Share

3. Daging Kambing

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, saat aku pulang dari ladang Bu Surti. Aku berjalan dengan membungkuk, memikul satu kaleng padi di punggung, sebagai gaji buruh. 

Aku menghentikan langkah melihat kerumunan banyak orang di kebun sebelah rumah. Sebagian ada yang berjejer antri, sebagian pulang dengan membawa bungkusan plastik hitam. Mataku berbinar, sepertinya ini pembagian daging kambing.

Benar, bau amis menguar saat aku melewati mereka menuju rumah. Aku mempercepat langkah, lalu meletakkan kaleng padi di dapur. Setelahnya bergegas balik, menimbrung pada kerumunan orang yang sedang mengantri.

Aku mengamati mereka yang maju satu per satu, lalu memberikan secarik kertas pada petugas, mereka bapak-bapak yang kemarin merusak tanamanku. Lalu, petugas pun memberinya bungkusan. Seperti tukar kupon.

Aku mengedarkan pandangan. Semua orang yang mengantri memang memegang kupon dengan warna kuning. Aku kembali pulang, menanyakan pada Nia. 

"Nggak, Bu. Dari tadi Nia jagain adik ngga ada orang yang kasih apa-apa," jawabnya polos. Membuat lututku terasa lemas.

Apa mereka melupakanku? Atau Pak Bahul sengaja karena masih dendam? Tapi, apalagi yang mereka inginkan, toh tanah itu juga sudah didapatkan. 

"Kenapa memangnya, Bu?" tanya Nia. 

"Ibu mau nangis, ya?" Ia kembali bertanya dengan lugu, menghampiriku yang terduduk pilu, dengan mata berembun. Aku menggeleng cepat, lalu tersenyum. 

Bukan aku bermaksud mengemis. Tapi, aku tetangga dekat dengan Pak Bahul. Lalu kenapa aku tidak mendapat jatah itu. Setidaknya walau hanya sepotong tak apa. 

"Nggak, kok. Ibu capek. Nia jagain adik, ya! Ibu mau cari kayu bakar," pamitku. Lalu kembali bangkit. Mungkin Pak Bahul melupakan kupon untukku.

Aku berharap, dengan mencari kayu bakar di sebelah rumah ini, seorang petugas melihatku. Lalu tersadar jika aku belum kebagian. Bukan karena apa aku sampai seperti ini mengharapkan pemberian daging itu, tapi karena Nia tadi sudah begitu senang saat aku berkata nanti kita akan memakan daging kambing, sebagai pengganti dari sayur nangka yang sudah basi itu.

"As!" Aku terperangah senang mendengar teriakan seseorang. Dari suaranya, kutahu itu Bu Ramlah.

Aku meletakkan asal kayu bakar yang kupungut tadi. Lalu berjalan cepat menghampiri Bu Ramlah bersama petugas bagi-bagi daging. Tak lagi ramai seperti tadi. Bungkusan juga tinggal beberapa ketika tak sengaja kulihat.

"Ya, Bu?" tanyaku.

"Kalau mau cari bakar jangan disitu. Entar kamu ambil punyaku lagi."

Aku tertegun mendengar ucapannya. Istri dari Pak Bahri itu berkata dengan nada tak senang. Kupikir tadi ia memanggilku untuk memberi jatah itu. Aku hanya mengangguk samar, lalu kembali ke rumah, meletakkan asal kayu bakar di dapur. 

Ya Allah, ampuni aku yang terlalu berharap pada manusia. Ampuni aku! Air mata mengalir dengan perlahan. Lalu dengan segera kuusap kasar saat Nia menghampiri.

"Bu. Kita jadi makan daging kambing?" tanyanya berbinar. 

Aku terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat.

"Kayaknya nggak jadi, Nak. Soalnya kata Bu Ramlah kehabisan. Mungkin lain waktu ada rezeki untuk kita." Terpaksa aku berbohong.

Wajahnya terlihat kecewa. Lalu tersenyum. "Ohh ... yaudah nggak papa, kok."

Aku lega, Nia memang pengertian. Ia bersikap dewasa sebelum waktunya. Bahkan ia jarang bermain dengan teman-temannya. Ia juga tidak pernah menelantarkan Ica saat kuminta untuk menjaga. 

***

Untuk makan malam, aku menumis kacang panjang hanya dengan garam dan bawang putih. Lalu memakannya bersama Nia. Ia tak lagi bertanya, walau makan tanpa nasi dan lauk.

Tik tok tik tok ....

Suara khas penjual bakso menggema. Nia seketika bangkit lalu mengintip dari jendela. Setelahnya, ia melihatku, lalu kembali tersenyum. Tak berkata apa-apa, tapi aku paham apa maksudnya. 

"Nia mau?" tanyaku. Ia mengangguk semangat.

Aku memberinya uang tiga ribu. Ia dengan senang berlari kecil keluar rumah.

Nia kembali dengan satu bungkus bakso di tangannya. Dulu, kang bakso sempat menolak saat Nia hendak membeli dengan porsi dua ribu. Katanya, minimal tiga ribu.

Aku mengambil mangkok ke dapur. Bau amis yang juga busuk menguar, membuatku sedikit mual. Setelah memberi mangkuk pada Nia, aku kembali mencari asal bau menyengat itu.

Tak kutemukan apapun. Saat membuka pintu dapur, bau itu semakin menyengat indra penciuman. Namun gelap, temaram rembulan tak mampu memperjelas pandangan. Aku kembali menutup pintu, berniat melihatnya esok hari. Mungkin bangkai.

"Bu ... Nia kenyang." Ia menyodorkan mangkok. Masih banyak, kurasa ia hanya memakan satu butir pentol saja.

Ia meneguk air, lalu menuju dapur.

Aku tahu, Nia tidaklah kenyang. Tapi ia memang sengaja menyisakannya untukku. Ia mengerti aku pasti kelaparan setelah bekerja di ladang Bu Surti setengah hari tadi.

"Bu! Ini bau busuk apa?" ujarnya setengah berteriak. Aku menghampiri, meletakkan telunjuk di depan bibir.

"Malem-malem jangan teriak ih," tegurku, ia hanya menyengir. Tangannya terangkat menutup hidung.

"Udah sini kalo selesai. Biar ibu lihat besok." 

Keduanya pun terlelap. Aku memakan bakso sisa Nia tadi. Memandang wajah tenang dua pelita hati, yang selalu menjadi kekuatanku. Satu-satunya harta yang kumiliki mereka. 

Dari kecil aku memang tidak pernah bersahabat baik dengan nasib. Menjadi yatim piatu sejak berusia lima tahun, membuatku diasuh Budhe, yang tak lain Kakak dari Ibuku. 

Karena menumpang, maka aku harus membantu mengerjakan pekerjaan rumah, sebagai imbalan kata Budhe. Disuruh melakukan banyak hal yang tidak seharusnya dilakukan anak kecil seusiaku. Hal itu berlanjut hingga dewasa, hingga suami meminangku sebagai istrinya.

Baru kuketahui belakangan, jika Budhe dan Ibu adalah saudara beda Ibu. Mungkin itu alasan mengapa Budhe tak terlalu sayang padaku. Tapi, aku berterima kasih, setidaknya aku bisa tumbuh besar berkat dirinya.

Aku tak mau hal demikian terjadi pada Nia maupun Ica. Cukup aku yang merasakan. Mataku kembali basah. Aku menangis hingga mimpi menyapa.

***

Usai melaksanakan salat subuh, aku berdiam diri menanti matahari merangkak naik. Saat mengambil wudhu tadi, bau busuk itu semakin menyengat. 

Aku mengambil padi yang kudapat kemarin, lalu meletakkannya di atas karung untuk kujemur, supaya bisa lekas kutumbuk. Pagi ini, aku membeli mie gelas dan biskuit untuk sarapan anak-anak. 

Aku membuka pintu dapur dengan menahan mual. Mataku melebar melihat sisa-sisa potongan kambing dan kotorannya tergeletak asal tepat di depan pintu. Bau busuk begitu menyengat rongga hidung. Siapa yang membuangnya di sini? Apa memang di sengaja?

Ya Allah! Aku mengelus dada, menasihati diri sendiri untuk tabah. Aku tak apa walau tidak kebagian dagingnya. Namun, kenapa bekas potongan dan kotorannya ini diletakkan di depan pintu dapurku? Banyak lalat-lalat hijau yang mengerubungi, membuat perutku terasa diaduk.

Karung berwarna biru sebagai alas pemotongan kambing kemarin juga tergeletak di sana. Berikut isi dalam perut kambing yang tak bisa dimakan. Pantas saja bau busuknya menyengat.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kharisma Ramadhan
sabar kak jangan emosi...
goodnovel comment avatar
Yani Putrisari Msi
tega betul itu org ya, semoga cepat kena ajaib nya...kasian anak-anak nya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Mikir kek mereka udah rebut tanah lu mn mungkin bakalan bagiin daging kambingnya ke elu terus bangke itu supaya lu sekeluarga keluar dr rmh itu biar bs lbh dikuasain tanahnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status