Aku tak tahu pasti maksud pengirim buket bunga itu, tapi aku menangkap sesuatu yang tak baik dari semua ini. Cinta pertamaku adalah Mas Hanan, sementara lelaki lain yang mengisi hatiku pun hanya Mas Aris. Dia nggak mungkin melakukan hal konyol seperti ini, sebab kata Mbak Henny mantan suamiku itu tengah ta'aruf dengan seorang janda tanpa anak. Seperti dugaanku semula, Syarnila tak mungkin menerima dia apa adanya apalagi setelah dia bangkrut dan sekarang masih berusaha membangun usaha bengkelnya pasca kebakaran waktu itu. "Mas, papa ke mana? Pagi-pagi kok sudah nggak ada di kamarnya," ucapku pada Mas Hanan yang baru saja pulang dari joging. "Ohya, papa tadi minta diantar Pak Sasro ke rumah Syifa soalnya papa beli seblak kesukaannya," balas Mas Hanan sembari melepas sepatunya. "Papa pulang atau nginep di sana, Mas?" Sejak melahirkan Isan, papa memang ikut tinggal bersamaku dan Mas Hanan, sementara rumah papa sendiri sengaja dikontrakkan. Papa tak ingin kesepian di sana dan me
Rumah Sakit Bakti Husada. Aku dan Mas Hanan sudah sampai di sini. Buru-buru memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan lalu kembali menelpon Anjas. Mas Hanan menanyakan kondisi papa dan di sebelah mana papa dirawat. "Papa masih kritis, Sayang," ucap Mas Hanan lirih dengan mata berkaca. Dia menghela napas lalu mengajakku berjalan lebih cepat menuju UGD. Di sana sudah ada Anjas dan Syifa yang saling berpelukan dan menguatkan. Anjas memberikan tempat duduknya untukku. Dia memilih berdiri dan ngobrol dengan Mas Hanan. Sementara aku dan Syifa masih saling peluk untuk sama-sama menguatkan. "Papa, Mbak. Aku takut banget terjadi sesuatu padanya. Rasanya benar-benar nggak sanggup." Lirih kudengar suaranya di tengah isak. Aku mengusap lengannya pelan. "InsyaAllah papa akan kuat dan sehat. Kita hanya bisa berdoa, Syifa," balasku kemudian. Mas Hanan dan Anjas pamit sebentar untuk menjenguk Pak Sasro juga meminta keterangan darinya. Aku pun mengiyakan saja. Ada banyak hal yang
"Papa harus sembuh. Syifa janji kalau papa sembuh akan ajak papa umrah sama-sama lagi. Jangan tinggalkan Syifa, Pa. Maaf kalau selama ini Syifa banyak menyusahkan papa. Syifa janji akan terus berusaha memperbaiki diri." Kalimat itu kembali meluncur di bibir adik iparku, Syifa. Dia yang kini masih tergolek lemah di samping pembaringan papa. Dia terus mengiba pada Yang Esa agar memberikan papa kesembuhan dan umur lebih panjang. Dia selalu berharap sekalipun dalam hati tahu bahwa papa kini telah tiada. Seperti apapun permintaannya, tak akan bisa mengubah takdir jika papa memang telah pergi meninggalkannya. Papa hanya mampu bertahan lima hari saja di rumah sakit. Lima hari yang dilaluinya tanpa bicara apa-apa dan tak berpesan apapun juga sebab beliau koma. Tak hanya Syifa yang berduka. Seluruh keluarga besar bahkan para tetangga pun merasakan kepedihan yang sama. Papa terkenal baik, ramah dan dermawan, wajar jika banyak yang merasa kehilangan. Karangan bunga untuk mengucapkan be
Suasana berkabung masih begitu terasa setelah kepergian papa seminggu yang lalu. Mas Hanan tampak masih sangat lesu, begitupula dengan Syifa. Aku tak bisa berbuat banyak, wajar jika mereka merasa begitu kehilangan papa. Tak ada firasat atau gejala sakit yang menyerang papa, namun ternyata takdir memisahkan kita selamanya. Jika memang ada yang merencanakan ini semua, betapa hancurnya batin Mas Hanan dan Syifa. Mereka pasti tak akan tinggal diam. Aku tahu, takdir memang sudah ditentukan, tapi sengaja merencanakan kecelakaan seseorang bahkan hingga membuatnya kehilangan nyawa jelas sebuah pelanggaran. Teringat kembali dengan amplop berisi kertas ancaman itu. Aku benar-benar takut jika orang itu merencanakan sesuatu yang lebih buruk setelah ini. Sebaiknya aku katakan pada Mas Hanan tentang amplop itu, tapi melihatnya begitu terpuruk membuatku maju mundur untuk menceritakannya. Acara pengajian dan doa-doa untuk papa kami gelar selama seminggu berturut-turut dan hari ini adalah ha
Ruang kerja papa terasa sunyi dan dingin. Mungkin karena sudah ditinggalkan oleh penghuninya seminggu belakangan. Meski begitu, semua perkakas milik papa masih tertata rapi seperti semula. Nggak ada seorang pun yang mengotak-atik apalagi menyingkirkannya. Mas Hanan mulai menyalakan komputer untuk membuka cctv yang terhubung dengan komputer di meja kerja papa. Waktu pun mundur hingga seminggu yang lalu saat papa pergi meninggalkan kami semua. "Nah mulai yang ini, Mas," ucap Anjas sembari menunjuk layar monitor. Dua lelaki itu begitu fokus memperhatikan gerak-gerik dalam rekaman monitor, sementara aku dan Syifa berdiri di belakang mereka ikut memperhatikan tangkapan cctv itu. "Itu karangan bunga tanpa namanya 'kan, Njas?" Mas Hanan kembali menunjuk sebuah mobil yang menurunkan karangan bunga tanpa nama itu di barisan paling ujung. Hanya nama papa saja yang tertera di sana. Tak ada nama pengirimnya. "Iya, Mas. Benar itu karangan bunganya. Cuma siapa yang kirim?" Anjas menoleh ke
SEASON 2 BAB 92 Mas Hanan terdiam sejenak sebelum membalas pertanyaanku tentang pelaku teror itu. Sepertinya dia melamun. "Mas ... kamu nggak apa-apa?" tanyaku lagi sembari mengusap lengannya pelan. Sedikit kaget dia menoleh ke arahku. "Ehya, maaf, Sayang. Masih mikirin tukang ojek itu. Mas dan Anjas sudah menemukan alamat tukang ojeknya sesuai dengan plat nomor motor yang dia pakai. Tadi agak kurang jelas, tapi setelah dizoom sedikit lebih jelas dan berhasil. Ini alamatnya, sudah Mas screenshot," ucap Mas Hanan sembari memperlihatkan foto di layar ponselnya. "Alhamdulillah. Syukurlah kalau sudah ketemu, Mas. Rencananya kapan mau cari alamat itu?" tanyaku lagi."Hari ini juga mau cari alamatnya. Nanti sama Pak Agus juga. InsyaAllah kita akan segera menemukan pelakunya." Mas Hanan begitu yakin lalu menatapku dan Syifa bergantian. Aku pun mengangguk, berusaha memberikan semangat untuknya. Semoga saja teka-teki ini cepat selesai. Pelaku ditangkap dan diadili seadil-adilnya. Aku jug
Pagi ini Hanan dan Anjas kembali menyelidiki siapa sebenarnya pengirim karangan bunga untuk almarhum papa kala itu. Anjas masih fokus dengan kemudinya, sementara Hanan kembali menghubungi Pak Agus untuk ikut mencari alamat tersebut. Jalan Kemuning nomor 25. Berkat cctv di rumah Om Rusdy, dia mendapatkan alamat pemilik motor yang dipakai pelaku untuk menyelipkan surat ancaman itu. Selama ini Hanan merasa tak pernah memiliki musuh, namun dia tahu jika dalam dunia bisnis kadang ada musuh dalam selimut. Sepertinya mendukung padahal sebenarnya ingin menikung. Almarhum papa selalu memberikan banyak nasehat untuk anak lelakinya itu seputar dunia bisnis. Oleh karenanya, meski Hanan tak merasa memiliki musuh, tetap saja dia tak kaget jika ada orang lain yang menganggapnya musuh. Namun satu hal yang tak dia mengerti hingga detik ini. Kenapa kebencian dan dendam musuhnya itu harus mengorbankan orang lain. Kenapa tak bersaing secara terbuka saja tanpa harus mempertaruhkan nyawa. "Kenapa,
Hanan dan Anjas masuk warung makan dengan santai. Ada beberapa orang laki-laki di sana yang tengah menikmati makanannya di piring. Dua di antaranya melirik Hanan sekilas lalu melanjutkan makannya. "Mau makan apa, Mas?" tanya penjaga warteg pada Hanan dan Anjas. "Maaf, Bu. Cuma mau tanya motor yang ada gambar laba-labanya ini punya siapa ya?" tanya Hanan sembari menunjuk salah satu motor yang terparkir di depan warung. "Punya Pak Sapri itu, Mas. Kenapa memangnya?" sahut salah seorang bapak yang duduk paling ujung. "Pak Saprinya ke mana ya, Pak?" tanya Hanan karena menyadari pemilik motor itu tak ada di sini. "Lagi ke toilet, Mas. Sebentar lagi juga ke sini," ucap pemilik warung sembari menunjuk toilet di belakang. Anjas duduk di salah satu kursi, sedangkan Hanan mengambil air mineral dari lemari pendingin lalu meneguknya beberapa kali hingga tandas tak bersisa. Sepertinya dia cukup kehausan saat perjalanan mencari dalang peneroran keluarganya itu. Sekitar sepuluh menit men