Aku menutup hidung dengan ujung baju, lalu membereskan karung yang penuh dengan bercak-bercak darah tersebut. Bau amis dan busuk membuat isi perutku seakan hendak meluap.
Aku meminta Nia untuk menjaga Ica, tak mengizinkan mereka untuk memasuki dapur. Pastilah Nia tidak akan bisa menahan rasa mualnya.
Karung itu kulipat rapi, sedangkan sisa-sisa potongan kambing yang tak bisa dimakan itu kubungkus plastik, lalu menguburnya dalam tanah. Supaya bau busuknya tak lagi menyengat.
Aku mengusap peluh di dahi. Rasanya lelah sekali. Aku teringat pepatah orang Jawa, 'Ndak ikut makan nangkanya tapi dapat getahnya', seperti yang kualami sekarang. Aku tersenyum masam, mengingat tak mendapat bagian daging kambingnya, malah diberi kotorannya.
Setelah mandi, aku memasak mie gelas untuk sarapan Nia. Lalu menyuapi Ica dengan biskuit.
"Bu, hari ini aku nggak bawa bekal. Kan, hari Jumat. Pasti pulang cepet," katanya, lalu lanjut menyuap mie ke dalam mulut. Aku mengangguk.
Setelah Nia berangkat, aku merapikan padi yang hendak dijemur. Aku menghentikan gerakan, saat terdengar keramaian orang di sebelah rumah.
Sambil menggendong Ica, aku menghampiri beberapa orang yang terlihat sedang mengukur tanah sebelah rumahku. Pasti mereka suruhan Pak Bahul.
"Ada apa rame-rame, Pak?" tanyaku memastikan. Sebab, mereka mengukur tanah sejengkal dari dinding rumahku.
"Kami diminta Pak Bahul untuk mengukur tanah miliknya," jawab seorang bapak dengan datar. Ia tak cukup ramah. Ah iya, aku lupa orang miskin seperti kami apa pantas disapa dengan ramah?
Aku duduk mengamati dari kejauhan. Cukup lama, juga disertai dengan sedikit perdebatan. Aku tak terlalu paham apa yang mereka katakan. Lalu, dua orang dengan membawa potongan bambu yang sepertinya untuk dibuat pagar, memasang persis di sebelah dinding rumahku.
Aku masih diam, ingin lebih memastikan apa yang mereka lakukan. Di samping itu, aku juga menjaga ayam-ayam tetangga yang memakan padi tak seberapa yang kujemur itu.
Aku terperangah saat bambu yang begitu panjang dipasang di depan pintu dapur. Lalu, anak-anak bambu sebagai pagar dipasang satu persatu dengan rapi. Jika dipagari seperti itu, otomatis pintu dapurku tidak akan bisa dibuka lagi. Terhalang pagar.
Aku menghampiri dan mencegah tindakan mereka dengan halus.
"Pak, kenapa dipagari seperti ini?" tanyaku lembut
"Sebagai pembatas, Bu. Soalnya mau dibuat ternak kambing," jawab seseorang datar.
Mataku menyapu sekeliling. Ramai sekali orang-orang yang memang sudah ditugasi oleh Pak Bahul. Sebagian ada yang mengerjakan kandang yang belum selesai, lalu sebagian membuat pagar. Adapula yang membersihkan sisa-sisa tanaman dan juga rumput di bagian pinggir.
"Tapi, Pak! Nanti pintu saya ketutup dong kalo pagarnya ngepas gitu. Majuan dikit, ya! Di depan pintu itu doang," pintaku menawar. Namun, tak ada yang mempedulikan.
Bu Hamza, yang baru saja dari sungai berhenti melihat perdebatan kecilku yang tak digubris oleh mereka. Bapak itu melanjutkan hingga batang bambu satu per satu terpasang dengan sempurna. Kini, pintu belakang ini benar-benar tidak bisa dibuka lagi.
"Pak! Gimana, sih, kok itu pintu dapur As dipagerin dari luar!" protes Bu Hamza, menghampiri kami.
"Kami diperintah, Bu! Kami hanya bekerja!" sahut Bapak berbaju lengan pendek lantang.
"Ya nggak gitu juga! Tahu diri dikit. Udahlah tanah dapet hasil rampasan, sekarang malah halangin jalan orang lain. Maunya apa, sih?" Bu Hamza terus mengomel, namun tidak ada yang merespon. Rumahku kini seperti terkurung.
Belakang rumah, tanah yang juga milik suamiku itu kini dijadikan tempat kayu bakar milik Pak Bahri. Ia memiliki usaha pembuatan bata. Kayu bakar itu sangat dibutuhkan jika waktunya membakar bata-batanya.
Kini, rumahku terlihat sempurna sudah. Sebelah kanan diapit rumah megah Pak Bahri, bahkan tak bisa kulewati. Sebab pagarnya pun sangat berdempetan dengan dinding rumah. Kini, sebelah kiri pun turut dipagari dengan jarak sejengkal. Tentu tak bisa dilewati juga. Ditambah pintu dapur yang turut dipagari.
Bu Hamza berlalu setelah mencium gemas pipi gembil Ica, tanpa berkata apapun padaku. Namun, raut wajahnya terlihat kesal, ia pergi dengan melengos pada tukang yang bahkan tak menghiraukan.
Aku masih mencoba mencegah, namun sama sekali tidak ada yang meladeni ucapanku. Mereka sibuk dengan paku dan palu untuk menyempurnakan pemasangan pagar itu.
"Pak! Hei hentikan, Pak!" teriak seseorang dari kejauhan. Aku terperangah saat melihat Pak RT dan beberapa Ibu-ibu yang lain datang kemari.
Mereka semua menghentikan aktivitas. Seorang bapak berbaju biru dengan tubuh kekar maju, menghampiri Pak RT.
"Kenapa, Pak? Ada apa datang rame-rame?" tanyanya ketus.
"Pak, jangan seperti inilah. Mana hati kemanusiaannya. Jangan dihalangi pintu dapur Mbak As!" ucap Pak RT tegas.
"Kami hanya bekerja. Diperintah Pak Bahul. Kalau mau protes, sana sama Pak Bahul!" ujarnya sengit. Para pekerja Pak Bahul bukanlah orang kampung sendiri, itu mengapa kami semua tak mengenalnya.
"Hentikan dulu! Biar saya bicara sama Pak Bahul." Pak RT berlalu, Ibu-ibu yang lain saling berbisik. Ada juga yang mengomel karena kesal dengan perbuatan Pak Bahul.
Aku ketakutan, tapi juga lega. Setidaknya aku memiliki seseorang untuk membela. Apalah aku wanita yang tidak berdaya ini, tak ada keberanian hanya untuk sekadar protes pada Pak Bahul. Kedatangan Pak RT mungkin atas laporan dari Bu Hamza.
Pak RT yang tadinya membelaku, setelah bertemu dengan Pak Bahul justru mengiyakan perbuatannya. Aku tahu, sebagai orang kaya Pak Bahul bisa memberikan apa saja. Termasuk uang. Sedangkan uang adalah tuannya manusia. Seperti di balai desa waktu itu, Pak Bahul menyewa beberapa orang untuk membela.
Bu Hamza dan yang lain protes. Mungkin mereka iba melihatku. Setelah kehilangan tanah satu-satunya, kini aku harus kembali menerima penindasan. Suasana menjadi gaduh. Ica menangis sebab suara keramaian yang terjadi.
Akhirnya Pak RT dan Pak Bahul mengalah. Istrinya itu melirik tajam padaku dan ibu-ibu yang lain. Pak Bahul memberi keringanan, dengan hanya depan pintu saja yang tidak dipagar. Tetapi dengan sarat aku tidak boleh mengambil apapun, termasuk kayu bakar di tanah miliknya itu.
Aku mengiyakan. Setidaknya dapurku tidak akan pengap. Sebab, tidak ada jendela di dapurku itu. Aku tidaklah dekat dengan Bu Hamza dan yang lain. Namun, aku begitu terharu melihat pembelaan mereka. Aku berterima kasih dengan sangat kepada mereka semua.
***
"Bu ... Nia mau belajar kelompok. Kata Bu guru belajarnya di rumah Nisa," ujarnya, setelah melepas baju seragam sekolah.
Aku mengiyakan. "Nanti kalau selesai langsung pulang, ya! Kalau lapar juga pulang dulu!" ucapku mengingatkan. Ia mengangguk semangat.
Aku menumbuk padi di luar. Ica kubiarkan bermain di tanah. Aku menghentikan kegiatan saat mobil box datang beruntun, berhenti di sebelah rumah. Belasan kambing dengan ukuran besar diturunkan, lalu dimasukkan ke dalam kandang-kandangnya yang kini sudah sempurna. Kambing untuk ternak milik Pak Bahul.
"As. Ini saya ada gulai kambing, sama bumbu sate. Ada lontongnya juga." Bu Ramlah menyodorkan sebuah nampan padaku. Aku menerimanya dengan ragu. Ini pasti makanan sisa kemarin. Kuharap, makanan kali ini tidaklah basi.
"Terima kasih, Bu!" jawabku."Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya."Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu."Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya. "Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja."Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati."Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."Ya Allah, astaghfirullah ....Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ic
"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan."Lagian Nia berdiri di situ. Jangan di situ, biar nggak bau," ujarku tertawa."Kenapa kandangnya nggak dimajuin dikit, ya, Bu. Kan juga masih agak luas di depan sana," celetuk Nia. Apa yang ia katakan sama persis dengan yang ada dalam pikiran. Padahal mereka jelas tahu jika rumah ini berpenghuni. Setidaknya tunjukkan sedikit saja rasa manusiawinya padaku. Kupikir, masalah kami ini sudah selesai. Toh tidak ada lagi yang mereka perebutkan dariku. Lalu apa alasan kebenciannya ini?"Udah, Nia mandi dulu sana. Abis itu sarapan," pintaku. Ia mengangguk.Bab (6) fizo***"Bu ... tahu nggak? Menurut Nia, daging ayam bahkan daging kambing yang kemarin itu nggak ada yang bisa ngelebihin enaknya ikan asin," ujar Nia tertawa riang, lalu
Sumpah Al-Qur'an (7)***Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. "As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendun
Sumpah Al-Qur'an (8)***Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.Kilatan peti
Sumpah Al-Qur'an (9)***Walaupun hubungan keluargaku dan Pak Bahul tidak pernah baik, akan tetapi jujur, sama sekali aku tidak dendam. Atau bahkan merasa senang melihat Pak Bahul mendapat cobaan demikian. Tidak sama sekali.Walau terkadang aku juga marah karena perlakuan mereka. Aku bukanlah sabar, atau bahkan tidak bisa marah. Bukan! Keadaan yang menuntutku untuk bersikap demikian. Berusaha tabah. Sebisa mungkin menahan amarah bila merasa ditindas. Berusaha menahan hati agar tidak berdoa keburukan bila merasa didzalimi. Sungguh, aku tidaklah sabar. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, semoga Allah melapangkan hati ini, dan mereka segera sadar atas tindakannya.Pikirku, asal aku bisa makan. Nia dan Ica tidak kelaparan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku juga tahu diri. Tidak berharap bantuan dari tetangga. Yang kuharap hanya mereka memintaku bekerja di ladangnya, lalu diupah dengan layak. Hanya itu. Aku hanya menginginkan hakku.Sering kali saat ada bantuan dari program pemerintah, baik
Sumpah Al-Qur'an (10)"Yeeyyy! Tuh tuh, Ibu pulang. Bawa mie sed**p. Udah lama banget kayaknya kita nggak maem mie itu ya, Dek!" Nia berkata dengan tertawa riang pada adiknya yang hanya dijawab dengan celoteh tak jelas.Anak-anakku rupanya sudah menunggu di teras rumah. "Lho, Bu! Mana bungkusannya, Bu?" tanya Nia. Dahinya mengernyit."Masuk dulu, yuk!" pintaku. Mereka masuk mengekor di belakang.Tadi saat melewati rumah Bu Ayu, aku sengaja memperlambat langkah. Sebab kudengar gelak tawa Bu Ramlah dari sana. Berharap ia melihatku, lalu memberi jatahku itu. Kebetulan pintunya dibuka cukup lebar. Aku melirik sekilas, melihat mereka sedang menata berbagai bungkusan yang aku tak tahu. Sebab aku hanya memandangnya sekilas. Kurang jelas."Bu, Ibu nggak dapet lagi, ya? Kayak daging kambing kemarin," tanya Nia. Kini, raut mukanya itu terlihat kecewa."Apa kehabisan lagi, Bu?" cecarnya terus."Ehmm ... gini ya, Nak. Nia mau mie sed**p, kan? Bentar!" Aku bangkit meninggalkannya. Berjalan menuj
Sumpah Al-Qur'an (11)***"As! Aku ambil cabe dikit, ya? Soalnya di Mbak Tatik lagi telat." Teriak seseorang dari luar, saat kami sarapan. Aku tahu pemilik suara itu."Iya, Bu!" jawabku dari dalam.Di halaman rumah sejak dulu memang kutanam aneka cabe, juga ada beberapa terong. Tidak banyak, sebab halaman itu tak begitu luas.Setelah Nia berangkat, aku membawa Ica keluar, berniat hendak memanen cabe untuk dijual nanti. Namun, langkahku terhenti saat melihat pohon cabe yang berada di sudut barat. Daun-daunnya tergeletak di tanah. Aku teringat Bu Ramlah yang meminta cabe barusan.Setelah masalah kepala ikan kemarin, Bu Ramlah sama sekali tak menyapaku. Bahkan beberapa kali membuang sampah di teras rumah. Aku tak banyak bicara atau berdebat untuk hal kecil seperti itu. Malu pada tetangga yang lain jika harus bertengkar. Jadi aku membersihkannya tanpa protes.Baru tadi ia menyapaku untuk meminta cabe. Itu pun seakan merusak tanamanku. Ia mengambil cabe sekaligus dengan ranting dan daunny
Sumpah Al-Qur'an (12).***Pagi ini usai shalat Subuh, aku pergi ke warung Mbak Tatik untuk menawarkan cabe. Samar terlihat bayangan beberapa orang di sebelah pintu masuk ke sungai. Aku memelankan langkah. Sekujur tubuh terasa gemetar. Suasana masih gelap, membuat pandangan yang juga tidak didukung dengan jarak membuatku berpikir macam-macam. Aku khawatir mereka maling atau orang yang berniat buruk pada rumahku. Terlebih anak-anak masih tidur di sana.Mereka berada di tempat yang gelap. Hanya ada penerangan temaram dari lampu bohlam kuning di belakang rumah Pak Bahul. Dengan jarak beberapa meter dari pintu sungai itu.Aku semakin memelankan langkah untuk mengawasi mereka. Lalu seseorang melangkah menjauh menuju rumah Pak Bahul yang membuatku lega. Rupanya itu Pak Bahul, lalu beberapa orang di tempat gelap itu siapa? Kenapa mereka seakan berbisik-bisik untuk bicara. Tidak seperti tempo hari saat mengevakuasi pohon kapuk yang berkelekar bebas.Aku melanjutkan langkah. Merasa tenang ji