Share

AKU BUKAN SEORANG PELACUR
AKU BUKAN SEORANG PELACUR
Penulis: POMME

PROLOG

[Note : hai, terima kasih banyak dari pomme untuk yang sudah berkenan mampir, tapi, kalau suka, pomme minta tolong vote sama komentarnya, yaaa, hihi. selamat membaca, semoga dark romance ini bisa menghibur suasana hati kalian ❤]

***

Mendung.

Aku membuang napasku lagi di sepanjang kaca bus Jakarta yang menyambut irisku dengan pemandangan suram tanggal dua belas. Awan hitam membentang apik ㅡmalam sedang membawa dirinya untuk kembali berhadir bersama kejutan-kejutan tidak terduga bulan Mei di lajur kehidupanku; pekerjaan sialan di kantor, uang, bahkan semua orang dalam keterlibatan yang tak diharapkan olehku.

Senyumku bersembunyi. Sudah enam bulan semenjak berita kecelakaan tragis itu mengambil alih separuh isi kepalaku untuk tenggelam lama di sana. Suatu senja yang nahas, dan dedaunan melayu dalam sekejap kala harus kuterima sebuah telepon dari Paman yang bilang kalau mobil orang tuaku ditemukan hancur karena menabrak pembatas jurang. Kadar alkohol yang begitu tinggi menjadi alasan paling bodoh untuk kutertawakan, namun, jawaban itu justru benar adanya. Hobi baru Papa yang belakangan berteman dengan minuman keras membuatku percaya kalau itu mungkin jalan yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta untuk mereka temui akhir hayat.

Sebuah halte kecil berwarna kuning pada akhirnya muncul di depan mataku. Suraiku menari bersama kaki yang melangkah cepat keluar dari pintu bus. Wajahku menunduk, menatap ke jam tanganku. Pukul lima. Gerimis tiba-tiba menyuguhi presensiku di antara matahari yang mau pamit. Aku langsung mengangkat tasku ke atas kepalaku, menyipitkan mata, kemudian hanya berlari menerobos beberapa kerumunan kacau dengan ujung jemari-jemari kaki yang terasa pedih.

Dadaku sesak. Angin tajam berembus ke leherku ketika gedung apartemen menunjukkan selembar heningnya yang menyaksikanku berlari menuju lift. Nyawaku seperti dipacu. Butuh beberapa menit untuk mencapai lobi kecil di mana aku segera menyeret kembali tubuhku buat sampai ke depan pintu unitku, membuat kode masuk, melempar heel dan melepas kaos kakiku, kendati, perasan lelah yang semula memaksaku untuk bunuh diri saja nyatanya mendadak berubah menjadi kepingan-kepingan granat kecil yang bakal meledak di diriku.

Jantungku berdetak laju, dan romaku diremangkan. Daniel, bersandar di sofaku, dengan sebatang rokok di sela jemarinya.

“Hai, Cantik.”

Aku mengejap, lamban. Gemuruh hujan yang tengah berdendang dari balik jendela terbuka seakan tidak sanggup membeli ketidakpercayaanku yang kupertaruhkan di samping rak sepatu. Apakah itu benar, atau apakah kerinduan yang terangkai cuma menjelma sebagai ilusi yang indah. Aku mencoba menepis, namun, mahakarya itu terbentuk secara utuh. Tepat. Di ujung pandanganku.

“Daniel...”

“Apa kabarmu?”

Asap rokok membentang di udara, bak membentuk syair sendu atas sebuah melodi usang dalam siaran lawas radio. Selama beberapa saat, napasku benar-benar habis. Pikiranku kosong. Tidak. Aku tidak percaya ini. Aku tidak yakin kalau sakit hatiku yang terbentuk sepanjang empat bulan seketika sirna, dan kebencian itu turut menghilang.

Daniel memandangiku. Dalam. Sangat dalam. Matanya yang tajam, masih sama. Bahkan, rahang menukiknya dengan dagu agak lancip. Juga, gaya rambutnya yang berponi dan tetap dibelah meskipun kini kusaksikan jika itu sudah berganti warna merah. Semua hal yang kusangka lenyap tanpa kabar, dirinya dan hubungan kami, aku sedang memastikan bahwa dugaanku yang salah telah ditampik dengan satu fakta dalam momen canggung ini sekarang: Daniel kembali. Pacarku, mendatangiku.

“Ini aku. Apakah semengejutkan itu sampai aku belum kunjung mendapatkan sebuah ciuman mesra?” Dia menyeringai, dan aku tersadar dalam seketika ketika mampu kutemukan bibirnya yang dia gigit sambil membentangkan tangannya di bahu sofa yang keras dan ikut kebingungan. Masih terus mengamatiku, menunggu reaksiku. “Come on,” ucapnya, lagi.

Daniel menunjuk sofa kosong di samping badannya menggunakan dagunya, tetapi aku cuma diam, membeku dengan pikiranku.

“Apa... yang sebenarnya terjadi?” Aku menggeleng. “Aku... tidak mengerti.”

“Aku merindukanmu, Jasmine.”

Angin kekanakan kembali datang, petir di seberang pepohonan terekam di ekor mataku. Begitu pantas untuk menambah gelenyar yang merambat dari ujung kaki sampai kepalaku ketika lantas kusadari betul kalau pada akhirnya aku justru melangkah, berjalan pelan ke arahnya, dan kemudian jatuh ke pangkuannya ketika dia menangkap pinggangku dengan cepat sambil menarikku kasar.

Aroma tubuhnya seperti dahulu, dan wajah tampannya yang bersinar dari dekat. Aku meremas pahaku di antara kota keras yang hanya bergeming menyaksikan. Tubuhku kembali kaku. Satu kecupan di leher, usai sekian lama. Daniel meletakkan tangannya di pipiku, dan menyeka rambutku yang jatuh ke belakang telingaku untuk diselipkan dengan rapi. Napasnya terdengar santai, juga terasa manis.

“Daniel, akuㅡ”

“Sst.” Suara hujan yang berirama sendu semakin keras. Nadiku mendadak berdenyut lebih kencang saat Daniel tiba-tiba menaruh jari telunjuknya di bibirku, memberiku sebuah isyarat melalui iris hitamnya. “Jangan bicara.”

Gelap. Sebuah taman sunyi tak berbunga mendadak menyergap pandangan dalam mataku yang sedetik kontan memejam. Bibirnya, ciumannya. Aku meneguk ludah, merasakan milyaran kupu-kupu yang kini bersemayam lagi di dalam perutku. Satu nuansa lama, dan aku kembali membenci sisi asli dari diriku yang lemah, melupakan bagaimana sembilan hari pertamaku tanpa Daniel dipenuhi dengan tisu yang berhamburan di bawah ranjang, mata bengkak, dan keranjang sampah yang berisikan ratusan kertas catatan tentang kesedihanku.

Masih tentang malam itu, atau mungkin juga sebenarnya tidak sepenuhnya karena malam itu. Aku menata diriku seharian dengan sikapku yang sedang buruk ㅡtepat dua bulan setelah kepergian Mama yang menghampiri mimpiku, dan Daniel datang menerobos tempat tinggalku seperti apa yang dia lakukan sekarang. Wajahnya penuh dengan luka, dan kepalanya lebih sering menoleh ke belakang untuk menatap ke pintu ketimbang melihat ke wajahku. Selain tas ransel berisikan pakaian yang tergantung di punggungnya, perkataannya pun kasar, sehingga tidak butuh banyak waktu untuk kami berdua menjadi masing-masing manusia kacau yang bertengkar hebat dalam semalam. Lalu tidak saling menghubungi, dan semua, seperti berakhir.

“Buka mulutmu.”

“DㅡDanielㅡ” Aku menggeleng, menarik wajahku ketika jemarinya meremat tengkukku. Sebagian nyaliku menentangnya, dan aku kembali mendapati satu hal lainnya yang sampai detik ini kusadari bahwa itu tidak berubah dari dirinya, bahkan bisa jadi tidak akan pernah, yaitu, perlakuan kasarnya yang tidak jarang dia persembahkan untukku.

“Aku ingin tahu. Apakah kepergianku selama ini sudah cukup mengusik perasaanmu, Cantik?”

Daniel mengamatiku sementara aku sedang memulai untuk memikirkan semuanya. Situasi ini, kami dan jalan pikirannya. Aku bahkan ingin berteriak di hadapannya, mengatakan kepadanya kalau jenis pertanyaan itu sangat tidak sopan untuk dia lontarkan kepadaku.

“Empat bulan.” Suaraku lirih. Setelah dua puluh sembilan detik, intonasiku bergetar, tanganku dingin. “Aku berusaha mencari cara untuk bisa menghubungimu. Aku pergi ke semua tempat yang pernah kita datangi bersama. Aku menunggu pesan singkat walau setidaknya hanya ada tulisan namamu. Tapi, kau tidak ada di sana. Kau, tidak memikiranku.” Kutarik lagi napasku, dan mataku mulai panas ketika kuangkat wajahku di antara sorot berengseknya yang terjal dan seperti siap untuk memakanku hidup-hidup. “Apa... melihatku menderita adalah hal yang selalu menyenangkan bagimu?”

“Tidak.”

Dia menggeleng.

Senyum kecilnya lalu beralih dari hitam ke putih, sebelum berikutnya itu ternyata menipuku kala kuduga penyesalan dan rasa bersalahnya muncul tatkala jemarinya mengusap halus bibirku, dan seringai itu kembali dia tunjukkan di depanku, di antara kebodohanku lagi. “No, Baby. Ini bahkan jauh lebih menarik dari apa yang kaupikirkan.” []

Pomme, 2022.08.23.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adama Askara
weleeeh paraah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status