Seminggu setelah perampokan terjadi, Pak Agus dan papa membawa bukti lain untukku. Bukti pengakuan Romi bahawa memang dialah yang memberitahukan letak cctv di toko busana milikku pada para preman itu. Dengan begitu mereka bisa merusak cctvnya terlebih dulu sebelum melancarkan aksinya demi menghilangkan jejak. Namun namanya bangkai meski berusaha ditutupi serapat mungkin, seiring berjalannya waktu akan tercium juga. Begitu pula dengan kasus yang terjadi di tokoku itu. Penyelidikan berjalan lancar hingga mereka berhasil menggelandang lima orang pelaku perampokan itu ke jeruji besi. Sementara kini aku kembali berhadapan dengan Romi yang tengah menunduk, meminta maaf berulang kali agar aku memaafkan kesalahannya. "Saya benar-benar minta maaf, Bu. Sungguh, tak bermaksud mencurangi ibu, hanya saja mereka memang selalu membully bahkan mengancam saya setiap hari. Gaji saya kerja di sini nyaris selalu habis hanya untuk menuruti kemauan mereka. Tak ada nyali melawan sebab mereka menang ban
Tak ingin terjadi keributan antara Nesya dan Syifa kembali, aku pun meminta ketiga perempuan itu segera pergi. Namun yang kudapatkan justru dorongan kasar Nesya karena tak ingin diatur-atur olehku, katanya. "Siapa Lo sok ngatur!" ucapnya sembari mendorong kasar bahuku. Beberapa pengunjung mall pun menoleh ke arah kami seketika. Syifa yang sejak kecelakaan Mas Hanan itu masih menyimpan kekesalan pada Nesya akhirnya tak tinggal diam. Dia dorong balik perempuan itu hingga nyaris terjengkang karena dia tak siap dan saking kagetnya. "Lo yang sok ngatur hidup kakak gue. Jangan hina Mbak Wita lagi kalau Lo nggak mau berurusan dengan gue. Dasar perempuan matre! Yang Lo hina ini jauh lebih baik dibandingkan Lo. PuZa butik, cari saja di google, itu milik perempuan yang Lo hina ini. Butik yang dia miliki sebelum nikah sama kakak gue. Paham!" sentak Syifa sembari menatap tajam Nesya yang berdiri di tengah kedua temannya itu. "Salah satu karyanya yang Lo pakai itu!" sentaknya lagi. Kutarik pe
Aku tak tahu pasti maksud pengirim buket bunga itu, tapi aku menangkap sesuatu yang tak baik dari semua ini. Cinta pertamaku adalah Mas Hanan, sementara lelaki lain yang mengisi hatiku pun hanya Mas Aris. Dia nggak mungkin melakukan hal konyol seperti ini, sebab kata Mbak Henny mantan suamiku itu tengah ta'aruf dengan seorang janda tanpa anak. Seperti dugaanku semula, Syarnila tak mungkin menerima dia apa adanya apalagi setelah dia bangkrut dan sekarang masih berusaha membangun usaha bengkelnya pasca kebakaran waktu itu. "Mas, papa ke mana? Pagi-pagi kok sudah nggak ada di kamarnya," ucapku pada Mas Hanan yang baru saja pulang dari joging. "Ohya, papa tadi minta diantar Pak Sasro ke rumah Syifa soalnya papa beli seblak kesukaannya," balas Mas Hanan sembari melepas sepatunya. "Papa pulang atau nginep di sana, Mas?" Sejak melahirkan Isan, papa memang ikut tinggal bersamaku dan Mas Hanan, sementara rumah papa sendiri sengaja dikontrakkan. Papa tak ingin kesepian di sana dan me
Rumah Sakit Bakti Husada. Aku dan Mas Hanan sudah sampai di sini. Buru-buru memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan lalu kembali menelpon Anjas. Mas Hanan menanyakan kondisi papa dan di sebelah mana papa dirawat. "Papa masih kritis, Sayang," ucap Mas Hanan lirih dengan mata berkaca. Dia menghela napas lalu mengajakku berjalan lebih cepat menuju UGD. Di sana sudah ada Anjas dan Syifa yang saling berpelukan dan menguatkan. Anjas memberikan tempat duduknya untukku. Dia memilih berdiri dan ngobrol dengan Mas Hanan. Sementara aku dan Syifa masih saling peluk untuk sama-sama menguatkan. "Papa, Mbak. Aku takut banget terjadi sesuatu padanya. Rasanya benar-benar nggak sanggup." Lirih kudengar suaranya di tengah isak. Aku mengusap lengannya pelan. "InsyaAllah papa akan kuat dan sehat. Kita hanya bisa berdoa, Syifa," balasku kemudian. Mas Hanan dan Anjas pamit sebentar untuk menjenguk Pak Sasro juga meminta keterangan darinya. Aku pun mengiyakan saja. Ada banyak hal yang
"Papa harus sembuh. Syifa janji kalau papa sembuh akan ajak papa umrah sama-sama lagi. Jangan tinggalkan Syifa, Pa. Maaf kalau selama ini Syifa banyak menyusahkan papa. Syifa janji akan terus berusaha memperbaiki diri." Kalimat itu kembali meluncur di bibir adik iparku, Syifa. Dia yang kini masih tergolek lemah di samping pembaringan papa. Dia terus mengiba pada Yang Esa agar memberikan papa kesembuhan dan umur lebih panjang. Dia selalu berharap sekalipun dalam hati tahu bahwa papa kini telah tiada. Seperti apapun permintaannya, tak akan bisa mengubah takdir jika papa memang telah pergi meninggalkannya. Papa hanya mampu bertahan lima hari saja di rumah sakit. Lima hari yang dilaluinya tanpa bicara apa-apa dan tak berpesan apapun juga sebab beliau koma. Tak hanya Syifa yang berduka. Seluruh keluarga besar bahkan para tetangga pun merasakan kepedihan yang sama. Papa terkenal baik, ramah dan dermawan, wajar jika banyak yang merasa kehilangan. Karangan bunga untuk mengucapkan be
Suasana berkabung masih begitu terasa setelah kepergian papa seminggu yang lalu. Mas Hanan tampak masih sangat lesu, begitupula dengan Syifa. Aku tak bisa berbuat banyak, wajar jika mereka merasa begitu kehilangan papa. Tak ada firasat atau gejala sakit yang menyerang papa, namun ternyata takdir memisahkan kita selamanya. Jika memang ada yang merencanakan ini semua, betapa hancurnya batin Mas Hanan dan Syifa. Mereka pasti tak akan tinggal diam. Aku tahu, takdir memang sudah ditentukan, tapi sengaja merencanakan kecelakaan seseorang bahkan hingga membuatnya kehilangan nyawa jelas sebuah pelanggaran. Teringat kembali dengan amplop berisi kertas ancaman itu. Aku benar-benar takut jika orang itu merencanakan sesuatu yang lebih buruk setelah ini. Sebaiknya aku katakan pada Mas Hanan tentang amplop itu, tapi melihatnya begitu terpuruk membuatku maju mundur untuk menceritakannya. Acara pengajian dan doa-doa untuk papa kami gelar selama seminggu berturut-turut dan hari ini adalah ha
Ruang kerja papa terasa sunyi dan dingin. Mungkin karena sudah ditinggalkan oleh penghuninya seminggu belakangan. Meski begitu, semua perkakas milik papa masih tertata rapi seperti semula. Nggak ada seorang pun yang mengotak-atik apalagi menyingkirkannya. Mas Hanan mulai menyalakan komputer untuk membuka cctv yang terhubung dengan komputer di meja kerja papa. Waktu pun mundur hingga seminggu yang lalu saat papa pergi meninggalkan kami semua. "Nah mulai yang ini, Mas," ucap Anjas sembari menunjuk layar monitor. Dua lelaki itu begitu fokus memperhatikan gerak-gerik dalam rekaman monitor, sementara aku dan Syifa berdiri di belakang mereka ikut memperhatikan tangkapan cctv itu. "Itu karangan bunga tanpa namanya 'kan, Njas?" Mas Hanan kembali menunjuk sebuah mobil yang menurunkan karangan bunga tanpa nama itu di barisan paling ujung. Hanya nama papa saja yang tertera di sana. Tak ada nama pengirimnya. "Iya, Mas. Benar itu karangan bunganya. Cuma siapa yang kirim?" Anjas menoleh ke
SEASON 2 BAB 92 Mas Hanan terdiam sejenak sebelum membalas pertanyaanku tentang pelaku teror itu. Sepertinya dia melamun. "Mas ... kamu nggak apa-apa?" tanyaku lagi sembari mengusap lengannya pelan. Sedikit kaget dia menoleh ke arahku. "Ehya, maaf, Sayang. Masih mikirin tukang ojek itu. Mas dan Anjas sudah menemukan alamat tukang ojeknya sesuai dengan plat nomor motor yang dia pakai. Tadi agak kurang jelas, tapi setelah dizoom sedikit lebih jelas dan berhasil. Ini alamatnya, sudah Mas screenshot," ucap Mas Hanan sembari memperlihatkan foto di layar ponselnya. "Alhamdulillah. Syukurlah kalau sudah ketemu, Mas. Rencananya kapan mau cari alamat itu?" tanyaku lagi."Hari ini juga mau cari alamatnya. Nanti sama Pak Agus juga. InsyaAllah kita akan segera menemukan pelakunya." Mas Hanan begitu yakin lalu menatapku dan Syifa bergantian. Aku pun mengangguk, berusaha memberikan semangat untuknya. Semoga saja teka-teki ini cepat selesai. Pelaku ditangkap dan diadili seadil-adilnya. Aku jug