Share

tiga

Author: Puspita852
last update Last Updated: 2022-12-26 16:04:25

"Anam! Kenapa kamu diam saja melihat kelakuan istrimu! Dia itu benar-benar gak punya sopan santun!" bentak Mbak Sri pada Mas Anam.

Mas Anam berdecak, terlihat sekali kalau dia sedang bingung. Aku yakin itu, berat lah jadi dia saat ini. Niatnya ingin menuruti kakaknya, tapi dia gak enak sama aku. Rasain kamu, Mas. makanya jadi lelaki itu harus tegas.

"Pokoknya aku mau tinggal di sini! Titik!" Mbak Sri menggertak, dia pikir aku takut. Bahkan dia sama sekali tidak memperhatikan wajah adiknya yang sudah terlihat pucat.

"Kok gitu?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. Masih berusaha bersikap santai seperti biasa.

"Ya iyalah ... secara aku ini kakaknya Anam, dan dia yang punya rumah ini, jadi kami juga berhak tinggal di sini!" tukasnya lantang. Seolah dia tahu segalanya.

Aku tak tahan untuk tidak tersenyum melihat kepercayaan diri iparku itu.

"Sarapan dulu, Mas. Ingat maag kamu, dan kita butuh tenaga untuk tetap waras." Aku sama sekali tidak terpancing dengan amarah Mbak Sri. Aku malah menunjukkan perhatian pada suamiku.

Lelaki itu menghela napas kemudian memilih duduk dan mengambil nasi.

"Lilis, kamu juga sarapan. Mbak Sri sarapan dulu ya, hari ini kita akan mencari kontrakan," titahnya pada kedua saudaranya.

Akhirnya pahlawan ini buka suara juga, nah gitu dong Mas. Aku benar-benar bersorak dalam hati. Bukannya aku suka melihat suamiku berani pada kakaknya, tapi sikapnya itu yang menurutku benar. Harus tegas.

Kedua perempuan itu akhirnya duduk dan sarapan juga, tentunya dengan hidangan yang sudah ada di meja. Nasi, sayur lodeh nangka muda juga telur dadar.

Bukankah itu sudah enak? Dasar mahluk yang kurang bersyukur, kembali aku membatin. Kami semua sarapan dalam diam. Namun, denting sendok dan piring yang dipakai Mbak Sri terdengar berisik, entah apa maksudnya.

"Mau kemana, Mbak? Lilis?" tanyaku ketika mereka selesai sarapan dan hendak beranjak dari meja makan.

"Sudahlah, Widya! Aku sudah muak berada di sini! Jadi terserah kami mau ke mana! Bukankah itu yang kamu inginkan!" Lagi-lagi wanita bohay itu menggertak. Apa gak capek ya?

"Bukan begitu, Mbak. Biasakan kalau habis makan, langsung mencuci piringnya," sahutku.

"Kamu jangan kurang ajar, Widya!" bentaknya tak terima dengan ucapanku. "Semakin hari kamu semakin ngelunjak ya. Anam, Mbak semakin yakin untuk memintamu menceraikannya. Dasar wanita tak tahu diuntung!" imbuhnya. Kali ini dadanya sampai terlihat naik turun saking emosinya.

"Udah-udah! Widya, kalau kamu gak mau nyuci, biar nanti aku yang membersihkannya!" Mas Anam akhirnya ikut teriak juga.

Aku hanya memandangnya sekilas, kemudian bangkit dari kursi. Setelah itu melangkah ke wastafel untuk mencuci piring, sendok dan gelas yang tadi kupakai.

"Gak ada lima menit, kok. Air tinggal buka kran, sabun tinggal mencet, lalu susahnya di mana?" ucapku. Jujur aku menyesali perbuatan Mas Anam yang selalu menuruti dan memaklumi kakaknya itu. Rupanya ketegasan yang kusorak tadi hanya pura-pura.

"Hidup itu mudah, Mas. Kita sendiri lah yang membuatnya susah," ucapku sebelum meninggalkan mereka menuju belakang untuk mencuci pakaian yang tadi sudah kurendam.

"Kamu lihat kan, Anam! Bagaimana kelakuan istri kamu itu! Dia bahkan berani menyuruh aku untuk cuci piring!" Amarah Mbak Sri sungguh tidak bisa ditahan lagi.

Bunyi barang pecah memenuhi dapur sekaligus tempat makan itu.

"Ups! Maaf aku gak sengaja!" Teriak Mbak Sri, kemudian diiringi dengan tawa cemprengnya.

"Hati-hati, Mbak. Nanti kena kakimu. Lilis, bantu Mbak Sri keluar. Biar aku yang membersihkan semuanya."

Samar aku mendengar suara Mas Anam menyuruh adiknya keluar. Ya Allah, apa aku terlalu jahat pada saudara iparku? Namun, jika aku teringat dengan ucapannya sungguh hati ini rasanya sakit sekali.

Waktu itu secara tidak sengaja aku mendengar dia sedang berbicara di telepon ketika sedang main ke sini.

"Widya itu mandul, Na. Jadi kamu masih bisa mendekati Anam. Sekarang dia itu sudah sukses, Na. Kerjanya bagus, rumahnya juga."

[ .... ]

"Pokoknya, aku akan berusaha memisahkan mereka, kamu tenang saja ya," ucapnya lagi.

[ .... ]

"Iya jangan khawatir, pokoknya beres. Kamu tahu kan, si Anam itu nurut banget sama aku, jadi gampang lah buat provokasi dia."

[ .... ]

"Eh, iya. Udah dulu ya." Kakak iparku itu pun mengakhiri panggilannya.

Begitulah kata, Mbak Sri pada Erna yang katanya mantannya suamiku itu. Sakit? Tentu saja, rupanya kebaikannya padaku itu palsu, hanya kebohongan belaka. Aku meneruskan langkah yang tadi sempat tertunda karena tak sengaja mendengar kebenarannya. Mungkin, Allah hendak menunjukkan bagaimana sifat kakak iparku itu, dan sejak saat itu aku mulai menjaga jarak agar diri ini tetap waras.

"Wid, kami akan pergi cari kontrakan. Sementara pakaian mereka biar di sini dulu ya?" ucap Mas Anam membuyarkan lamunanku.

"Hem," sahutku asal.

**

Senja mulai hadir menghiasi langit. Warna oranye sangat indah di ujung barat sana, saat aku pulang dari toko Baba Ong.

Dari jauh kulihat pintu rumahku terbuka. Aku tidak berfikir buruk, mungkin Mas Anam sudah pulang dari nyari kontrakan.

"Assalamualaikum," ucapku setelah sampai di depan pintu. Sedikit terkejut ketika di ruang tamu ada Mbak Sri dan beberapa orang yang tidak kukenal sedang duduk di sana.

Mereka semua melihat ke arahku, sementara Mbak Sri nampak cuek. Tanpa menunggu jawaban salam dari mereka aku langsung masuk untuk mencari keberadaan Mas Anam, tak mungkin dia tak tahu tentang semua ini.

Langkahku berhenti ketika melihat Mas Anam melangkah dari dalam sambil membawa nampan. Lelaki itu terlihat kaget saat melihatku, tetapi tetap meneruskan langkahnya hingga melewati diri ini. Setelah meletakkan nampan di meja dan mempersilahkan tamunya untuk minum, baru kemudian Mas Anam menghampiriku.

**

"Apa sudah dapat kontrakannya?" tanyaku setelah kami sudah berada di kamar.

"Sudah," sahutnya datar.

"Bagus lah kalau begitu. Mas, kamu pasti mengenalku kan? Maaf kalau aku ini terkesan jahat pada Mbak Sri. Bukannya kenapa, Mas, banyak keluarga yang hilang keharmonisannya karena hadirnya orang lain. Maksud—,"

"Mbak Sri dan Lilis itu bukan orang lain, Wid!" geramnya dengan suara tertahan. Lelaki itu berjalan menjauh dariku, menuju jendela.

"Iya, aku tahu, tapi dia orang lain dalam rumah tangga kita."

Aku berjalan ke arahnya, berdiri tepat di sampingnya. Mas Anam menoleh seketika tatapan kami beradu, bahkan aku sudah tak lagi melihat keteduhan di mata yang dulu sangat kusukai itu.

"Mungkin ada yang namanya mantan istri, tapi tak kan ada yang namanya mantan saudara," sahutnya.

Aku mengernyit mendengar ucapannya. Kenapa pakai bawa-bawa kata mantan. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Mas?"

Lelaki itu mengalihkan pandangannya. "Mungkin, aku akan—" Mas Anam menggantungkan kalimatnya, membuatku penasaran kemana arah bicaranya.

Kira-kira apa yang akan diucapkan oleh Anam?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si eidya sok pintar namun goblok
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh enam

    Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh lima

    "Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh empat

    "Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh tiga

    "Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh dua

    Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh satu

    "Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status