[Note : hai, terima kasih banyak dari pomme untuk yang sudah berkenan mampir, tapi, kalau suka, pomme minta tolong vote sama komentarnya, yaaa, hihi. selamat membaca, semoga dark romance ini bisa menghibur suasana hati kalian ❤]***Mendung.Aku membuang napasku lagi di sepanjang kaca bus Jakarta yang menyambut irisku dengan pemandangan suram tanggal dua belas. Awan hitam membentang apik ㅡmalam sedang membawa dirinya untuk kembali berhadir bersama kejutan-kejutan tidak terduga bulan Mei di lajur kehidupanku; pekerjaan sialan di kantor, uang, bahkan semua orang dalam keterlibatan yang tak diharapkan olehku.Senyumku bersembunyi. Sudah enam bulan semenjak berita kecelakaan tragis itu mengambil alih separuh isi kepalaku untuk tenggelam lama di sana. Suatu senja yang nahas, dan dedaunan melayu dalam sekejap kala harus kuterima sebuah telepon dari Paman yang bilang kalau mobil orang tuaku ditemukan hancur karena menabrak pembatas jurang. Kadar alkohol yang begitu tinggi menjadi alasan palin
“Aku rindu tidur denganmu.”Malam benar-benar datang, dan kehadirannya memberiku kebingungan sekaligus keterkejutan paling sempurna di pinggir ranjang. Bola mataku membelalak lebar ㅡtersentak dengan perkataannya yang berada tepat di cuping kananku, sesaat setelah Daniel sudah selesai dengan dirinya yang sedikit basah dan bertelanjang dada untuk tiba-tiba menghampiriku yang melamun di hadapan jendela serta bintang-bintang yang hilang sebab hujan masih terlihat di beberapa langit.Aku terbatuk, dan jemari kiriku kini telah mendatangi pahaku, meremasnya gelisah.“Aㅡapa yang mau kaulakukan?”“Hanya masih merindukan pacarku.” Daniel menundukkan punggungnya untuk mensejajari wajahku yang harus mendongak menatap ke dalam irisnya, mencoba menemukan kejujuran demi kejujuran yang sebenarnya kutahu kalau itu cuma ada di satu minggu pertama hubungan kami sejak Daniel menyatakan cintanya padaku di sebuah taman sunyi, selebihnya hanya perasaan tulus dari satu belah pihak, dan nahas, itu adalah diri
Pagi membentang, dan kedua mataku sedang terbuka dengan hati-hati. Tidak. Bukan karena irisku yang harus berkompromi dengan sinar tajam matahari. Ini hari Minggu. Aku bahkan bisa tidur lebih lama lagi untuk menghindari semua hal sepele yang mengusik. Namun, pikiranku dipermainkan. Seratus mimpi aneh hadir menghampiriku, dan segala ceritanya terlihat mirip. Aku, dan Daniel, dan beberapa orang lainnya. Manusia-manusia yang tidak kukenal, akan tetapi tampak menginginkanku.“Selamat pagi, Cantik.”Aku mengejap lamban. Daniel tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk milikku. Sekarang lebih dari sebatas cukup untuk membuatku sangat yakin dan percaya kalau tadi malam kami telah kembali melewati malam panjang bersama, memilikinya di atas tempat tidurku, dan bercumbu singkat setelah hampir setengah tahun, persis seperti biasanya, meski sebenarnya itu telah menjadi dahulu sebagai kisah yang telah kuanggap lawas.Senyumku hadir secara tipis atas satu respon yang hangat. Entah. Aku masih meras
Asap rokok mengepul tebal di hadapanku, kali ini seperti kereta api yang melaju di atas rel tidak lurus; udara kotor menyesaki hidungku. Aku terbatuk beberapa kali, mencoba untuk tidak menghirup oksigen, namun terus berakhir gagal dengan aku yang justru nyaris mati kehabisan napas, di antara dua lelaki yang mengapitku di sisi kiri dan kanan pahaku. Daniel, dan Gerry ㅡseseorang yang ternyata adalah bandar narkoba, mafia besar di Jakarta yang masih bersembunyi dengan begitu baik dari jangkauan mata dan tangan polisi.Aku kembali menunduk, mengikis kuku jari kiriku dengan kuku-kuku jari kananku.“Siapa nama lengkapmu?”Berat. Suaranya yang masih sangat asing, mendadak terdengar di kupingku. Gerry. Senyumnya yang lantang menyuguhiku. Dia sedang menghisap sebilah rokoknya bersama sorot runcing yang dia beri padaku, dan dugaanku benar, kalau kami akan harus berbicara usai Daniel menggiringku untuk duduk di tengah-tengah mereka dan mendengarkan berbagai umpatan kotor.“Perkenalkan namamu, Sa
Bulan menontonku dari tempat yang begitu tinggi untuk kusentuh ㅡnapasku masih terus berembus cepat, namun juga sesekali menghilang, memaki diriku sendiri yang tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku sungguh harus melompat dari lantai tiga untuk bisa bebas dari tempat ini dan pergi ke kantor polisi, atau apakah aku malah lebih baik bunuh diri.Gerry baru saja melemparkan sebuah dress pendek ketat, dan setengah dada, kepadaku. Dia bilang, Daniel menjualku karena uang, dan mereka membeliku karena aku punya kategori yang pas untuk memuaskan para pelanggan tetap dari bisnis haram yang mereka jalankan.“Berdandanlah. Selain cantik, kau juga harus seksi. Pelangganmu akan menilai dari bagaimana penampilanmu, dan kepiawaianmu dalam membuat mereka merasa puas olehmu.”Aku duduk diam, merenung memandangi pakaian kurang bahan tersebut. Serta peralatan make-up lengkap, di mana di antaranya terselip lipstik matte berwarna merah terang yang mencolok. Sangat berbeda dari apa yang biasa kupakai dala
“Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”“Apa yang harus kulakukan?”Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pe
Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku. Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari w
Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justr