Pov : Hanan"Aku mencintaimu, Wita. Jangan tanyakan mengapa, karena ia hadir begitu saja dalam hati tanpa pernah kuminta apalagi kupaksa," ucapku saat itu pada gadis sederhana dengan hijab merah mudanya. Aku bertemu dengannya beberapa kali di toko buku langganan.Mendengar ungkapan hatiku, bukannya kaget lantas menerima, dia justru tertawa. Sepertinya geli sendiri sampai kulihat dia geleng-geleng kepala lalu meninggalkanku begitu saja. "Aku sudah membayarnya," ucapku pada gadis itu saat dia menyerahkan buku yang dia bawa ke kasir. Sang kasir pun tahu maksudku setelah kukedipkan mata padanya. Aku terbiasa ke toko ini, jadi mereka cukup hafal dan tahu siapa aku."Buat apa dibayarin? Aku nggak minta bahkan kita nggak saling kenal, kan?" tanyanya serius. "Mungkin kamu nggak kenal aku, tapi aku cukup kenal kamu," balasku dengan senyum lebar. Dia makin tak mengerti, terbukti kedua alisnya mengerut karena penasaran. "Namamu Wita. Rumah samping masjid Nurul Huda Jalan Flamboyan 4 tak jauh
|Wit, pulang dulu ya. Ada yang ingin bapak dan ibu bicarakan. Tapi nggak bisa via telepon. Lagipula, sejak kamu bercerai dengan Aris, kamu belum pulang. Ibu dan Bapak kangen sama Zahra juga, sudah hampir tujuh bulan kalian nggak mudik ke Solo. Meski tiap bulan kamu kirim uang, tapi ibu dan bapak butuh kamu. Pulang, ya ... kami menunggumu| Pesan ibu tiga hari yang lalu sengaja belum aku balas. Sengaja ingin membuat kejutan pada ibu dan bapak dengan tiba-tiba nongol di depan pintu.Mereka pasti sangat senang dengan kedatanganku dan cucu kesayangannya hari ini. Aku dan Zahra yang memang jarang pulang membuat rindu mereka semakin membara. Aku pun sama.Kulihat anak gadisku itu yang masih terlelap cukup nyenyak, meski kini aku dan dia masih berada di dalam bus yang akan mengantar kami ke Solo. Tanah kelahiran dengan sejuta kenangan.Teringat kembali senyum dan tawa renyah bapak ibu. Bayangan tentang keromantisan mereka kembali menghiasi pelupuk mata.Membayangkannya saja sebahagia ini, ap
Pov : Yuli "Mas, aku sudah minta maaf sama kamu bahkan sama ibu dan adikmu, tapi kenapa kamu masih melanjutkan perceraian ini? Apa masih kurang banyak permintaan maafku? Aku harus berbuat apa biar kamu mau memaafkanku dan menghentikan perceraian ini, Mas?" tanyaku pada Mas Danu yang terdiam di sofa ruang tengah sembari memangku Annisa. Dia hanya melirikku sekilas lalu menghela napas."Aku janji akan berusaha menjadi istri dan menantu yang baik, Mas. Aku juga akan berusaha menjadi ipar yang baik. Kumohon jangan perpanjang masalah ini ya, Mas," ucapku dengan wajah memohon agar Mas Danu mau menghentikan kasus cerai ini."Cukup, Yul. Bukankah selama ini kamu sudah sering berjanji untuk menjadi istri yang baik? Tapi apa nyatanya? Nol besar," ucap Mas Danu kemudian. Tangisku kembali keras terdengar. Aku tahu jika selama ini memang sering cekcok dengan Mas Danu soal keuangan. Mungkin memang aku yang terlalu banyak menuntut.Sebelum menikah aku sudah berjuang untuk keluarga, karena itulah s
Ibu dan Bapak masih saja membujuk agar aku menyetujui perjodohanku dengan Rony, anak sulung Pakdhe Samsul itu. Mungkin memang ibu bapak khawatir dengan kesendirianku apalagi di kota metropolitan. Meski berulang kali kubilang, usahaku di sana makin maju tapi tetap saja bapak dan ibu masih ragu. Mereka nggak tega membiarkan aku dan Zahra tinggal di kita sebesar Jakarta hanya berdua saja, tanpa sanak saudara. Ibu bapak belum tahu jika Mas Hanan datang lagi bahkan berusaha meyakinkanku kembali. Tak hanya itu saja, dia juga sudah melamarku waktu itu hanya saja kutolak dengan alasan masih trauma dengan pernikahan. Ponselku berdering beberapa kali. Meski begitu malas, mau nggak mau aku mengambil benda hitam pipih itu dari meja rias. Nama Mas Hanan muncul di sana. Nama yang baru dua hari lalu aku simpan di ponselku karena sebelumnya hanya numpang lewat saja tak berniat menyimpannya. Tiga hari ini aku memang istikharah, aku nggak tahu siapa yang terbaik buatku. Aku menyerahkan semua padaN
Detik ini kulihat dua lelaki yang memiliki tujuan sama. Mereka datang ke rumah ini dengan niat untuk melamarku. Keduanya duduk berdampingan dengan tenang, sementara bapak duduk di seberang meja sembari memperhatikan dua laki-laki itu bergantian. Mas Hanan dan Rony. Aku mengenal mereka di masa lalu, namun Rony cukup berbeda karena aku baru ketemu detik ini setelah tiga tahun berlalu.Terakhir kali dia pulang saat kontrak kerjanya habis dan kini kembali ke tanah kelahirannya. Bapak bilang Rony akan membuka usaha di sini dan berhenti kerja di luar negeri.Selain sudah punya modal usaha, kedua orang tuanya juga melarangnya pergi jauh. Alasannya karena mereka sudah cukup tua, takut Rony tak bisa pulang jika mereka kenapa-kenapa. Kembali kuhela napas panjang. Saat ini aku hanya mendengarkan obrolan mereka dari kamarku yang bersebelahan dengan ruang tamu. Aku tak berani duduk diantara mereka. Aku berusaha menguping pembicaraan mereka, tapi tetap saja tak terlalu jelas terdengar. Suara tele
Ibu dan Bapak akhirnya sampai di Jakarta, Rony tampak cukup kelelahan karena tak ada yang gantiin menyetir. Sementara kegiatan ngecraft memang kustop dulu. Orderan yang masuk pun sudah aku selesaikan sebelum mudik ke Solo enam hari lalu. Rony bersama bapak memilih tidur di kontrakan sebelah menggunakan kasur lantai, sementara ibu tidur bersamaku dan Zahra di kontrakan utama. Gegas kukirimkan pesan pada Bang Baim untuk mengantar lima porsi bakso dan es buahnya. Meski di jalan sudah mampir makan, tapi saat ini mereka pasti sudah lapar lagi. Bakso dan es buah lumayan seger buat mengisi perut siang bolong begini. Kami sampai kontrakan pukul sebelas siang karena Rony memang sering istirahat sebentar di pom bensin untuk sekadar melepas lelah. Maklum, dia menyetir sendirian karena memang nggak ada pengganti."Hallo, Wit. Bapak dan Ibu ikut ke Jakarta, ya?" tanya Mas Aris dari seberang. Entah darimana dia tahu kalau ibu dan bapak ikut serta ke Jakarta hari ini. Aku yakin Mas Aris akan cari
Aku siap-siap mengantar Zahra ke sekolah karena hari ini dia ada tes harian. Nggak boleh telat, apalagi tes di jam pertama. Gegas kukeluarkan motor dari dalam kontrakan. Zahra pun buru-buru mengenakan jilbab putihnya lalu keluar rumah sudah dengan seragam dan tas lengkap. Dia memang sudah cukup mandiri di usianya kini. Jika aku masih sibuk di dapur atau packing orderan pun, anak gadisku itu ikut membantu. Beberes rumah yang dia bisa atau memintaku untuk menggunakan tenaganya. Aku sangat bersyukur memiliki Zahra yang begitu pengertian. Tak banyak mengeluh tentang keadaan, cekatan dan dia juga bukan anak yang manja. Apapun yang dia minta selalu berusaha kupenuhi, hanya saja jika belum mampu dia mau menahan keinginannya. Mau menabung sedikit demi sedikit sampai cukup untuk membeli barang yang diinginkannya. Dia anak yang cukup sabar dibandingkan dengan anak lain seusianya. "Kunci sekalian, Ra," ucapku pada anak gadisku itu. Dia pun mengangguk pelan. "Ini kuncinya, Bu. Zahra masukka
Kulihat malaikat tanpa sayapku itu terbaring lemah di pembaringan. Banyak perban di sana-sini, selang infus pun tertancap di tangannya. Bapak mengedipkan matanya ke arahku. Duka itu menggantung di wajahnya yang menua. "Pak ... bagaimana keadaan bapak sekarang? Bapak harus sembuh, ya?" Aku terisak di sampingnya. Mencium punggung tangannya yang mengeriput. Kedua mata itu pun berkaca-kaca melihatku begitu berduka. Ya Allah ... aku benar-benar takut kehilangan bapak. Aku takut bapak pergi sebelum aku bisa mewujudkan semua impian-impiannya. Panjangkan lah umurnya, agar dia bisa menjadi wali dan menyaksikan hari bahagiaku nanti. Seperti yang dia inginkan selama ini. "Zahra mana?" Lirih kudengar suara bapak menanyakan cucu kesayangannya. "Di Jakarta sama Mbak Mayang, Pak. Kasihan dia kalau diajak ke sini," ucapku lirih. Kuseka bulir bening yang menetes di kedua pipinya yang mengeriput. "Rony baik-baik saja, kan? Kasihan dia," tanya bapak lagi. Aku pun kembali menyeka air mata yang meniti