ke pemukiman, jika kondisi di bawah aman, ajaklah sebagian warga untuk berjaga di atas,” titah Danuseka.
“Baik, Ki.” tetua muda itu langsung beranjak meninggalkan Danuseka.
Lelaki itu merasa harus segera bertindak. Ia khawatir jika pembawa puluhan obor itu juga turut menyerang Danuseka dan rombongan. Setibanya di pemukiman ia langsung mengabarkan apa yang terjadi di wilayah puncak punden kepada rekan lainnya.
“Baiklah, Kang. Baiknya kita kumpulkan sebagian warga yang masih muda, ajak mereka naik bersama saya,”
“Bagaimana dengan Ajiseka, Kang. Sepertinya saat ini Ajiseka membutuhkan perlindungan.”
Hening. Dua tetua itu memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika mereka meninggalkan pemukiman. Apalagi Ajiseka masih saja meratapi hilangnya sang ibu, tentu keadaan Ajiseka membuat mereka berpikir jauh sebelum meninggalkan pemukiman.
“Biarkan saya yang menjaganya, sepertinya tidak ada penyerangan kepada warga, makhluk itu hanya mengincar keluarga Ki Danuseka saja.” ucap seorang tetua yang semula membersamai keduanya saat turun dari puncak punden.
Mendengar ucapan dari salah satu tetua yang cukup mumpuni, kedua lelaki itu mantab untuk melakukan penyerangan. Tidak mau membuang waktu, keduanya langsung mengajak puluhan orang pemuda untuk naik ke wilayah Punden.
Riuh pertarungan antara manusia dan bangsa siluman semakin memanas. Pasalnya, siluman dari danau tepi barat yang semula menarik diri senyatanya hanya menghindar saja dari Danuseka. Pasalnya mereka malah membagi tugas, sebagian siluman sengaja di kerahkan untuk mengacau pemukiman.
Sedangkan pasukan dari kalangan manusia yang di pimpin oleh Sariti sudah semakin dekat dengan wilayah puncak punden. Mereka cukup kesulitan melewati area yang cukup terjal, terlebih lagi wilayah itu masih asing bagi mereka.
“Jangan pernah melihat mereka sebagai manusia, jika perlu. Perlakukan selayaknya binatang buruan!”
“Baik, Nyai. Jika Nyai mengizinkan, kami akan menetap di sekitaran sini, tentu setelah mereka semua habis,”
“Sesuai janjiku, jangan khawatir soal itu.”
Seringai tipis terukir di bibir Sariti, keinginannya meluluhlantakkan kehidupan punden sebentar lagi akan terwujud. Setelah itu ia akan membangun kekuatan baru dengan orang-orangnya sendiri. Sekte-sekte yang terpisah akan memiliki pusat kekuasaan di wilayah tersebut, bahkan kemungkinan besar ia akan lebih cepat kembali ke dalam jasadnya yang masih tersimpan di sebuah tempat.
***
Wilayah Punden semakin mencekam. Obor-obor menancap di sembarang tempat, menerangi sebagian lokasi yang semula gelap gulita. Ya! Pasukan dari golongan manusia yang dipimpin oleh Sariti mulai beraksi, mereka berasal dari suatu daerah yang telah dikuasai oleh pengaruh pimpinan lelembut wilayah punden.“Merekalah yang harus kalian bersihkan, binasakan! Tunjukkan bakti kalian kepadaku!” ujar Sariti.Titahnya terdengar jelas di telinga para abdinya yang menyebar. Bersembunyi di balik pepohonan dan semak. Ya! Hanya mereka yang mendengar titah itu.Kelompok Danuseka mulai tersudut. Puluhan siluman ular dan penampakan kuntilanak yang tiba-tiba muncul membuat beberapa tetua panik. Pasalnya, bukan kekuatan silumannya yang merepotkan, tetapi kehadiran makhluk bergaun putih yang acapkali membuat mereka kehilangan fokusnya.“Ki, lakukan sesuatu agar mereka tidak mengganggu.” Titah Danuseka.Tetua itu bergegas melakukan sesuai perintah Danuseka. Dia lebih memfokuskan diri menghadapi makhluk astral.
Ketika kebengisan dipertontonkan oleh Sariti, tetua wilayah punden tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengutuk sosok yang berdiri angkuh di atas sebuah batu besar. Ya! Sariti mengendalikan seluruh lawannya. Dia memanfaatkan amarah rekan-rekan Danuseka.Cukup lama tubuh para tetua berada dalam kendali Sariti. Selama itu pula mereka menyaksikan penyiksaan yang terjadi bahkan, ketika sanak saudaranya meregang nyawa mereka hanya bisa meratapi. Lebih mengejutkan lagi pelakunya adalah warga punden yang disusupi makhluk tinggi besar dan berbulu. Pantaslah mereka tidak lagi merasa iba kepada sesama manusia. Sebab sejatinya yang melakukan itu Adalah makhluk-makhluk itu.“Ki Danuseka!” tiba-tiba salah satu tetua berteriak memanggil nama pimpinannya. Dia tersadar pesan yang pernah disampaikan Danuseka.Di tempat yang jauh dari Punden Danuseka menghentikan pengejarannya, dengan jelas ia mendengar teriakan yang memanggil namanya. Seketika Danuseka sadar jika ia telah terkecoh oleh Sari
Terik mentari pagi menghangatkan wajah-wajah sendu warga Punden. Berjibaku mengurusi puluhan mayat sisa tragedi semalam, duka diwilayah Punden tidak terelakkan lagi. Jangankan puluhan nyawa, satu nyawa saja melayang akibat kebengisan, mereka sangat menyayangkannya. Belum genap satu bulan memangku tanggung jawab, Danuseka sudah di hadapkan dengan kenyataan pahit. Merasa terpukul karena tidak bisa mengemban amanah dari pendahulunya. Tetapi Danuseka tidak menunjukkan perih hatinya, ia masih terlihat tegar di depan warganya. Terlebih di depan Ajiseka, putra semata wayangnya. Dirinya lebih memilih turut membantu warga menyiapkan keperluan pemakaman. Ikut menggali lubang raksasa agar pekerjaan cepat selesai. Bahkan, Danuseka tidak segan membersihkan jenazah yang hendak dimakamkan. Lubang besar disiapkan untuk pemakaman warga, setidaknya ada tujuh lubang besar. Tetapi saat pemakaman berlangsung kejadian aneh menimpa mayat-mayat yang berasal dari luar Punden. Sekitar dua puluhan mayat meny
Cicit burung mengantar langkah riang Ajiseka. Tekadnya yang kuat membuat dirinya mantab meninggalkan ayahnya. Bahkan, embun pagi yang dingin tidak menyurutkan ayunan langkahnya.Tepi Selatan menjadi tujuan pertama Ajiseka, ia dijemput oleh dua orang tetua yang cukup mumpuni. Belum lagi pengawalan diam-diam Ki Dirgodono, tetua sepuh Punden yang jarang sekali berbaur dengan warga. Lelaki yang piawai dalam penyamaran dan ahli menekan aura kedigdayaannya.Untuk pertama kalinya Ajiseka keluar dari pemukiman, langkahnya begitu riang manakala dirinya melintasi hutan lebat. Bahkan, Ajiseka tidak khawatir jika ada binatang buas seperti yang pernah diceritakan oleh sang ibu. Sesekali Ajiseka bersiul menirukan kicauan burung, terkadang mengernyitkan dahinya saat mencurigai sesuatu.Tiba-tiba Ajiseka berhenti, ia menatap tajam pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Ki, apakah itu gubuk, Aki?” tanya Ajiseka kepada Ki Sawung, tetua sepuh yang menjemputnya.“Bukan Aji? Gubuk A
Dewi Panguripan. Wanita dari bangsa lelembut beraliran putih, memiliki paras yang ayu dan berbudi baik. Sosoknya tidak banyak di kenal, sebab ia sendiri sejatinya sudah menjauh dari permasalahan-permasalahan dunia. Tetapi, tidak untuk keturunan penguasa Punden, pemilik keraton Setyaloka yang kini moksa. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Ki Sawung sedikit tergagap. “Ah, Nyai ... Maafkan saya yang tidak menyadari kehadiran Nyai,” “Tidak mengapa Ki Sawung, berikan ini kepadanya, biarkan dia sendiri yang mencari keberadaan padepokanku,” ucap Dewi Panguripan sembari memberikan Sebuah benda berbentuk daun berwarna kuning emas. “Maafkan saya Nyai, rasanya saya tidak tega membiarkan Ajiseka berangkat sendiri, Nyai?” “Tidak perlu khawatir, Ki. Dengan membawa benda ini lelembut wilayah Selatan tidak akan ada yang berani menyentuhnya, kecuali bocah itu mendapat rintangan lain. Kembalilah, energimu akan terkuras jika sukmamu terlalu lama di tempat ini.” Ki Sawung menyadari jika ucapan Dewi
Dhar!Dhar!Senyum mengembang manakala Ajiseka mampu membuat makhluk itu terpental jauh. Namun, bukan niat Ajiseka untuk melukai, ia gegas mengayunkan langkahnya menghampiri sosok yang baru saja terpental.“Maafkan aku, aku tidak berniat sekeras itu melemparmu,” tangan Ajiseka mencoba meraih pergelangan makhluk besar yang sedang terjerambab, tidak sedikit pun rasa takut dihati Ajiseka.“Kau yang mengajarkan diriku menyerang seperti itu. Bahkan, aku sama sekali belum pernah menggunakannya, sekali lagi maafkan aku,” ucap Ajiseka lagi.“Hua ha ha ha ha, Kau bocah kecil! Jangan bilang kau tidak tau sedang dimana dirimu saat ini, Kau tampak polos sekali,”Mendengar itu Ajiseka menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu ia menatap makhluk itu dengan raut muka yang bingung.“Lho, memangnya aku dimana? Di bumi kan? Bumi ciptaan sang pangeran kan? Setidaknya itu yang pernah Romo sampaikan kepadaku,” ucap Ajiseka.“Hua ha ha ha ... Ghoaar ... Kalau begitu, Kau harus mengalahkanku bocah kecil!”
Teng! Dalam sekejap Ajiseka tersadar, melihat sekeliling dan memastikan jika dirinya telah benar-benar kembali. Senyumnya mengembang manakala bilah-bilah bambu tersusun rapi mengitari Sekitarnya , artinya ia benar-benar berada di kediaman Ki Sawung. ‘Syukurlah aku sudah kembali.’ Monolog Ajiseka. Ia keluar dari bilik, berusaha mengayunkan langkah gontainya. Tetapi saat pandangan Ajiseka terarah di kegelapan malam, dirinya menangkap sekelebat bayangan. Persis seperti makhluk yang baru saja membersamainya di alam bawah sadar. “Terimakasih, Ki Kumbolo!” teriak Ajiseka. “Ada apa Ajiseka ...” jawab Kumbolo manakala berhenti melesat tepat di depan Ajiseka. “Eh? Tidak apa-apa, aku hanya mengucapkan terimakasih saja, Ki,” Ajiseka mengulum senyumnya, merasa lucu melihat makhluk yang begitu cepat kembali ke hadapannya. Tentu Ajiseka membayangkan Kumbolo yang begitu repot menghentikan laju dan kembali dalam sekejap. “Ah! Kau ini, baiklah” ucap Kumbolo, makhluk itu tidak lagi melesat, tetap
“Lepaskan aku!”Ajiseka ingin meronta manakala wanita sepuh itu seperti memangkas waktu. Pasalnya, dirinya dan wanita sepuh tidak berjalan saat mendekati gubuk, tetapi setiap kedipan mata posisinya semakin mendekati gubuk reot miliknya.“Tenangkan dirimu, Nak Mas. Nanti Kau akan senang di gubukku, aku hanya minta sedikit pengorbanan dari rasa ikhlasmu. Oleh karena itu, tenanglah.” Mendengar itu Ajiseka mengendurkan ototnya, ya! Ia tidak bisa bergerak, namun otot tubuhnya menegang, mengikuti gejolak amarahnya.Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ajiseka, dirinya hanya perlu sedikit berpikir agar terlepas dari pengaruh digdaya wanita sepuh itu. Ajiseka mulai memikirkan sesuatu, tidak mungkin dirinya hanya diam tanpa melakukan perlawanan seperti saat ini. Sedangkan otaknya masih sangat mampu untuk mengatur strategi agar dirinya tidak terus menerus berada dalam kungkungan.“Ah! Baiklah, lepaskan diriku agar bisa seperti yang Simbah harapkan, jika tidak. Sampai kapan-pun aku tidak akan menu