Home / Lainnya / AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN / 3. Daging Kambing

Share

3. Daging Kambing

last update Last Updated: 2022-06-19 12:50:22

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, saat aku pulang dari ladang Bu Surti. Aku berjalan dengan membungkuk, memikul satu kaleng padi di punggung, sebagai gaji buruh. 

Aku menghentikan langkah melihat kerumunan banyak orang di kebun sebelah rumah. Sebagian ada yang berjejer antri, sebagian pulang dengan membawa bungkusan plastik hitam. Mataku berbinar, sepertinya ini pembagian daging kambing.

Benar, bau amis menguar saat aku melewati mereka menuju rumah. Aku mempercepat langkah, lalu meletakkan kaleng padi di dapur. Setelahnya bergegas balik, menimbrung pada kerumunan orang yang sedang mengantri.

Aku mengamati mereka yang maju satu per satu, lalu memberikan secarik kertas pada petugas, mereka bapak-bapak yang kemarin merusak tanamanku. Lalu, petugas pun memberinya bungkusan. Seperti tukar kupon.

Aku mengedarkan pandangan. Semua orang yang mengantri memang memegang kupon dengan warna kuning. Aku kembali pulang, menanyakan pada Nia. 

"Nggak, Bu. Dari tadi Nia jagain adik ngga ada orang yang kasih apa-apa," jawabnya polos. Membuat lututku terasa lemas.

Apa mereka melupakanku? Atau Pak Bahul sengaja karena masih dendam? Tapi, apalagi yang mereka inginkan, toh tanah itu juga sudah didapatkan. 

"Kenapa memangnya, Bu?" tanya Nia. 

"Ibu mau nangis, ya?" Ia kembali bertanya dengan lugu, menghampiriku yang terduduk pilu, dengan mata berembun. Aku menggeleng cepat, lalu tersenyum. 

Bukan aku bermaksud mengemis. Tapi, aku tetangga dekat dengan Pak Bahul. Lalu kenapa aku tidak mendapat jatah itu. Setidaknya walau hanya sepotong tak apa. 

"Nggak, kok. Ibu capek. Nia jagain adik, ya! Ibu mau cari kayu bakar," pamitku. Lalu kembali bangkit. Mungkin Pak Bahul melupakan kupon untukku.

Aku berharap, dengan mencari kayu bakar di sebelah rumah ini, seorang petugas melihatku. Lalu tersadar jika aku belum kebagian. Bukan karena apa aku sampai seperti ini mengharapkan pemberian daging itu, tapi karena Nia tadi sudah begitu senang saat aku berkata nanti kita akan memakan daging kambing, sebagai pengganti dari sayur nangka yang sudah basi itu.

"As!" Aku terperangah senang mendengar teriakan seseorang. Dari suaranya, kutahu itu Bu Ramlah.

Aku meletakkan asal kayu bakar yang kupungut tadi. Lalu berjalan cepat menghampiri Bu Ramlah bersama petugas bagi-bagi daging. Tak lagi ramai seperti tadi. Bungkusan juga tinggal beberapa ketika tak sengaja kulihat.

"Ya, Bu?" tanyaku.

"Kalau mau cari bakar jangan disitu. Entar kamu ambil punyaku lagi."

Aku tertegun mendengar ucapannya. Istri dari Pak Bahri itu berkata dengan nada tak senang. Kupikir tadi ia memanggilku untuk memberi jatah itu. Aku hanya mengangguk samar, lalu kembali ke rumah, meletakkan asal kayu bakar di dapur. 

Ya Allah, ampuni aku yang terlalu berharap pada manusia. Ampuni aku! Air mata mengalir dengan perlahan. Lalu dengan segera kuusap kasar saat Nia menghampiri.

"Bu. Kita jadi makan daging kambing?" tanyanya berbinar. 

Aku terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat.

"Kayaknya nggak jadi, Nak. Soalnya kata Bu Ramlah kehabisan. Mungkin lain waktu ada rezeki untuk kita." Terpaksa aku berbohong.

Wajahnya terlihat kecewa. Lalu tersenyum. "Ohh ... yaudah nggak papa, kok."

Aku lega, Nia memang pengertian. Ia bersikap dewasa sebelum waktunya. Bahkan ia jarang bermain dengan teman-temannya. Ia juga tidak pernah menelantarkan Ica saat kuminta untuk menjaga. 

***

Untuk makan malam, aku menumis kacang panjang hanya dengan garam dan bawang putih. Lalu memakannya bersama Nia. Ia tak lagi bertanya, walau makan tanpa nasi dan lauk.

Tik tok tik tok ....

Suara khas penjual bakso menggema. Nia seketika bangkit lalu mengintip dari jendela. Setelahnya, ia melihatku, lalu kembali tersenyum. Tak berkata apa-apa, tapi aku paham apa maksudnya. 

"Nia mau?" tanyaku. Ia mengangguk semangat.

Aku memberinya uang tiga ribu. Ia dengan senang berlari kecil keluar rumah.

Nia kembali dengan satu bungkus bakso di tangannya. Dulu, kang bakso sempat menolak saat Nia hendak membeli dengan porsi dua ribu. Katanya, minimal tiga ribu.

Aku mengambil mangkok ke dapur. Bau amis yang juga busuk menguar, membuatku sedikit mual. Setelah memberi mangkuk pada Nia, aku kembali mencari asal bau menyengat itu.

Tak kutemukan apapun. Saat membuka pintu dapur, bau itu semakin menyengat indra penciuman. Namun gelap, temaram rembulan tak mampu memperjelas pandangan. Aku kembali menutup pintu, berniat melihatnya esok hari. Mungkin bangkai.

"Bu ... Nia kenyang." Ia menyodorkan mangkok. Masih banyak, kurasa ia hanya memakan satu butir pentol saja.

Ia meneguk air, lalu menuju dapur.

Aku tahu, Nia tidaklah kenyang. Tapi ia memang sengaja menyisakannya untukku. Ia mengerti aku pasti kelaparan setelah bekerja di ladang Bu Surti setengah hari tadi.

"Bu! Ini bau busuk apa?" ujarnya setengah berteriak. Aku menghampiri, meletakkan telunjuk di depan bibir.

"Malem-malem jangan teriak ih," tegurku, ia hanya menyengir. Tangannya terangkat menutup hidung.

"Udah sini kalo selesai. Biar ibu lihat besok." 

Keduanya pun terlelap. Aku memakan bakso sisa Nia tadi. Memandang wajah tenang dua pelita hati, yang selalu menjadi kekuatanku. Satu-satunya harta yang kumiliki mereka. 

Dari kecil aku memang tidak pernah bersahabat baik dengan nasib. Menjadi yatim piatu sejak berusia lima tahun, membuatku diasuh Budhe, yang tak lain Kakak dari Ibuku. 

Karena menumpang, maka aku harus membantu mengerjakan pekerjaan rumah, sebagai imbalan kata Budhe. Disuruh melakukan banyak hal yang tidak seharusnya dilakukan anak kecil seusiaku. Hal itu berlanjut hingga dewasa, hingga suami meminangku sebagai istrinya.

Baru kuketahui belakangan, jika Budhe dan Ibu adalah saudara beda Ibu. Mungkin itu alasan mengapa Budhe tak terlalu sayang padaku. Tapi, aku berterima kasih, setidaknya aku bisa tumbuh besar berkat dirinya.

Aku tak mau hal demikian terjadi pada Nia maupun Ica. Cukup aku yang merasakan. Mataku kembali basah. Aku menangis hingga mimpi menyapa.

***

Usai melaksanakan salat subuh, aku berdiam diri menanti matahari merangkak naik. Saat mengambil wudhu tadi, bau busuk itu semakin menyengat. 

Aku mengambil padi yang kudapat kemarin, lalu meletakkannya di atas karung untuk kujemur, supaya bisa lekas kutumbuk. Pagi ini, aku membeli mie gelas dan biskuit untuk sarapan anak-anak. 

Aku membuka pintu dapur dengan menahan mual. Mataku melebar melihat sisa-sisa potongan kambing dan kotorannya tergeletak asal tepat di depan pintu. Bau busuk begitu menyengat rongga hidung. Siapa yang membuangnya di sini? Apa memang di sengaja?

Ya Allah! Aku mengelus dada, menasihati diri sendiri untuk tabah. Aku tak apa walau tidak kebagian dagingnya. Namun, kenapa bekas potongan dan kotorannya ini diletakkan di depan pintu dapurku? Banyak lalat-lalat hijau yang mengerubungi, membuat perutku terasa diaduk.

Karung berwarna biru sebagai alas pemotongan kambing kemarin juga tergeletak di sana. Berikut isi dalam perut kambing yang tak bisa dimakan. Pantas saja bau busuknya menyengat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Kharisma Ramadhan
sabar kak jangan emosi...
goodnovel comment avatar
Yani Putrisari Msi
tega betul itu org ya, semoga cepat kena ajaib nya...kasian anak-anak nya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Mikir kek mereka udah rebut tanah lu mn mungkin bakalan bagiin daging kambingnya ke elu terus bangke itu supaya lu sekeluarga keluar dr rmh itu biar bs lbh dikuasain tanahnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    63. ENDING

    PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    62. Kebaikan Asti

    Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    61. Penderitaan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    60. Perlakuan Pak Bahri

    Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    59. Pengakuan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    58. Bu Ramlah Dipoligami?

    Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status