Share

5. Busuk

last update Last Updated: 2022-06-19 12:56:15

"Terima kasih, Bu!" jawabku.

"Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.

Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya.

"Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu.

"Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya. 

"Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja.

"Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.

Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati.

"Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."

Ya Allah, astaghfirullah ....

Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ica berjalan di depan. Dengan segera kuusap air mata yang berjatuhan.

"Bu, terus tadi, Mama Nisa kayak ngusir ayam. Padahal di teras rumahnya nggak ada ayam, tapi Mama Nisa ngeliatin Nia terus. Apa yang disuruh pergi itu Nia ya, Bu? Makanya Nia pulang, padahal kerja kelompok belum selesai." Nia kembali berkata panjang lebar setelah kami duduk di ruang tengah. Hatiku terasa tercubit mendengarnya.

Aku menyembunyikan tangis di depannya. Lalu tersenyum. "Nggak mungkin, dong. Nia kan anak baik, nggak mungkin diusir. Tapi, mulai sekarang belajar di rumah aja, ya?" pintaku merayu.

"Tapi, kan, tugas dari Bu guru, Bu," katanya dengan raut wajah sedih. Ia tidak memiliki banyak waktu bermain dengan temannya. Hanya ketika di sekolah dan tugas kelompok ia bisa menimbrung. Karena setelah pulang sekolah, ia harus menjaga Ica saat aku bekerja.

Setelah mengambil tumbukan padi, aku menuju dapur. Lalu mencicipi makanan yang Bu Ramlah berikan tadi. Khawatir makanan itu basi seperti kemarin.

Lontongnya sudah lembek. Namun kurasa masih bisa dimakan. Aku hanya perlu memanaskan. Gulai kambing yang hanya tinggal belulang, rasanya juga masih enak. Walau kuahnya terlihat sangat bening dan hambar, sepertinya karena ditambah air. Tak masalah, aku hanya perlu menambahkan sedikit garam.

Bumbu sate itu sudah tidak enak. Mungkin basi karena campuran kacang dan kecap dari kemarin. Mataku berbinar senang saat menemukan potongan kecil daging di dalam bumbu itu. Setelah mencucinya, aku memasukkan ke dalam kuah gulai.

Nia dengan semangat menyantap makan siang ini.

"Benar kata Ibu, rezeki kita untuk makan daging bukan kemarin, tapi sekarang," ujarnya semringah. Lalu lanjut menyuap lontong lembek itu ke dalam mulutnya.

Padahal dagingnya tak seberapa, hanya belulang dan kuah yang banyak. Namun, Nia sudah begitu semangat memakannya.

***

"Ho'oh. Lho, sama? Punyaku juga, lho. Dagingnya hitam. Padahal baru kemarin, aku juga naronya di kulkas."

Tak sengaja aku mendengar obrolan ibu-ibu yang sama-sama bekerja di ladang Bu Surti. Dari percakapannya, aku dapat menangkap jika yang dimaksud mereka itu daging kambing pemberian Pak Bahul.

Daging yang mereka dapat menghitam setelah satu hari didiamkan. Padahal ia meletakkannya di freezer. Beberapa saling bersahutan mengiyakan. Adapula yang menimpali dengan berbagai pendapat miring. 

Kali ini, aku meminta uang sebagai gajinya. Lima belas ribu untuk setengah hari bekerja. Akses satu-satunya menuju persawahan ini satu jalur dengan jalan menuju sungai. Yakni jalanan di sebelah rumahku 

Kami pulang bersama. Namun, pintu untuk keluar yang dulu dibuat suamiku dengan rancang bambu itu ditutup sempurna. Tidak ada lagi jalan untuk keluar.

"Heh! Kenapa ditutup kayak gini, Pak! Pak Bahul!" teriak Bu Surti. Pak Bahul sedang melihat hewan ternaknya.

Pak Bahul berjalan santai menghampiri. "Ini, kan, sekarang milik saya. Jadi bebas mau saya tutup atau gimana."

"Lah, maumu apa sih? Dari dulu juga ini jalan satu-satunya untuk ke kali!" sahut seseorang, kemudian diiyakan oleh yang lain.

"Mohon perhatiannya sejenak. Para bapak dan Ibu sekalian. Di sini saya sebagai RT hendak mengumumkan, apabila setiap minggu dikenakan biaya lima ribu rupiah per orang, untuk membayar pajak jalan milik Pak Bahul, jalan yang mengakses ke sungai. Karena bila tidak, maka jalan itu akan ditutup. Penjelasan, bila di dalam rumah ada empat orang yang sering ke sungai atau sawah, maka dikenakan biaya untuk empat orang tersebut." Suara Pak RT dari pengeras Mushala menggema, membuat kami seketika menganga.

Pajak?

Ya Allah. Bahkan jalan sekecil ini pun dikenakan pajak? 

Seorang Bapak dengan tubuh kekar membuka pintu. Kami berhambur keluar, sebab hari sudah menjelang malam.

***

Pagi ini, aku dengan semangat empat lima memasak sarapan untuk Nia. Nasi putih dengan campuran jagung, dengan lauk ikan asin peda. Tak lupa sambal terasi yang tidak pedas. Untuk si kecil sudah kusiapkan sedikit sayur kacang panjang bening sisa kemarin yang tak sempat kumasak.

"Bu ... Nia semalem jadi nggak nyenyak tidurnya," keluh Nia. Ia mengucek matanya lembut, lalu beranjak ke kamar mandi.

"Kenapa, Nak?" tanyaku, saat ia keluar.

"Rame, Bu. Itu kambingnya bunyi terus. Mana banyak banget kambingnya. Apa bakal seterusnya tiap malam kambing-kambing itu bunyi terus, Bu? Kalo iya, tidur Nia akan terus terganggu dong!" Ia cemberut.

Aku terkikik geli mendengar ucapannya yang sedikit mengomel. Aku sendiri juga kesel sebetulnya, sebab tidur Ica sering terbangun karena suara kambing-kambing yang cukup keras itu.

"Nggak ih. Kan, itu kambingnya baru dateng. Wajar, masih belum kerasan. Lama-lama juga pasti terbiasa itu kambing," jelasku.

"Shalat dulu, gih!" titahku. Nia mengangguk.

Nia memang sudah kubiasakan untuk shalat. Bahkan aku tak segan membangunkannya saat Subuh. Hal ini kulakukan sejak ia masih kecil. Ayahnya dulu yang mengajariku. Hingga sampai saat ini, gadisku itu sudah terbiasa bangun di subuh hari. Biasanya ia juga membantu mengemong Ica saat aku masak. 

Cahaya matahari berpendar di ufuk timur. Aku membuka pintu dapur. Nia kembali ke dapur setelah mendirikan dua rakaat.

"Ihh, Ibu! Bau embek!" Nia menutup hidung dengan lucu. Aku tertawa melihat ekspresinya.

Kandang Pak Bahul yang memanjang ini berdiri tepat di depan pintu dapur. Panjangnya mulai dari dinding ruang tengah, hingga dinding dapur. Sepanjang rumahku. Jadi, pemandangan pertama saat membuka pintu, kini yang terlihat hanya kandang-kandang dan kotoran kambing yang berceceran.

Aku terganggu sebetulnya. Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan juga. Masih syukur diberi keringanan dengan depan pintu dapur tidak ditutup. 

Aku terpaku menatap pintu. Terdapat cerita manis yang membeku. Dulu, yang kuingat saat itu, aku tengah mengandung Nia. Usia kandunganku sudah tua.

Aku meminta untuk jendela samping di dapur ini dijadikan pintu, supaya lebih mudah untukku menuju kebun. Sedangkan pintu di belakang sudah tidak bisa dibuka lagi, sejak ditempati kayu-kayu Pak Bahri yang disusun dengan tinggi. 

Minimnya biaya, juga suamiku yang tak pandai dalam hal demikian, dengan modal nekat ia pun memasang pintu itu sendiri. Akhirnya, pintu itu pun terpasang dengan terbalik. Jika dibuka, maka daun pintu pun terdorong keluar. 

"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Duhh np ndak pindah ke kota aj sh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    63. ENDING

    PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    62. Kebaikan Asti

    Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    61. Penderitaan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    60. Perlakuan Pak Bahri

    Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    59. Pengakuan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    58. Bu Ramlah Dipoligami?

    Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status