Share

dua

Penulis: Puspita852
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-26 15:55:14

Keputusanku sudah bulat. Aku kenal Mas Anam, dia sebenarnya lelaki baik, tetapi tak bisa berkutik dan sangat manut dengan kakaknya itu. Tak masalah sebenarnya, karena aku sadar jika ikatan darah itu sangatlah kental. Sayang, Mas Anam belum bisa berpikir bijak. Dia seakan lupa jika saat ini dia sudah mempunyai tanggung jawab atas keluarganya sendiri.

"Wid, tolong ... kali ini saja, kumohon. Ini sudah malam, Widya! Kemana kami harus cari kontrakan?" pekiknya putus asa.

Sungguh aku jadi merasa tak enak hati, seolah diri ini adalah istri yang tidak punya akhlak, yang tak patuh pada suami dan jahat pada saudara ipar. Huh, menyebalkan. Ah, andai kelakuan iparku tak seperti itu. Aku berdecak untuk yang kesekian kalinya. Dan pada akhirnya aku luluh juga melihat tampang Mas Anam yang begitu memohon.

"Baiklah, malam ini aja," ucapku kemudian dan sontak itu membuatnya memeluk tubuh ini.

Suamiku ini sebenarnya lelaki yang manis, pekerja keras juga baik, mangkanya aku mau ketika dia melamar, tapi itu dulu sebelum kedatangan saudaranya ke kota ini untuk bekerja. Perlahan tapi pasti, sikap Mas Anam berubah menjadi suami menyebalkan dan pemarah.

Awalnya semua berjalan normal dan baik-baik saja. Semua bermula ketika Mbak Sri datang padaku untuk meminjam sejumlah uang. Sekali dua kali bahkan sampai ke berapa kali selalu kuberi, karena semua itu atas perintah Mas Anam.

Bukannya berterima kasih, kakak suamiku itu malah bersikap memusuhiku dan yang lebih parah dia sering mengadu domba antara aku dan Mas Anam. Semua semakin rumit ketika Mas Anam selalu percaya dengan semua ucapannya tampa mendengar atau bertanya kebenarannya padaku.

"Terima kasih, Wid," ucapnya yang masih memeluk diri ini, hingga membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk. "Malam ini saja, demi kewarasanku," sahutku lirih. Aku benar-benar tidak nyaman dengan semua ini. Salahkah jika aku mengumpat. Ipar tak tahu diri!

Mas Anam mengurai pelukannya, lelakiku itu tak menyahut, walau bisa kulihat ada yang ingin diucapkannya.

****

Sudah menjadi kebiasaanku yang selalu terjaga sebelum terdengar sholawat tarhim subuh dari masjid. Aktivitas pertama yang kulakukan adalah membersihkan diri. Yap, semenjak tahu betapa banyak manfaat mandi sebelum subuh aku semakin bersemangat melakukannya. Berrr dingin, tapi seger.

Baru kemudian akan membangunkan Mas Anam, walau sering kali dia tak merespon dan hanya menggeliat saja, setelah itu akan kembali menarik selimut.

Sering kali aku mengingatkannya tentang kewajiban sholat tepat waktu. Namun, dia selalu abai, Mas Anam seringkali melakukan kewajiban di akhir waktu.

Setelah melaksanakan kewajiban dua rekaat, aku selalu berusaha menyempatkan diri untuk membaca Kalamullah walaupun hanya satu dua ayat. Rasanya hati ini tenang setelah membacanya.

"Mas, Bangun, subuhan dulu." Lelaki itu hanya menggeliat sambil bergumam tak jelas.

"Mas, ayo bangun. Subuh dulu, keburu siang loh." Kali ini aku mengguncang pundaknya agak keras. Bahkan aku juga sudah mencium kedua pipinya. Namun, suamiku ini masih aja enggan membuka matanya.

"Mas!" sentakku kesal, karena dia tak bangun-bangun.

"Iya-iya! Cerewet!" sahutnya kesal. perlahan dia bangkit kemudian duduk di pinggir ranjang. Namun, matanya masih terpejam sempurna.

"Udah siang, Mas. Entar telat subuhannya." Aku yang kesal akhirnya memutuskan untuk keluar kamar saja daripada emosiku semakin tinggi.

"Hem." Hanya itu yang kudengar.

"Ya Allah, jika suamiku telat menjalankan kewajiban subuhnya itu bukan salahku, karena aku sudah berusaha membangunkannya."

Sengaja aku mengucapkannya agak keras sebelum membuka pintu, agar Mas Anam merasa dan segera beranjak dari ranjang. Benar saja, ekor mataku menangkap sekelebat bayangannya yang bergegas ke kamar mandi sebelum aku benar-benar keluar kamar.

Ketika melewati kamar yang ditempati Mbak Sri dan Lilis pintunya masih tertutup rapat.

"Apa mereka tidak sholat ya?" gumamku, tapi tak mau ambil pusing aku pun melanjutkan langkah ke dapur untuk membuat kopi juga menyiapkan sarapan. Setelah itu aku akan merendam pakaian. Namun, ada yang aneh dari ranjang tempat pakaian kotor. Wadah dari bahan plastik itu terlihat sangat penuh.

Betapa terkejutnya saat aku membuka tutupnya. Pantesan penuh, ternyata di ada tambahan baju yang tak kukenal.

Tak ingin berlama-lama agar tak kesiangan berangkat kerja. Aku pun mengeluarkan beberapa potong baju milik Mbak Sri dan Lilis. Setelah itu merendam pakaianku dan Mas Anam. Sedangkan punya kakak dan adik ipar, kembali kumasukkan ke ranjang.

**

"Ha? Hanya ini sarapannya!" teriak Mbak Sri saat membuka tudung saji, ketika aku hendak menyiapkan sarapan untuk Mas Anam.

"Iya. Mau silahkan, gak mau ya gak usah dimakan," sahutku santai.

"Aku gak mau sarapan kayak gini! Ini kan sayur kemarin!" Lilis ikut menimpali.

Setelah beberapa saat, aku baru menyadari kalau penampilan iparku itu sangat paripurna. Padahal mereka hanya karyawan di sebuah pabrik sandal.

"Ada apa sih, berisik amat?" tanya Mas Anam yang baru keluar dari kamar. Lelakiku itu sudah rapi dengan pakaian kerjanya.

"Anam, pokoknya aku sama Lilis gak mau sarapan pakai masakan ini," sahut Mbak Sri ketus.

Lelakiku itu melirik meja sekilas lalu kembali memandang kakaknya.

"Memang kenapa dengan masakannya, Kak? Enak loh ini, aku memang suka sayur lodeh yang sudah dipanasi. Rasanya mengingatkanku pada masakan ibu." Mas Anam mencoba membujuk Kakaknya, lelakiku itu bicara sambil tersenyum.

Aku sampai dibuat kagum dengan sikapnya yang sangat pengertian pada saudaranya tersebut.

"Kakak dan Lilis udah muak lihat masakan seperti itu, Nam. Bosan!" sahutnya dengan raut wajah kesal.

Mas Anam terlihat menghela napas, sementara aku sudah bersiap untuk menyuapkan nasi ke dalam mulut.

"Ya udah, Mbak mau sarapan pakai apa?"

Tuh kan, dia pasti luluh dengan kakaknya yang gak tahu diri itu. Sementara senyum kemenangan tersungging dari bibir wanita yang rambutnya dicat pirang itu.

**

Aku masih menguyah nasi yang sudah di mulut dengan santai. Bukankah butuh tenaga untuk menghadapi mahluk Allah yang satu ini.

"Mas, udah. Ayo sarapan dulu. Habis ini kan kamu mau cari kontrakan," ucapku setelah meneguk air.

"A-aku akan pergi kerja, Wid. Jadi gak bisa nyari kontrakan sekarang," balasnya gugup.

"Kok gitu? Gak bisa, dong. Kan kamu udah janji kalau hari ini mau nyari kontrakan buat Mbak Sri sama Lilis. Janji itu harus ditepati loh, Mas. Ingat itu," sahutku lagi, setelah itu kembali menyendok nasi yang sudah tercampur dengan sayur.

"Jadi kamu ngusir kami? Sadar dong! Aku sama Lilis ini saudaranya Anam, jadi kami berhak tinggal di sini!" sentak Mbak Sri, rupanya dia tak terima mendengar obrolanku dengan adiknya.

"Oh ya? Kata siapa?" sahutku santai. Kali ini tinggal beberapa sendok lagi nasi yang ada di piringku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh enam

    Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh lima

    "Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh empat

    "Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh tiga

    "Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh dua

    Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini

  • AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!   Empat puluh satu

    "Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status