"Kamu tahu darimana aku dan Zahra tinggal di sini?" tanyaku pada laki-laki itu.
Dia kembali tersenyum. Seolah tak mempedulikan raut penasaran di wajahku.
Tak berselang lama, Mbak Ulya ke luar dari dalam kontrakan, membawa kardus berisi aksesoris hijab yang sudah disiapkan Mbak Mayang tadi pagi.
"Eh ... Mbak Wita sudah pulang," ucap perempuan cantik itu dengan senyum lebar. Aku mengangguk pelan.
Ternyata dugaanku waktu itu benar. Mbak Ulya memang suruhan Mas Hanan untuk pesan aksesoris hijab padaku.
"Mbak ... mbak. Jangan marah sama aku, ya? Aku cuma menjalankan tugas aja. Si bos yang minta," bisiknya di telingaku sebelum melangkah pergi ke mobil.
Mobil yang parkir di samping rumah haji Abdullah itu ternyata mobil Mas Hanan.
Ibu-ibu yang sejak tadi lihat-lihat proses pembuatan aksesoris hijab pun pergi satu per satu.Zahra mengambil gunting dari atas etalase untuk membuka paketnya. Paket misterius itu ternyata dua buah gamis lengkap dengan hijab berwarna merah muda yang cantik dan terlihat mahal. Benar kah paket ini buatku dan Zahra? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benak."Bagus banget gamisnya, Bu. Kembar lagi sama ibu," teriak Zahra kegirangan. Aku hanya tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala."Zahra coba dulu ya, Bu. Sepertinya pas ini," ucapnya lagi. Dia mulai mengambil gamis merah muda itu lalu membawanya ke kamar mandi.Ohya, aku tanyakan saja dulu sama Mbak Ulya, bener nggak dia yang kirim gamis ini untukku dan Zahra. Jangan sampai Zahra sudah kegirangan ternyata bukan untuk kami berdua.Drrrtttt drrrtttttBelum sempat kirim pesan, ponsel di atas kasur bergetar. Gegas kuambil benda pipih berwarna silver itu dari tempatnya. Sengaja kulihat dari notifikasi, Mbak Ulya mengirimkan pesan.|Mbak, gamisnya sudah
Mbak Yuli tersenyum lebar melihat kedatangan adik dan mungkin calon iparnya. Syarlina yang terlihat begitu akrab dengan Mas Aris. Mbak Yuli yang sedari tadi nongrong di cafe depan sekolah tiba-tiba muncul di halaman. Menyambut adik dan perempuan itu dengan tatapan bahagia. Berbeda sekali ketika dulu berpapasan denganku. Selalu saja masam dan tak enak dipandang mata. Ah sudah lah. Ngapain terus mengingat masa lalu yang suram itu. Toh sekarang aku dan Zahra sudah bahagia. Ekonomi pun kecukupan meski masih ngontrak di kontrakan sempit tapi setidaknya aku bebas. Tak selalu disesaki beban dan sakit hati berkepanjangan. "Wit, aku mau jemput Zahra. Aku sama Syarlina mau ke mall, jadi sekalian ajak Zahra. Soal baju nanti bisa pakai punya Annisa dulu. Aku juga mau belikan dia baju baru," ucap Mas Aris tiba-tiba. Tumben sekali dia mau ngajak Zahra jalan-jalan, pakai acara akan dibelikan baju segala. "Kok dadakan ya, Mas
Pov : Aris |Kamu bujuk Zahra supaya benci sama aku, kan, Wit? Apa maumu, ha? Mana ada seorang ibu yang sengaja membujuk anaknya untuk membenci ayahnya sendiri. Ayah yang selama ini berjuang buat besarin dan sekolahin dia!| Kukirimkan pesan itu pada Wita. Biar saja dia tahu kalau detik ini aku benar-benar emosi. Bagaimana tidak? Zahra yang selama ini bilang selalu kangen sama ayahnya, kemarin mau aku ajak jalan-jalan justru menolak mentah-mentah. Aku sudah menjemputnya ke sekolah dia menolak, bahkan saat aku kejar lagi sampai depan gang kontrakan ibunya pun, gadis kecilku itu tetap menolak. Aku yakin dia begitu karena pengaruh ibunya. Karena apalagi kalau bukan rayuan ibunya yang sengaja agar terlihat paling berkorban dan berjasa. Padahal aku juga sudah bilang kalau jalan-jalan kali ini spesial, karena aku akan memperkenalkannya dengan seseorang. Aku pun bilang kalau Nisa dan b
Pov : Wita Aku dan Zahra dijemput Mbak Ulya pagi tadi untuk jalan-jalan ke Anggrek Mall. Sekadar cuci mata dan ngobrol-ngobrol ria. Zahra terlihat begitu bahagia main perosotan di kids land lalu makan di tempat makan yang terkenal dengan ayam kriuknya. "Minumnya susu coklat aja ya, Bu," ucap Zahra saat kuminta memilih minuman yang tersedia. Aku mengangguk pelan. Mbak Ulya memesan tiga paket ayam lengkap dengan dua minuman bersoda dan satu susu coklat untuk Zahra. "Zahra seneng nggak hari ini?" tanya Mbak Ulya dengan senyum manisnya. "Seneng banget dong, tante. Lain kali ajak Zahra dan Ibu jalan-jalan lagi ya?" pinta gadis kecilku itu. Mereka pun tertawa bersama. "Lain kali kita ajak Om Hanan, mau?" Mbak Ulya melirik ke arahku. Aku melotot tajam menatapnya. "Zahra mau kalau ibu juga mau, Tante," jawab Zahra dengan senyum lebarnya. Pintar sekali jawaban shalehahku itu. Dia memang selalu begitu, peka dengan apa yang kurasa. Kami masih ngobrol ngalor-ngidul kulihat Mas Hana
Hari ini tugasku cukup banyak. Pekerjaan semakin menumpuk karena ruang kerja dan jualan bahan craft aku pindah di kontrakan sebelah. Tepat di samping kontrakanku sebelumnya. Harusnya bulan lalu, tapi kontrakan baru saja kosong karena pengontrak sebelumnya baru pindah kemarin sore.Ruang pertama ada etalase berisi aneka bahan craft, sebuah rak berukuran sedang untuk aneka bunga siap pakai dan rak gantung untuk bahan yang sudah aku packing kecil-kecil. Biasanya anak-anak sekolah membeli bahan berukuran mini untuk tugas sekolahnya. Kadang untuk uji coba sembari menonton tutorial youtube yang kupunya.Sesekali bertanya jika belum mengerti maksud videonya meski sudah cukup jelas step-stepnya. Mereka juga sering tanya nama-nama bahan yang aku kugunakan untuk membuat kerajinan, memilih di display karena semua sudah aku siapkan di sana."Sudah rapi semua nih, Mbak," ucap Mbak Mayang kemudian. Kulirik jarum jam hampir menunj
"Mbak, sebagian stok aksesoris dititipin ke toko busana muslim atau butik saja gimana? Daripada banyak stok di rumah. Apalagi kalau nggak ada orderan kita nyetok terus, jadi makin banyak stoknya, kan?" saran Mbak Salwa sembari membuat bunga bakar.Dia memotong kain kecil-kecil lalu membakarnya perlahan hingga mendapatkan satu persatu mahkota bunga yang cantik. Proses bakar membakar ini membutuhkan ketelatenan dan kesabaran lebih sebab jika tak sabar, bukan kelopak cantik yang didapat melainkan kelopak gosong terbakar lilin. "Bener juga ya, Mbak. Kira-kira toko mana yang mau menerima aksesoris handmade begini? Duh aku nggak biasa menawarkan ke toko-toko, Mbak. Jadi, agak takut dan malu kalau ditolak apalagi aksesoris pabrikan yang lebih murah dan cantik pun banyak," balasku sambil tersenyum tipis. "Nanti aku antar juga bisa, Mbak. Harus dicoba, kalau nggak mencoba dulu, kita nggak tahu hasilnya gimana, kan? Aksesoris pabrikan emang banyak, tapi yang handmade ini susah ditiru. Tiap ta
|Mbak Wita, bakda maghrib ada acara nggak? Kalau nggak ada, aku mau traktir kamu di Cafe Berliana Jalan Delima 26, nanti aku antar jemput. Kalau Mbak Wita sibuk, bisanya kapan? Biar aku yang nyusun waktu buat Mbak| Sebuah pesan dari Mbak Ulya masuk ke ponsel. Aku membacanya melalui notifikasi. Bakda maghrib? Sepertinya nggak ada acara, lagipula malam minggu begini memang biasanya kugunakan untuk bersantai bersama Zahra di depan tivi. Malas ke mana-mana karena biasanya jalanan macet setiap weekend tiba."Ra, tante Ulya mau traktir kita makan di cafe habis maghrib, Zahra mau?" tanyaku pada gadis kecilku itu yang masih sibuk mengikat tali di rambutnya. "Apa, Bu? Kita mau ditraktir tante Ulya lagi, ya? Horeeeee! Zahra mau, Bu." Gadisku berteriak sembari tepuk tangan kegirangan.Dia bahkan memutar-mutarkan badannya seperti balerina saking senangnya. Mungkin tak hanya senang ditraktir, tapi senang juga diajak jalan-jalan. Jarang aku ajak dia jalan malam-malam begitu. Kasihan dia kalau nai
"Aku akan menjelaskan tentang masa lalu kita, Wita. Aku hanya ingin mengungkapkan semuanya agar kuta sama-sama lega. Tak ada lagi prasangka macam-macam. Jikalaupun nanti kamu nggak percaya, tak apa. Yang penting aku sudah mengatakan yang sejujurnya," ucap laki-laki itu lagi. Entah mengapa hatiku kembali berdebar saat dia mengucapkan kata masa lalu kita. Nyeri dan perih itu kembali menjalar dalam dada.Masa lalu yang membuat hidupku semakin nelangsa, sebab ibu dan bapak pun merasakan dampaknya. Mereka dihina bahkan sempat dikucilkan beberapa tetangga.Aku baru sadar, Mbak Ulya dan Mas Hanan pasti sudah merencanakan pertemuan ini sebelumnya. Mereka bersekongkol. "Kamu mau mendengarkan ceritaku, kan, Wit? Kalau misal nggak mau, aku akan pergi sekarang," ucap Mas Hanan dengan sedikit kebingungan. Mungkin dia merasa nggak enak hati karena aku diam saja sedari tadi. Laki-laki itu beranjak dari kursinya lalu membalikkan badan. Baru beberapa langkah sudah kucegah. "Kalau memang ada yang p