Share

5. Busuk

"Terima kasih, Bu!" jawabku.

"Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.

Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya.

"Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu.

"Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya. 

"Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja.

"Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.

Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati.

"Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."

Ya Allah, astaghfirullah ....

Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ica berjalan di depan. Dengan segera kuusap air mata yang berjatuhan.

"Bu, terus tadi, Mama Nisa kayak ngusir ayam. Padahal di teras rumahnya nggak ada ayam, tapi Mama Nisa ngeliatin Nia terus. Apa yang disuruh pergi itu Nia ya, Bu? Makanya Nia pulang, padahal kerja kelompok belum selesai." Nia kembali berkata panjang lebar setelah kami duduk di ruang tengah. Hatiku terasa tercubit mendengarnya.

Aku menyembunyikan tangis di depannya. Lalu tersenyum. "Nggak mungkin, dong. Nia kan anak baik, nggak mungkin diusir. Tapi, mulai sekarang belajar di rumah aja, ya?" pintaku merayu.

"Tapi, kan, tugas dari Bu guru, Bu," katanya dengan raut wajah sedih. Ia tidak memiliki banyak waktu bermain dengan temannya. Hanya ketika di sekolah dan tugas kelompok ia bisa menimbrung. Karena setelah pulang sekolah, ia harus menjaga Ica saat aku bekerja.

Setelah mengambil tumbukan padi, aku menuju dapur. Lalu mencicipi makanan yang Bu Ramlah berikan tadi. Khawatir makanan itu basi seperti kemarin.

Lontongnya sudah lembek. Namun kurasa masih bisa dimakan. Aku hanya perlu memanaskan. Gulai kambing yang hanya tinggal belulang, rasanya juga masih enak. Walau kuahnya terlihat sangat bening dan hambar, sepertinya karena ditambah air. Tak masalah, aku hanya perlu menambahkan sedikit garam.

Bumbu sate itu sudah tidak enak. Mungkin basi karena campuran kacang dan kecap dari kemarin. Mataku berbinar senang saat menemukan potongan kecil daging di dalam bumbu itu. Setelah mencucinya, aku memasukkan ke dalam kuah gulai.

Nia dengan semangat menyantap makan siang ini.

"Benar kata Ibu, rezeki kita untuk makan daging bukan kemarin, tapi sekarang," ujarnya semringah. Lalu lanjut menyuap lontong lembek itu ke dalam mulutnya.

Padahal dagingnya tak seberapa, hanya belulang dan kuah yang banyak. Namun, Nia sudah begitu semangat memakannya.

***

"Ho'oh. Lho, sama? Punyaku juga, lho. Dagingnya hitam. Padahal baru kemarin, aku juga naronya di kulkas."

Tak sengaja aku mendengar obrolan ibu-ibu yang sama-sama bekerja di ladang Bu Surti. Dari percakapannya, aku dapat menangkap jika yang dimaksud mereka itu daging kambing pemberian Pak Bahul.

Daging yang mereka dapat menghitam setelah satu hari didiamkan. Padahal ia meletakkannya di freezer. Beberapa saling bersahutan mengiyakan. Adapula yang menimpali dengan berbagai pendapat miring. 

Kali ini, aku meminta uang sebagai gajinya. Lima belas ribu untuk setengah hari bekerja. Akses satu-satunya menuju persawahan ini satu jalur dengan jalan menuju sungai. Yakni jalanan di sebelah rumahku 

Kami pulang bersama. Namun, pintu untuk keluar yang dulu dibuat suamiku dengan rancang bambu itu ditutup sempurna. Tidak ada lagi jalan untuk keluar.

"Heh! Kenapa ditutup kayak gini, Pak! Pak Bahul!" teriak Bu Surti. Pak Bahul sedang melihat hewan ternaknya.

Pak Bahul berjalan santai menghampiri. "Ini, kan, sekarang milik saya. Jadi bebas mau saya tutup atau gimana."

"Lah, maumu apa sih? Dari dulu juga ini jalan satu-satunya untuk ke kali!" sahut seseorang, kemudian diiyakan oleh yang lain.

"Mohon perhatiannya sejenak. Para bapak dan Ibu sekalian. Di sini saya sebagai RT hendak mengumumkan, apabila setiap minggu dikenakan biaya lima ribu rupiah per orang, untuk membayar pajak jalan milik Pak Bahul, jalan yang mengakses ke sungai. Karena bila tidak, maka jalan itu akan ditutup. Penjelasan, bila di dalam rumah ada empat orang yang sering ke sungai atau sawah, maka dikenakan biaya untuk empat orang tersebut." Suara Pak RT dari pengeras Mushala menggema, membuat kami seketika menganga.

Pajak?

Ya Allah. Bahkan jalan sekecil ini pun dikenakan pajak? 

Seorang Bapak dengan tubuh kekar membuka pintu. Kami berhambur keluar, sebab hari sudah menjelang malam.

***

Pagi ini, aku dengan semangat empat lima memasak sarapan untuk Nia. Nasi putih dengan campuran jagung, dengan lauk ikan asin peda. Tak lupa sambal terasi yang tidak pedas. Untuk si kecil sudah kusiapkan sedikit sayur kacang panjang bening sisa kemarin yang tak sempat kumasak.

"Bu ... Nia semalem jadi nggak nyenyak tidurnya," keluh Nia. Ia mengucek matanya lembut, lalu beranjak ke kamar mandi.

"Kenapa, Nak?" tanyaku, saat ia keluar.

"Rame, Bu. Itu kambingnya bunyi terus. Mana banyak banget kambingnya. Apa bakal seterusnya tiap malam kambing-kambing itu bunyi terus, Bu? Kalo iya, tidur Nia akan terus terganggu dong!" Ia cemberut.

Aku terkikik geli mendengar ucapannya yang sedikit mengomel. Aku sendiri juga kesel sebetulnya, sebab tidur Ica sering terbangun karena suara kambing-kambing yang cukup keras itu.

"Nggak ih. Kan, itu kambingnya baru dateng. Wajar, masih belum kerasan. Lama-lama juga pasti terbiasa itu kambing," jelasku.

"Shalat dulu, gih!" titahku. Nia mengangguk.

Nia memang sudah kubiasakan untuk shalat. Bahkan aku tak segan membangunkannya saat Subuh. Hal ini kulakukan sejak ia masih kecil. Ayahnya dulu yang mengajariku. Hingga sampai saat ini, gadisku itu sudah terbiasa bangun di subuh hari. Biasanya ia juga membantu mengemong Ica saat aku masak. 

Cahaya matahari berpendar di ufuk timur. Aku membuka pintu dapur. Nia kembali ke dapur setelah mendirikan dua rakaat.

"Ihh, Ibu! Bau embek!" Nia menutup hidung dengan lucu. Aku tertawa melihat ekspresinya.

Kandang Pak Bahul yang memanjang ini berdiri tepat di depan pintu dapur. Panjangnya mulai dari dinding ruang tengah, hingga dinding dapur. Sepanjang rumahku. Jadi, pemandangan pertama saat membuka pintu, kini yang terlihat hanya kandang-kandang dan kotoran kambing yang berceceran.

Aku terganggu sebetulnya. Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan juga. Masih syukur diberi keringanan dengan depan pintu dapur tidak ditutup. 

Aku terpaku menatap pintu. Terdapat cerita manis yang membeku. Dulu, yang kuingat saat itu, aku tengah mengandung Nia. Usia kandunganku sudah tua.

Aku meminta untuk jendela samping di dapur ini dijadikan pintu, supaya lebih mudah untukku menuju kebun. Sedangkan pintu di belakang sudah tidak bisa dibuka lagi, sejak ditempati kayu-kayu Pak Bahri yang disusun dengan tinggi. 

Minimnya biaya, juga suamiku yang tak pandai dalam hal demikian, dengan modal nekat ia pun memasang pintu itu sendiri. Akhirnya, pintu itu pun terpasang dengan terbalik. Jika dibuka, maka daun pintu pun terdorong keluar. 

"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Duhh np ndak pindah ke kota aj sh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status