Share

4. Penindasan

Aku menutup hidung dengan ujung baju, lalu membereskan karung yang penuh dengan bercak-bercak darah tersebut. Bau amis dan busuk membuat isi perutku seakan hendak meluap.

Aku meminta Nia untuk menjaga Ica, tak mengizinkan mereka untuk memasuki dapur. Pastilah Nia tidak akan bisa menahan rasa mualnya.

Karung itu kulipat rapi, sedangkan sisa-sisa potongan kambing yang tak bisa dimakan itu kubungkus plastik, lalu menguburnya dalam tanah. Supaya bau busuknya tak lagi menyengat.

Aku mengusap peluh di dahi. Rasanya lelah sekali. Aku teringat pepatah orang Jawa, 'Ndak ikut makan nangkanya tapi dapat getahnya', seperti yang kualami sekarang. Aku tersenyum masam, mengingat tak mendapat bagian daging kambingnya, malah diberi kotorannya.

Setelah mandi, aku memasak mie gelas untuk sarapan Nia. Lalu menyuapi Ica dengan biskuit.

"Bu, hari ini aku nggak bawa bekal. Kan, hari Jumat. Pasti pulang cepet," katanya, lalu lanjut menyuap mie ke dalam mulut. Aku mengangguk.

Setelah Nia berangkat, aku merapikan padi yang hendak dijemur. Aku menghentikan gerakan, saat terdengar keramaian orang di sebelah rumah.

Sambil menggendong Ica, aku menghampiri beberapa orang yang terlihat sedang mengukur tanah sebelah rumahku. Pasti mereka suruhan Pak Bahul.

"Ada apa rame-rame, Pak?" tanyaku memastikan. Sebab, mereka mengukur tanah sejengkal dari dinding rumahku.

"Kami diminta Pak Bahul untuk mengukur tanah miliknya," jawab seorang bapak dengan datar. Ia tak cukup ramah. Ah iya, aku lupa orang miskin seperti kami apa pantas disapa dengan ramah?

Aku duduk mengamati dari kejauhan. Cukup lama, juga disertai dengan sedikit perdebatan. Aku tak terlalu paham apa yang mereka katakan. Lalu, dua orang dengan membawa potongan bambu yang sepertinya untuk dibuat pagar, memasang persis di sebelah dinding rumahku. 

Aku masih diam, ingin lebih memastikan apa yang mereka lakukan. Di samping itu, aku juga menjaga ayam-ayam tetangga yang memakan padi tak seberapa yang kujemur itu.

Aku terperangah saat bambu yang begitu panjang dipasang di depan pintu dapur. Lalu, anak-anak bambu sebagai pagar dipasang satu persatu dengan rapi. Jika dipagari seperti itu, otomatis pintu dapurku tidak akan bisa dibuka lagi. Terhalang pagar.

Aku menghampiri dan mencegah tindakan mereka dengan halus.

"Pak, kenapa dipagari seperti ini?" tanyaku lembut 

"Sebagai pembatas, Bu. Soalnya mau dibuat ternak kambing," jawab seseorang datar.

Mataku menyapu sekeliling. Ramai sekali orang-orang yang memang sudah ditugasi oleh Pak Bahul. Sebagian ada yang mengerjakan kandang yang belum selesai, lalu sebagian membuat pagar. Adapula yang membersihkan sisa-sisa tanaman dan juga rumput di bagian pinggir.

"Tapi, Pak! Nanti pintu saya ketutup dong kalo pagarnya ngepas gitu. Majuan dikit, ya! Di depan pintu itu doang," pintaku menawar. Namun, tak ada yang mempedulikan. 

Bu Hamza, yang baru saja dari sungai berhenti melihat perdebatan kecilku yang tak digubris oleh mereka. Bapak itu melanjutkan hingga batang bambu satu per satu terpasang dengan sempurna. Kini, pintu belakang ini benar-benar tidak bisa dibuka lagi.

"Pak! Gimana, sih, kok itu pintu dapur As dipagerin dari luar!" protes Bu Hamza, menghampiri kami.

"Kami diperintah, Bu! Kami hanya bekerja!" sahut Bapak berbaju lengan pendek lantang.

"Ya nggak gitu juga! Tahu diri dikit. Udahlah tanah dapet hasil rampasan, sekarang malah halangin jalan orang lain. Maunya apa, sih?" Bu Hamza terus mengomel, namun tidak ada yang merespon. Rumahku kini seperti terkurung.

Belakang rumah, tanah yang juga milik suamiku itu kini dijadikan tempat kayu bakar milik Pak Bahri. Ia memiliki usaha pembuatan bata. Kayu bakar itu sangat dibutuhkan jika waktunya membakar bata-batanya.

Kini, rumahku terlihat sempurna sudah. Sebelah kanan diapit rumah megah Pak Bahri, bahkan tak bisa kulewati. Sebab pagarnya pun sangat berdempetan dengan dinding rumah. Kini, sebelah kiri pun turut dipagari dengan jarak sejengkal. Tentu tak bisa dilewati juga. Ditambah pintu dapur yang turut dipagari.

Bu Hamza berlalu setelah mencium gemas pipi gembil Ica, tanpa berkata apapun padaku. Namun, raut wajahnya terlihat kesal, ia pergi dengan melengos pada tukang yang bahkan tak menghiraukan.

Aku masih mencoba mencegah, namun sama sekali tidak ada yang meladeni ucapanku. Mereka sibuk dengan paku dan palu untuk menyempurnakan pemasangan pagar itu.

"Pak! Hei hentikan, Pak!" teriak seseorang dari kejauhan. Aku terperangah saat melihat Pak RT dan beberapa Ibu-ibu yang lain datang kemari.

Mereka semua menghentikan aktivitas. Seorang bapak berbaju biru dengan tubuh kekar maju, menghampiri Pak RT.

"Kenapa, Pak? Ada apa datang rame-rame?" tanyanya ketus.

"Pak, jangan seperti inilah. Mana hati kemanusiaannya. Jangan dihalangi pintu dapur Mbak As!" ucap Pak RT tegas.

"Kami hanya bekerja. Diperintah Pak Bahul. Kalau mau protes, sana sama Pak Bahul!" ujarnya sengit. Para pekerja Pak Bahul bukanlah orang kampung sendiri, itu mengapa kami semua tak mengenalnya.

"Hentikan dulu! Biar saya bicara sama Pak Bahul." Pak RT berlalu, Ibu-ibu yang lain saling berbisik. Ada juga yang mengomel karena kesal dengan perbuatan Pak Bahul.

Aku ketakutan, tapi juga lega. Setidaknya aku memiliki seseorang untuk membela. Apalah aku wanita yang tidak berdaya ini, tak ada keberanian hanya untuk sekadar protes pada Pak Bahul. Kedatangan Pak RT mungkin atas laporan dari Bu Hamza. 

Pak RT yang tadinya membelaku, setelah bertemu dengan Pak Bahul justru mengiyakan perbuatannya. Aku tahu, sebagai orang kaya Pak Bahul bisa memberikan apa saja. Termasuk uang. Sedangkan uang adalah tuannya manusia. Seperti di balai desa waktu itu, Pak Bahul menyewa beberapa orang untuk membela.

Bu Hamza dan yang lain protes. Mungkin mereka iba melihatku. Setelah kehilangan tanah satu-satunya, kini aku harus kembali menerima penindasan. Suasana menjadi gaduh. Ica menangis sebab suara keramaian yang terjadi.

Akhirnya Pak RT dan Pak Bahul mengalah. Istrinya itu melirik tajam padaku dan ibu-ibu yang lain. Pak Bahul memberi keringanan, dengan hanya depan pintu saja yang tidak dipagar. Tetapi dengan sarat aku tidak boleh mengambil apapun, termasuk kayu bakar di tanah miliknya itu.

Aku mengiyakan. Setidaknya dapurku tidak akan pengap. Sebab, tidak ada jendela di dapurku itu. Aku tidaklah dekat dengan Bu Hamza dan yang lain. Namun, aku begitu terharu melihat pembelaan mereka. Aku berterima kasih dengan sangat kepada mereka semua.

***

"Bu ... Nia mau belajar kelompok. Kata Bu guru belajarnya di rumah Nisa," ujarnya, setelah melepas baju seragam sekolah.

Aku mengiyakan. "Nanti kalau selesai langsung pulang, ya! Kalau lapar juga pulang dulu!" ucapku mengingatkan. Ia mengangguk semangat. 

Aku menumbuk padi di luar. Ica kubiarkan bermain di tanah. Aku menghentikan kegiatan saat mobil box datang beruntun, berhenti di sebelah rumah. Belasan kambing dengan ukuran besar diturunkan, lalu dimasukkan ke dalam kandang-kandangnya yang kini sudah sempurna. Kambing untuk ternak milik Pak Bahul.

"As. Ini saya ada gulai kambing, sama bumbu sate. Ada lontongnya juga." Bu Ramlah menyodorkan sebuah nampan padaku. Aku menerimanya dengan ragu. Ini pasti makanan sisa kemarin. Kuharap, makanan kali ini tidaklah basi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status