Share

AKU BUKAN MENANTU IMPIAN
AKU BUKAN MENANTU IMPIAN
Author: Anjani

Part 1. Mertua dan iparku.

AKU BUKAN MENANTU IMPIAN

Part 1. Mertua dan iparku.

Walau tinggal berjauhan, aku masih sering mendengar keluh kesah ibu mertuaku. Kami merantau ke Jakarta, sedang mertua tinggal dikampung halaman. Ia selalu berkabar pada suamiku tentang tingkah polah anak perempuannya atau biasa kusebut adik ipar. Anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di antara empat saudara. Setetelah menikah dan punya seorang anak, dan masih tinggal di rumah orangtua. "Suaminya itu malas banget. Kerjaannya main burung melulu. Nggak mikir cari uang, nggak mikir cari makan buat anak istri. Boro-boro ngasih uang buat orang tua, buat diri sendiri juga nggak mampu,"curhatnya pada suamiku via telfon."Makan darimana dia Bu kalo ngga kerja?" tanya mas Ridwan.

"Ya dari ibulah. Laki pemalas gitu kok di belain terus!"cerocos ibu mertua.

"Padahal udah ibu suruh pisah aja. Mumpung anak baru satu."Ya begitulah. Setiap hari kudengar keluhannya. Tak pernah ada kabar indah dari bibir wanita itu, walau hanya sekata. Bukankah yang di ceritakan itu anak kandungnya? Anak kesayangannya, yang setau ku begitu dimanjakan. Tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci bajunyapun yang melakukan bapak atau ibu mertua. Ipah tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya dari dalam keluarga. Karena dia adalah si Bontot dan anak perempuan satu satunya.Itu dulu waktu Ipah masih perawan. Belum punya tanggungjawab apa apa. Sebelum ia menikah.

Sekarang semua sudah harus berubah. Ipah sudah berkeluarga. Tapi, kebiasaannya belum berubah, masih pemalas. Bahkan di tambah punya suami yang berkarakter sama. Tidak punya inisiatif untuk hidup mandiri. Setidaknya mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. Semua masih mengharap pemberian orangtua, dalam segala hal. Yang pasti menambah beban keluarga Mertuaku.Itu mungkin yang membuat ibu Mertua berkeluh kesah setiap hari. Curhat, walau jarak jauh dengan suamiku.

"Sabarlah Bu," kata mas Ridwan menenangkan dan mengakhiri keluhan ibunya.

" Besok aku transfer."

Hening suara sang Ibu, setiap mendengar kata transfer. Mungkin sedikit lega bisa membantu kebutuhan hidup di kampung, yang berat menanggung beban keluarga Ipah.

Tapi begitulah, Mas Ridwan paling rajin memberi uang untuk Ibunya.

"Paling juga buat kasih makan Ipah dan suaminya yang pemalas itu," ucap ibu mertua.

"Ya buat apa ajalah. Yang penting Ibu punya uang."

Begitulah suamiku. Tak pernah sayang bila untuk keluarganya. 'Tapi tak apalah. Mumpung punya rejeki, pikirku.

***

Singkat cerita, terjadilah perselisihan yang cukup rumit antara mertua dan Ipah. Ipah nekat minggat bersama suami dan anaknya dan pulang ke kampung suami, di Pulau Gadung , Jakarta.

Begitu juga kehidupan ku, ikut berubah. Usaha suamiku bangkrut. Harta yang ku punya habis untuk menutup hutang, bahkan uang simpananku dari usaha buka salon kecil kecilan, yang sedianya akan ku gunakan untuk tambahan membeli rumah ikut amblas tak tersisa.

"Kita harus pulang kampung ya Dek," kata mas Ridwan.

"Tapi Mas, apa ibu mu bisa terima aku. Sedangkan dengan Ipah anak kandungnya aja dia nggak bisa akur. Bagaimana dengan aku yang Mas tau berkarakter keras," kataku ragu.

"Ya, kan tau sendiri. Ipah itu lakinya pemalas. Makan aja nggak bisa sendiri. Nganggur seumur umur. Sudah 5 tahun tinggal di kampung nggak bisa apa apa. Kalo aku kan pekerja keras Dek. Aku mau kerja apa aja demi keluarga kita. Mungkin rejeki kita bukan di sini, tapi di kampung. Ibu aku tuh sebenarnya baik banget. Kamu aja yang jarang ketemu," terang mas Ridwan panjang lebar.

Akhirnya aku turuti keinginan suamiku. Apalagi ku dengar ibu mertua mulai sering sakit sakitan semenjak bapak mertuaku meninggal.

Hitung-hitung cari ladang pahala ngurusin mertua yang sudah mulai renta. Usianya sudah senja, 70 tahun.Dan tinggal sendiri pula.Bagaimana kalau terjadi sesuatu?

Dari sinilah drama kehidupanku di mulai.

Bersambung,,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status