Share

Part 2.Mertua ku ternyata matre.

Aku Bukan Menantu Impian

Part 2.Mertua ku ternyata matre.

Akhirnya, di sini lah, di kampung halaman suamiku, di rumah ibu mertuaku.

Aku dan kedua anakku di boyong suami ke kampungnya. Bermodal sedikit uang yang masih tersisa, kami ingin membangun kehidupan yang mungkin lebih layak.

Mulanya, ibu mertua begitu antusias menerima kedatangan kami. Mungkin karena selama ini hidup seorang diri di rumahnya yang luas itu. Mungkin juga karena tak mampu menahan rasa sepi di kehidupannya yang memang telah senja.

Banyak senyum dan tawa kita lalui. Aku sedikit mampu melupakan rasa keterpurukan ku. Aku bersyukur mempunyai mertua seperti dia.

"Kerasan tinggal di sini Mba?" tanya Mira tetangga depan rumah.

"Kerasan lah Mir, mau ngapain lagi," jawabku.

"Mertua Mba Yani ini kan aduhai," timpalnya sambil melirik Dewi, saudara sepupu Mas Ridwan.

Keduanya tersenyum kecut, sambil menoleh ke arahku.

"Emang kenapa sih?" aku sedikit penasaran dengan ucapan mereka, ditambah raut wajah aneh mereka.

"Nanti Mba Yani tau sendirilah sifat sifatnya. Nggak perlu kita omongin. Nanti malah di kira menggunjing,"" kata Dewi .

"Lagi pula Mba Yani inikan masih baru tinggal ma mertua. Biar menyesuaikan diri dulu."

"Aduh mba, mertuamu itu kan luarbiasa unik. Ipah anak kandungnya aja nggga bisa ngadepin dia," timpal Risma yang baru nimbrung.

"Pelitnya iya, cerewetnya iya. Kalau aku ga bakal betah tinggal sama mertua yang super kayak dia. Mbak Yani ntar juga tau sendiri kayak apa orangnya ."

Mereka masih ngobrol. Sana dan sini, membicarakan banyak hal.

Maklumlah,sekarang tinggal di kampung. mungkin begitulah sifat orang orang disini.Terlalu banyak tau tentang yang satu dan yang lainnya.

Aku hanya perlu mengerti sedikit saja. Tidak perlu banyak ikut campur gunjingan mereka. Terkait itu entah betul atau tidak, aku pun tak terlalu memikirkannya.

Hari berlalu. Mas Ridwan masih mencari cari pekerjaan. Fara putri sulungku sudah mendaftar masuk SMP, sementara Novi si bungsu masuk kelas 4 SD. Masih ada juga cicilan bank yang kurang 24 bulan lagi. Belum lagi uang kami sudah menipis. Apalagi, aku juga habis mengisi warung ibu mertua. Supaya warung Ibu lebih ramai dari biasa, karena kulihat warung Ibu memang perlu tambahan modal.

Tapi nyatanya keberadaan kami tidak selamanya membuat mertuaku bahagia. Keluhanya mulai ku dengar.

"Cari uang sendiri, buat makan rame rame," sungutnya sambil melayani pembeli di warungnya.

"Badan udah tua, boro boro ada yang kasih duit. Ini malah ngempani orang banyak."

"Sabarlah Mbok, namanya anak lagi kena musibah ya harus di bantu," sahut sang pembeli.

"Ya di bantulah. Siapa lagi yang bantu kalau bukan saya," mertua tambah ngotot. Matanya agak melotot sambil melirikku.

"Boro-boro si itu orangtuanya mau membantu."

Degk!!

Jantungku berdetak lebih kencang dari biasa, saat mendengar ucapan ibu mertua.

'Biarlah. Mungkin mertua sedang tidak asik. Mungkin juga rada galau. Hingga ucapan itu keluar dari mulutnya, batinku mencoba mengerti.

Tetapi, dari hari ke hari tidak ada yang berubah. Ucapan mertua bahkan bertambah ketus dan menyakitkan.

"Yang rajinlah cari kerja, biar tukang bank tidak nagih nagih kemari," katanya suatu hari pada Mas Ridwan.

"Ibu malu di datangi tukang bank. Di kira Ibu yang punya utang. Ibu kan nggak pernah punya utang."

"Ya Bu. Ini juga lagi usaha," jawab Mas Ridwan datar.

Memang Mas Ridwan berhutang bank atas nama ibunya. Tapi selama ini kami yang membayar hutang itu. Walaupun ibu mertua juga memakai uang itu,hampir dari separuhnya. Tapi kami tidak pernah mengungkitnya.

Biarlah, sebisa mungkin kami yang mengusahakannya untuk membayar.

"Ibu ini sudah tua, nggak ada yang ngasih, malah di repotkan dengan urusan kalian," ucapnya dengan lebih tajam.

Biasanya, ketika usaha Mas Ridwan masih lancar, Mas Ridwan sering kirim uang. Tapi semua itu seperti tidak berbekas di hati ibu. Hutang bank pun Ibu hanya sebagai atas nama, karena kami yang menanggungnya.

"Oalah Bu, doakan saja rejeki kami lancar, biar tidak menyusahkan Ibu," timpal Mas Ridwan.

"Doa apa! Kalo kamu seperti ini terus dapat rejeki dari mana!?" agak ngegas.

"Dari mana sajalah Bu. Namanya orang lagi usaha."

"Usaha apa kalian ini. Nyusahin!" ucapnya sambil pergi dan membanting pintu.

Aku kaget. Mas Ridwan diam tak bergeming.

"Kok Ibu begitu ya Mas," ucapku.

"Entahlah. Aku juga nggam tahu kalau Ibu fikirannya seperti itu."

Ada bola bening di matanya. Selama aku menjadi istrinya, belum pernah melihat Mas Ridwan menangis. Tapi kali ini, karena ucapan ibunya sendiri, airmata lelaki itu luruh.

Aku ikut terdiam. Air mataku jatuh.

Sampai hati Ibu berkata begitu. Apa beliau tidak berfikir jika ucapannya menyakiti hati kami.

*****

Beberapa hari kami lalui dengan terus mendengar omelan ibu mertuaku.

Hari ini Mas Ridwan baru saja pulang dari rumah tetangga yang menyuruhnya membetulkan listrik yang konslet.

Mas Ridwan mendekatiku.

"Nih ada rejeki Dek," katanya sambil mengangsurkan uang seratus ribu padaku.

Belum juga aku menyahut, Ibu langsung menyela.

"Eh, itu tadi Ibu utang beras sama Mbok Tonah, sana di bayar, 10 kilo 85ribu," katanya.

"Oh iya Bu, ini tolong Ibu bayarkan," kataku sambil memberikan uang itu pada Ibu karena aku belum terlalu mengenal Mbok Tonah. Lagi pula Ibu yang berhutang.

Ibu dengan cepat mengambil uang dari tanganku dan pergi meninggalkan kami.

"Padahal uang itu untuk ongkos anak-anak sekolah besok," kataku.

"Nantikan masih ada sisanya," ujar Mas Ridwan.

"Ya sisa 15 ribu."

Tetapi , di tunggu tunggu, Ibu tidak juga mengembalikan sisa uang itu. 15 ribu itu sangat berarti untuk kami.

Untuk ongkos sekolah anak anakku.

Aku juga tak berusaha meminta uang itu dari Ibu. Mungkin Ibu lupa atau besok besok Ibu ingat, dan mengembalikan padaku.

Tapi tidak.Tak pernah ada kembalian uang dari ibu. Hari ini atau hari hari yang lain.

bersambung,,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status