Akibat Sumpah Al-Qur'an (14)***"Gitu doang ngadu sama induknya!" sahutnya dingin."Saya serius, Bu Ramlah! Nia itu anak kecil. Jangan dikasari. Kalo Bu Ramlah kasar sama anak-anak Ibu sendiri ya itu hak Bu Ramlah. Asal jangan memperlakukan anak orang lain dengan hal yang sama," ujarku kembali memberinya penjelasan dengan lembut. Bu Ramlah membuang muka sinis. Kudengar juga ia mendengkus dengan kasar."Nggak usah sok ngajarin! Saya lebih tua dari kamu. Saya lebih dulu tinggal di kampung ini daripada kamu. Kamu itu bukan siapa-siapa tanpa bantuan saya. Rumah yang kamu tempati itu juga punya Ibu mertua saya. Untung aja kami kasian sama kamu, jadi yang kami rebut balik cuma tanah di sebelah itu doang!" balasnya menggebu setengah berteriak. Matanya berkilat dengan deru napas tak teratur. Emosi sedang menguasai dirinya.Aku tak terkejut dengan kalimatnya yang mengakui kepemilikan tanah yang sekarang kutempati itu. Bukan hanya sekali Bu Ramlah berkata demikian, bahkan sering kali ia mengum
Akibat Sumpah Al-Qur'an (15)***"Nia mandi dulu gih! Adik biar Ibu yang jaga. Abis ini segera sarapan," pintaku padanya. Nia mengangguk, lalu segera mengambil handuk dan berlari kecil ke kamar mandi.Aku membuka bungkusan yang Bu Ayu berikan itu. Aku tidak begitu tahu soal daging segar, sebab selama ini bisa dibilang aku tidak pernah membeli daging.Untuk melelehkan kebekuannya, aku merendam daging tersebut ke dalam air. Setelahnya kubiarkan, lalu menyiapkan sarapan."Bu ... dagingnya nggak bisa dimakan ya, Bu? Kok, nggak dimasak?" tanya Nia, lalu ia kembali menyuap nasi ke dalam mulut.Akhir-akhir ini kulihat makannya begitu lahap. Padahal hanya sekadar telur dadar dan kecap. Memang selama ini bisa dihitung dengan jari berapa kali Nia makan telur. Sembako yang Ibu kemarin berikan begitu banyak. "Nia pengen makan daging, kah?" "Ngga sih, Bu. Cuma tanya doang hehehe." Ia menyengir menampakkan barisan giginya.Aaarrghh!Aku tersentak mendengar erangan seseorang. Suara itu cukup jauh,
Sumpah Al-Qur'an (16)***Bu Ramlah mengejar langkahku dan berusaha menghalangi agar aku tidak masuk. Rahangnya terlihat mengeras dengan mata yang berkilat. "Ibu .... Nia pulang!" Teriakan Nia mampu mengalihkan tatapan tajam mata Bu Ramlah padaku. Nia berlari kecil menuju kemari.Aku menghela napas lega. Setidaknya kami tidak lagi melanjutkan perdebatan konyol ini. Aku tidak bermaksud sok jago sekarang, tetapi aku hanya ingin menjadi lebih tegas untuk mempertahankan kemanusiaan diri sendiri.Teriakan dan amukan orang-orang dari arah barat memecah keheningan. Bu Ramlah terlihat terkejut lalu dengan tergesa berlari ke asal keributan. Pasalnya dari teriakan orang-orang itu terdengar mengamuk dan menyebut 'kambing'. "Gara-gara kambing yang tadi pasti," celetuk Nia. Ia melongok ke asal suara keributan.Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya. "Kambing tadi?" tanyaku memastikan.Nia mengangguk dengan ekspresi datar, masih berusaha melihat ke arah keributan. "Jadi pulang sekolah tadi Ni
Akibat Sumpah Al-Qur'an (17)****Ingin rasanya bangkit lalu membuka pintu, melihat apa penyebab keributan ini. Sayangnya aku benar-benar kehilangan keberanian. Bahkan sekujur tubuh terasa lemas.Menjelang Subuh, keributan tak juga usai. Justru semakin menjadi. Mataku benar-benar tak dapat terpejam.Aku memutuskan bangkit, melepas mukena lalu berdiri di depan pintu. Aku menarik napas dalam-dalam, untuk meringankan ketakutan. Begitu daun pintu terbuka, aku terperangah kaget melihat orang-orang ramai di depan rumahku. Di jalan, di teras rumah, bahkan ada yang berdiri di bawah pohon jambu saling berbisik. Namun, yang membuatku terpaku adalah keramaian di rumah Bu Ramlah. Tubuhku kembali gemetar. Di luar rumahku ini kebanyakan bapak-bapak, membuatku mengurungkan niat untuk bertanya. Sehingga aku memutuskan untuk kembali masuk. Sungguh pikiranku begitu kalut. Aku merasa rumahku seperti tengah dijaga. Begitu matahari merangkak naik, aku kembali membuka pintu. Masih ramai, tetapi di depan
Akibat Sumpah Al-Qur'an (18)Aku terbangun saat adzan Subuh mengalun indah menyelusup indra pendengaran. Lalu, segera bangkit mengambil wudhu. Kesadaran kembali penuh ketika dingin air wudhu menyapu wajah. Saat kembali ke ruang tengah, kudapati Nia sudah terbangun dan segera beranjak, menuju kamar mandi. Aku bergeming di tempat, merasa ragu untuk membangunkan Bu Ramlah, sebab kuyakin ia begitu lelah seharian menjaga Pak Bahri di rumah sakit. Ah iya, apa mungkin Bu Ayu menemaninya di rumah sakit, itu mengapa tak kulihat sosoknya? Namun, jika iya demikian, kenapa tadi Bu Ramlah masih menanyakan perihal Bu Ayu padaku?"Bu, kenapa kok ngelamun?" tanya Nia mengejutkanku. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bu Ramlah yang sedang tertidur begitu pulasnya, menggeleng pelan dan tersenyum menatap Nia. Wajah Nia tampak terkejut saat melihat Bu Ramlah. Ia memang tak tahu kedatangan Bu Ramlah semalam. Mungkin, saat bangun tidur tadi kesadarannya belum pulih, itu mengapa tak menyadari keberada
Akibat Sumpah Al-Qur'an (19)Dua ipar itu kenapa bertengkar begitu hebat, sedang anak-anaknya hanya diam, menonton ibunya yang sedang beradu urat.Genggaman Nia terasa makin erat di tangan. Aku bingung, sama sekali tidak ada seorang pun yang kulihat untuk diminta bantuan."Nia di sini, ya, sama adik. Ibu mau ke sana dulu," pintaku pada Nia. Namun, ia tak melepas tanganku. Setelah meyakinkan Nia, aku pun menghampiri Bu Ramlah dan Bu Ayu yang masih bersahutan adu bicara. "Bu ... Bu Ramlah!" cegahku. Berusaha memotong ucapannya. Namun suaraku kalah dengan teriakan mereka berdua. Aku kelimpungan. Mereka memang tidak cakar-cakaran atau main tangan, tetapi berteriak saling tunjuk seolah menyalahkan. Aku tak paham dengan apa yang dibicarakan itu.Dengan nekat aku berdiri di tengah-tengah mereka, hingga keduanya pun terdiam seketika. Sebetulnya aku takut, khawatir mereka malah mengeroyok diriku. Namun, aku harus menghentikan pertengkaran mereka, terlebih di depan rumahku."Bu berhenti! Lih
Akibat Sumpah Al-Qur'an (20)PoV ; Pak Bahul.***"Jadi gimana, Mas?" tanya Bahri memastikan. Dia adikku."Ya, jadi, dong! Bagaimana pun, kalau kita bisa memojokkannya, lama-lama tanah itu jadi milik kita. Kamu mau bangun rumah kan, buat anakmu?" ucapku meyakinkannya. Ia mengangguk, membenarkan ucapanku."Tapi aku dapet nggak, nih?" "Tentu saja!" sahutku segera. Saat ini, kami sedang membicarakan hal serius di ruang keluarga. Bahri dan istrinya, juga aku dan istriku. Mereka tampak setuju dengan usulku ini. Terutama Ayu, ia paling antusias menginginkan tanah di sebelah. Bukan tanpa alasan kami menginginkan tanah itu. Pasalnya, tanah yang seharusnya milik kami itu justru Nenek berikan ada anak tirinya, padahal ia tak punya hak atas harta Nenek. Juga, aku berniat untuk membuka usaha ternak kambing join dengan Bahri. Aku datang baik-baik ke rumahnya, janda dua anak yang masih muda itu cukup lugu, kurasa bukan hal sulit untuk merebutnya. Pun, ia hanya pendatang. Suaminya yang notabene
Akibat Sumpah Al-Qur'an (21)"Kalau begitu silakan Bu Ayu saja yang menemani mereka nggak papa. Bu Ramlah minta bantuan saya karena anak-anaknya nggak ada yang pedulikan," sahutku dengan yakin. Bukan sok jago, tetapi aku menyuarakan isi hati. Enggan dianggap cari sensasi. Mendengar sahutanku, matanya berkilat. Ia seakan meradang tak terima aku melawan.Bu Ayu mendekat dengan kedua tangan bersedekap. Tubuhku menegang kala ia mengangkat jari telunjuknya tepat di depan mukaku."Ka-kamu--" Bibir dengan polesan lipstik merah menyala itu gemetar dengan rahangnya yang mengeras. Giginya seolah saling beradu karena geram. Aku menyondongkan kepala ke belakang, sungguh gerakanku begitu terkunci. Kaki ini seolah terpaku pada bumi."Sejak kapan kamu menjadi berani? Sejak Ramlah berpihak padamu, iya?" sergahnya, suaranya pelan, tetapi penuh penekanan.Aku tak dapat berkata, hanya menggelengkan kepala yang kubisa. Ada rasa menyesal telah menanggapi ucapannya. Aku seakan serba salah, diam saat ditud