Share

i. Setelah Empat Bulan

“Aku rindu tidur denganmu.”

Malam benar-benar datang, dan kehadirannya memberiku kebingungan sekaligus keterkejutan paling sempurna di pinggir ranjang. Bola mataku membelalak lebar ㅡtersentak dengan perkataannya yang berada tepat di cuping kananku, sesaat setelah Daniel sudah selesai dengan dirinya yang sedikit basah dan bertelanjang dada untuk tiba-tiba menghampiriku yang melamun di hadapan jendela serta bintang-bintang yang hilang sebab hujan masih terlihat di beberapa langit.

Aku terbatuk, dan jemari kiriku kini telah mendatangi pahaku, meremasnya gelisah.

“Aㅡapa yang mau kaulakukan?”

“Hanya masih merindukan pacarku.” Daniel menundukkan punggungnya untuk mensejajari wajahku yang harus mendongak menatap ke dalam irisnya, mencoba menemukan kejujuran demi kejujuran yang sebenarnya kutahu kalau itu cuma ada di satu minggu pertama hubungan kami sejak Daniel menyatakan cintanya padaku di sebuah taman sunyi, selebihnya hanya perasaan tulus dari satu belah pihak, dan nahas, itu adalah diriku. “Aku ingin berbaring di ranjang sambil memelukmu, sampai kita berdua tertidur lelap, dan terbangun dengan mimpi indah pada keesokan paginya. Tidak bolehkah?”

Terkadang, suara gemuruh yang besar masih terdengar. Jakarta hari ini seperti kado aneh yang sebelumnya tidak pernah kuterima. Aku bahkan ragu untuk menganggap bahwa kami, aku dan Daniel, masih sama seperti dahulu setelah semua yang terjadi dan waktu menggiringku ke permasalahan-permasalahan hidup lainnya yang membentuk sebuah kedewasaan baru dalam diriku, mengajarkan padaku jika cinta bukanlah segalanya.

Aku mengangguk, “Malam ini saja.”

Aku mengais udara melalui mulutku, dan membantingnya pelan. Mungkin benar kalau yang sedang kuperlukan saat ini hanya kepastian, dan aku ingin mendapatkan kepastian itu dengan cara kami bercengkerama lagi, bercerita banyak hal lagi, dan membiarkannya memiliki bibirku lagi.

“Terima kasih.”

Daniel tersenyum. Segelintir bau sabun milikku kemudian terberai di udara ketika dia meninggalkanku ke ruang tamu untuk mengambil tas pakaiannya. Dahulu, ini sering terjadi, dan rasanya senang bisa mendapati tubuhnya dengan harum yang sama denganku setiap kali dia di sini. Namun, sekarang, semua justru terkesan asing. Agaknya, setelah waktu berlalu, orang-orang berubah, bahkan momen manis yang selalu ditertawakan, sekarang cuma jadi kenangan basi yang tidak lagi berarti.

Aku beranjak dari pinggir ranjang. Cermin di meja hiasku sedang menampilkan diriku dengan piyama pink ketika aku datang ke sana untuk mengoleskan sedikit lip balm ke bibirku, dan di belakangku, aku melihat Daniel berjalan ke arahku, dengan kaos polos berwarna putih, celana pendek sepaha berwarna cokelat, serta gelang hitam tipis di pergelangan tangan kanannya. Masih tersenyum, dan berbahaya.

“Cantik sekali,” bisiknya, memelukku.

Aku menatapnya sekilas di cermin, membalasnya dengan sedikit senyum yang kusapukan melalui ujung mulutku kala kubalikkan tubuhku segera dan merelakan hawa dingin yang lagi-lagi kembali berubah menjadi hangat dalam sekejap. Bibir Daniel tiba-tiba datang ke bibirku, mengecup begitu mesra di antara keterkejutanku lagi yang meledak lebih keras dari petasan-petasan tahun baru lalu.

“Selalu manis.”

“Daniel...”

Hujan yang lantas kembali jatuh dengan lebat seakan-akan menjadi kesepakatan tak terucap yang tepat pada saat Daniel menyentuh wajahku dan menciptakan banyak kegelisahanku lagi. Aku bisa merasakan jarinya bergerak mengusapi rahangku, dagu, dan lalu leherku, secara perlahan-lahan. Sebuah kelancangan yang sangat legit ㅡyang selanjutnya telah begitu amat lancang untuk kembali membuatku melemparkan deru napas tergesaku lagi saat dia mengusap bibirku dan menekankan ujung telunjuk kanannya hingga menyentuh ke gigi bawahku, menggodaku.

Aku menunduk, menatap beberapa jemari lain miliknya yang kini telah mencapai paha kananku. Gemuruh petir berbisik ㅡrambut lurusku disingkirkan. Daniel menuntun pelan tubuhku ke ranjang, membaringkan punggung serta pantatku untuk disaksikan langit apartemenku yang bungkam. Sepotong seringaian samar terbentuk di antara wajahnya. Lututku lemas. Nada-nada merayu mulai berlabuh ketika kini dada itu secara nyata terbentang di atas tubuhku, dan tangannya berpindah ke dalam bajuku. Sejemang usai awan malam terasa makin menggelap, dan bibir merah Daniel kembali datang untuk membungkam rapat bibirku.

Aku mendongak dengan kedua iris yang seketika terpejam penuh. Waktu berhenti, dan sebuah lagu sendu milik Anson Seabra tiba-tiba terdengar dari kafe depan gang meskipun tidak nyaring. Suara lenguhan yang rendah hadir melewati urat-urat tipis yang tercipta di sepanjang mulutku dan tengah disesap olehnya begitu kuat. Napasku kacau. Semilir udara yang basah pergi menyeberangi perutku, menjamahi rambut-rambut halus yang tumbuh di bagian bawah dadaku. Esok pagi yang Daniel nantikan bak barang bekas yang saat ini tidak sedang diperlukan ㅡmalam yang sekarang lebih dari sekadar hangat senyatanya lebih berdosa dalam kilatan pendek yang bergairah ketika aku cuma langsung menjerit kencang sewaktu telapak itu hanya terasa kian lezat untuk membuatku segera meletakkan semua lenganku di leher telanjang Daniel saat mendadak dia menarik tangannya untuk naik lebih tinggi, menyusup ke dalam braku dan meremas kuat dadaku.

“Akh!” Aku memekik.

Daniel memberiku ruang dan waktu untuk menengadah kala dia langsung menarik wajahnya, kemudian kami bertemu dalam sebuah titik pandangan yang sama. Sayu, dan basah. Dadaku berdegup kencang. Kebimbangan yang menjadi masalah di kepalaku semenjak dia datang kembali kepadaku justru semakin meluas di dalam hatiku. Separuh dari diriku masih menginginkannya dan menikmati ini, namun, separuhnya lagi masih bersikeras untuk menolak semua tentangnya hari ini. Berusaha mengingat akan empat bulan kami yang berlalu begitu saja ㅡtidak ada bahu Daniel yang seharusnya bisa untuk kusandari saat aku sedang terpuruk karena beberapa hal yang melelahkan : masalah di kantor, atau kerinduanku terhadap masa kanak-kanak.

“Jasmine...”

“NghffㅡDanielㅡakuㅡ”

“Nikmat?”

Aku memejamkan mataku sesekali. Daniel sedang membelai ujung dadaku, sementara aku punya seluruh romaku yang meremang di antara hujan, memberi izin lebih untuk dia menurunkan tangannya lagi buat sampai ke perutku dan menggerayangi dengan lembut. Berada di sana sebelum kemudian kembali mengecup keningku dan bangun dari atas tubuhku, diam memandangiku tanpa suara.

Aku menegang, menyadari panas dan merah wajahku. Awan hitam yang membawa ragaku jauh ke langit, nyaris sampai, seolah membanting kerasku untuk jatuh. Aku merasakan pilu yang menjamahi selangkanganku, berpikir kami akan selesai, namun itu tidak. Aku ikut terbangun dengan diriku yang kacau. Satu kancing piyamaku sudah hilang, dan suraiku tergerai berantakan.

“Hanya sebatas ini, Cantik. Aku, tidak mau merusakmu.” Ekspresinya tenang. Daniel mengulurkan tangannya ke rambutku dan memberi usapan. Dia memilih duduk di sebelahku, dan pada saat aku berpaling untuk melihat lekat ke matanya, wajahnya, sesungguhnya aku bisa mendapati senyum tulus terukir seperti kali pertama kami bertemu, dan itu masih cukup mengesankan. “Suatu hari nanti, kau akan tahu, ada alasan kenapa aku tidak pernah menyentuhmu lebih dari ini.” []

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zelica Artha Aura Potabuga
Krn Dy akn mnjualmu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status