Share

AKU BUKAN SEORANG PELACUR
AKU BUKAN SEORANG PELACUR
Penulis: POMME

PROLOG

Penulis: POMME
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-23 07:48:51

[Note : hai, terima kasih banyak dari pomme untuk yang sudah berkenan mampir, tapi, kalau suka, pomme minta tolong vote sama komentarnya, yaaa, hihi. selamat membaca, semoga dark romance ini bisa menghibur suasana hati kalian ❤]

***

Mendung.

Aku membuang napasku lagi di sepanjang kaca bus Jakarta yang menyambut irisku dengan pemandangan suram tanggal dua belas. Awan hitam membentang apik ㅡmalam sedang membawa dirinya untuk kembali berhadir bersama kejutan-kejutan tidak terduga bulan Mei di lajur kehidupanku; pekerjaan sialan di kantor, uang, bahkan semua orang dalam keterlibatan yang tak diharapkan olehku.

Senyumku bersembunyi. Sudah enam bulan semenjak berita kecelakaan tragis itu mengambil alih separuh isi kepalaku untuk tenggelam lama di sana. Suatu senja yang nahas, dan dedaunan melayu dalam sekejap kala harus kuterima sebuah telepon dari Paman yang bilang kalau mobil orang tuaku ditemukan hancur karena menabrak pembatas jurang. Kadar alkohol yang begitu tinggi menjadi alasan paling bodoh untuk kutertawakan, namun, jawaban itu justru benar adanya. Hobi baru Papa yang belakangan berteman dengan minuman keras membuatku percaya kalau itu mungkin jalan yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta untuk mereka temui akhir hayat.

Sebuah halte kecil berwarna kuning pada akhirnya muncul di depan mataku. Suraiku menari bersama kaki yang melangkah cepat keluar dari pintu bus. Wajahku menunduk, menatap ke jam tanganku. Pukul lima. Gerimis tiba-tiba menyuguhi presensiku di antara matahari yang mau pamit. Aku langsung mengangkat tasku ke atas kepalaku, menyipitkan mata, kemudian hanya berlari menerobos beberapa kerumunan kacau dengan ujung jemari-jemari kaki yang terasa pedih.

Dadaku sesak. Angin tajam berembus ke leherku ketika gedung apartemen menunjukkan selembar heningnya yang menyaksikanku berlari menuju lift. Nyawaku seperti dipacu. Butuh beberapa menit untuk mencapai lobi kecil di mana aku segera menyeret kembali tubuhku buat sampai ke depan pintu unitku, membuat kode masuk, melempar heel dan melepas kaos kakiku, kendati, perasan lelah yang semula memaksaku untuk bunuh diri saja nyatanya mendadak berubah menjadi kepingan-kepingan granat kecil yang bakal meledak di diriku.

Jantungku berdetak laju, dan romaku diremangkan. Daniel, bersandar di sofaku, dengan sebatang rokok di sela jemarinya.

“Hai, Cantik.”

Aku mengejap, lamban. Gemuruh hujan yang tengah berdendang dari balik jendela terbuka seakan tidak sanggup membeli ketidakpercayaanku yang kupertaruhkan di samping rak sepatu. Apakah itu benar, atau apakah kerinduan yang terangkai cuma menjelma sebagai ilusi yang indah. Aku mencoba menepis, namun, mahakarya itu terbentuk secara utuh. Tepat. Di ujung pandanganku.

“Daniel...”

“Apa kabarmu?”

Asap rokok membentang di udara, bak membentuk syair sendu atas sebuah melodi usang dalam siaran lawas radio. Selama beberapa saat, napasku benar-benar habis. Pikiranku kosong. Tidak. Aku tidak percaya ini. Aku tidak yakin kalau sakit hatiku yang terbentuk sepanjang empat bulan seketika sirna, dan kebencian itu turut menghilang.

Daniel memandangiku. Dalam. Sangat dalam. Matanya yang tajam, masih sama. Bahkan, rahang menukiknya dengan dagu agak lancip. Juga, gaya rambutnya yang berponi dan tetap dibelah meskipun kini kusaksikan jika itu sudah berganti warna merah. Semua hal yang kusangka lenyap tanpa kabar, dirinya dan hubungan kami, aku sedang memastikan bahwa dugaanku yang salah telah ditampik dengan satu fakta dalam momen canggung ini sekarang: Daniel kembali. Pacarku, mendatangiku.

“Ini aku. Apakah semengejutkan itu sampai aku belum kunjung mendapatkan sebuah ciuman mesra?” Dia menyeringai, dan aku tersadar dalam seketika ketika mampu kutemukan bibirnya yang dia gigit sambil membentangkan tangannya di bahu sofa yang keras dan ikut kebingungan. Masih terus mengamatiku, menunggu reaksiku. “Come on,” ucapnya, lagi.

Daniel menunjuk sofa kosong di samping badannya menggunakan dagunya, tetapi aku cuma diam, membeku dengan pikiranku.

“Apa... yang sebenarnya terjadi?” Aku menggeleng. “Aku... tidak mengerti.”

“Aku merindukanmu, Jasmine.”

Angin kekanakan kembali datang, petir di seberang pepohonan terekam di ekor mataku. Begitu pantas untuk menambah gelenyar yang merambat dari ujung kaki sampai kepalaku ketika lantas kusadari betul kalau pada akhirnya aku justru melangkah, berjalan pelan ke arahnya, dan kemudian jatuh ke pangkuannya ketika dia menangkap pinggangku dengan cepat sambil menarikku kasar.

Aroma tubuhnya seperti dahulu, dan wajah tampannya yang bersinar dari dekat. Aku meremas pahaku di antara kota keras yang hanya bergeming menyaksikan. Tubuhku kembali kaku. Satu kecupan di leher, usai sekian lama. Daniel meletakkan tangannya di pipiku, dan menyeka rambutku yang jatuh ke belakang telingaku untuk diselipkan dengan rapi. Napasnya terdengar santai, juga terasa manis.

“Daniel, akuㅡ”

“Sst.” Suara hujan yang berirama sendu semakin keras. Nadiku mendadak berdenyut lebih kencang saat Daniel tiba-tiba menaruh jari telunjuknya di bibirku, memberiku sebuah isyarat melalui iris hitamnya. “Jangan bicara.”

Gelap. Sebuah taman sunyi tak berbunga mendadak menyergap pandangan dalam mataku yang sedetik kontan memejam. Bibirnya, ciumannya. Aku meneguk ludah, merasakan milyaran kupu-kupu yang kini bersemayam lagi di dalam perutku. Satu nuansa lama, dan aku kembali membenci sisi asli dari diriku yang lemah, melupakan bagaimana sembilan hari pertamaku tanpa Daniel dipenuhi dengan tisu yang berhamburan di bawah ranjang, mata bengkak, dan keranjang sampah yang berisikan ratusan kertas catatan tentang kesedihanku.

Masih tentang malam itu, atau mungkin juga sebenarnya tidak sepenuhnya karena malam itu. Aku menata diriku seharian dengan sikapku yang sedang buruk ㅡtepat dua bulan setelah kepergian Mama yang menghampiri mimpiku, dan Daniel datang menerobos tempat tinggalku seperti apa yang dia lakukan sekarang. Wajahnya penuh dengan luka, dan kepalanya lebih sering menoleh ke belakang untuk menatap ke pintu ketimbang melihat ke wajahku. Selain tas ransel berisikan pakaian yang tergantung di punggungnya, perkataannya pun kasar, sehingga tidak butuh banyak waktu untuk kami berdua menjadi masing-masing manusia kacau yang bertengkar hebat dalam semalam. Lalu tidak saling menghubungi, dan semua, seperti berakhir.

“Buka mulutmu.”

“DㅡDanielㅡ” Aku menggeleng, menarik wajahku ketika jemarinya meremat tengkukku. Sebagian nyaliku menentangnya, dan aku kembali mendapati satu hal lainnya yang sampai detik ini kusadari bahwa itu tidak berubah dari dirinya, bahkan bisa jadi tidak akan pernah, yaitu, perlakuan kasarnya yang tidak jarang dia persembahkan untukku.

“Aku ingin tahu. Apakah kepergianku selama ini sudah cukup mengusik perasaanmu, Cantik?”

Daniel mengamatiku sementara aku sedang memulai untuk memikirkan semuanya. Situasi ini, kami dan jalan pikirannya. Aku bahkan ingin berteriak di hadapannya, mengatakan kepadanya kalau jenis pertanyaan itu sangat tidak sopan untuk dia lontarkan kepadaku.

“Empat bulan.” Suaraku lirih. Setelah dua puluh sembilan detik, intonasiku bergetar, tanganku dingin. “Aku berusaha mencari cara untuk bisa menghubungimu. Aku pergi ke semua tempat yang pernah kita datangi bersama. Aku menunggu pesan singkat walau setidaknya hanya ada tulisan namamu. Tapi, kau tidak ada di sana. Kau, tidak memikiranku.” Kutarik lagi napasku, dan mataku mulai panas ketika kuangkat wajahku di antara sorot berengseknya yang terjal dan seperti siap untuk memakanku hidup-hidup. “Apa... melihatku menderita adalah hal yang selalu menyenangkan bagimu?”

“Tidak.”

Dia menggeleng.

Senyum kecilnya lalu beralih dari hitam ke putih, sebelum berikutnya itu ternyata menipuku kala kuduga penyesalan dan rasa bersalahnya muncul tatkala jemarinya mengusap halus bibirku, dan seringai itu kembali dia tunjukkan di depanku, di antara kebodohanku lagi. “No, Baby. Ini bahkan jauh lebih menarik dari apa yang kaupikirkan.” []

Pomme, 2022.08.23.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adama Askara
weleeeh paraah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxviii. Kematian

    Kaleng minumanku sudah kosong.Aku duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang kembali kutekuk, menghadap ke pintu yang ditutup. Setengah jam telah berlalu, dan jemari kananku sibuk mengetuk punggung tanganku yang melingkari betisku usai kukatakan kepada Adam kalau aku memiliki keputusan yang sulit; sebuah jawaban yang tidak pasti. Aku merasa bahwa pertemanan kami masih cukup jauh untuk sampai pada titik yang harus melibatkan kehadiranku di rumahnya, meskipun, setengah dari isi hatiku yang lain telah semakin meyakininya jika dia mungkin adalah salah satu bagian dari takdir yangTuhan mau untuk hidup baruku saat ini.Aroma harum sampo di rambutnya masih tercium. Adam tersenyum bersama anggukan kecil yang dia layangkan sebagai satu tanda pengertiannya padaku terkait trauma itu lagi dengan tanpa perlu kembali kujelaskan, dan aku melihat dia mengeluarkan lagi ponselnya, mengangkatnya di dalam udara kosong yang menengahi antara bahunya dan bahuku.“Semua hal baik butuh prose

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvii. Bercengkerama

    “Untuk seseorang yang tinggal jauh dari keluarga seperti kita, bukankah rasanya sangat menyedihkan jika makan sendirian? Setiap kali aku melakukan itu, aku selalu melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku.” Adam menjilat bibirnya yang berminyak, dan menatap diriku yang spontan tertawa mendengar pernyataannya, menghargai kejujuran demi kejujuran dari mulutnya yang membuatku sesekali bertanya di dalam kepala : kenapa dia harus mengatakan itu semua kepadaku? Sedangkan aku masih menganggap kalau pertemuan kami sejak hari pertama sampai hari ini yang bahkan belum terhitung satu bulan ialah saat-saat di mana sebaiknya kami berdua tidak langsung membuka diri dengan mudah, meskipun, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memberi tahunya tentang trauma yang seharusnya kututupi dengan rapat.Aku tertawa kecil ketika mengangkat sumpitku yang membawa beberapa helai jajangmyeon berpotongan agak tebal. Beberapa tembang lagu telah berganti, dan mataku mulai menyebarkan sorotnya

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvi. Malam di Kamarnya

    Senyap. Kegaduhan yang tadi ikut menyinggahi kamarku dari berbagai macam suara kini hanya seakan-akan menghilang. Nyaris binasa dengan sangat amat sempurna di antara tubuhku yang sekarang sudah duduk di atas karpet lantai berwarna cokelat sambil menekukkan kedua lutut, di depan dinding yang memiliki banyak tempelan kertas bergambar lumba-lumba, dan sketsa wajah orang ㅡsebuah terkaan yang tidak meleset dari perkiraanku kalau Adam adalah lelaki yang rapi semenjak aku menyadari bahwa pakaiannya tidak pernah kusut, dan itu cukup mengagumkan ketika bisa kudapati bantal-bantal di ranjangnya yang tersusun demikian apik bersama seprei yang dipasang kencang, tirai jendela yang bersih, dan buku-buku yang ditempatkan dengan tepat.“Aku tahu kau sedang mengagumiku.”Dua cangkir besar berisikan teh hangat agak berasap di nampan menjamuku. Adam menaruh pantatnya di sampingku sementara aku langsung mengatupkan bibir, dan menoleh cepat untuk menemukan wajahnya usai dia memunggungiku selama beberapa m

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxv. Kerinduan?

    Jakarta yang sangat luas sekarang hanya berubah menjadi kota kecil yang konyol ketika aku bisa mendapati masa laluku lagi di antara banyak manusia serta jalanan yang kulalui untuk menjauhi semua nahasku. Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dengan cepat di balik rak tisu. Tidak menyangka kalau aku tetap akan dipertemukan kembali dengan mantanku yang berengsek setelah seluruh hidupku dihancurkan olehnya, membuat sekelebat pertanyaan itu melintas. Apakah semudah itu untuknya melupakanku? Daniel yang kukira sedang merenungi perbuatan paling kejamnya kepadaku pada kenyataannya terdengar seperti omong kosong yang terlalu kupaksakan seorang diri. Dia tidak begitu. Dia akan tetap sama sampai semua utangnya lunas, bahkan, bila itu harus merayu perempuan yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.Aku membungkuk, mencoba mengintip mereka berdua secara hati-hati. Suasana yang tiba-tiba hening membuatku dapat mendengarkan suara Daniel yang lembut ㅡselembut ketika dia merayuku untuk mendapatkan

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiv. Salah Menilai

    Hari Minggu datang ke dalam kehidupanku usai rasanya aku sudah melewati ribuan hari, jutaan angin malam, dan miliaran ombak. Sesuai dengan kesepakatan yang kutandatangani di surat kontrak pekerjaan, aku baru diperbolehkan libur jika telah masuk bekerja selama empat belas hari tanpa boleh mangajukan izin sama sekali, dan aku berhasil melewati dua minggu itu dengan baik. Meskipun lelah, walaupun tulang punggungku seolah nyaris patah, aku tidak boleh menyepelekan tanggung jawabku kalau tidak ingin atasanku memecatku, dan membuatku tidak mendapatkan gaji utuh sebelum genap satu bulan yang langsung dihitung dari hari pertama aku mulai masuk bekerja.Aku bersandar di ranjangku, mengamati kuku-kuku tanganku yang catnya sudah jelek. Aku ingin menghapusnya, dan menggantinya dengan warna merah. Terasa akan sangat cocok dengan warna kulitku yang tidak terlampau putih, dan jemariku yang cukup panjang. Juga, sebenarnya, aku sudah menyiapkan beberapa kutek baru yang semalam kubeli dari sebuah toko k

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiii. Kejujuran Lisa

    Canggung. Aku kembali berbaring di ranjang, bersama tubuh Lisa yang sekarang berada di sampingku. Parfumnya tak lagi tercium, namun, bau lotion yang dia pakai terasa begitu harum untuk menghambur ke hidungku, seperti aroma bunga yang lembut, bercampur dengan dedaunan. Lisa bilang, dia tidak bisa tidur karena penyakitnya, dan sebenarnya, kebiasaan itu selalu terjadi kepadanya selama nyaris setiap malam yang dia bilang kalau biasanya dia akan mengatasi itu dengan cara menonton film, kemudian membuat matanya akan memejam usai lelah, dan tertidur. Tetapi, tidak kali ini. Dia sudah menonton film, namun, matanya tetap terus terjaga. Tidak bisa tidur.Napasnya yang tadi terdengar di telepon, kini berembus di sampingku. Aku mencoba untuk menahan napasku sendiri sambil memaksa menurunkan jempol kakiku yang berdiri tegak, mendapati Lisa sedang memainkan ponselnya, menghadap ke tubuhku yang hanya telentang, diam menatapi langit-langit kamar. Tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berusa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status