Home / Romansa / AKU BUKAN SEORANG PELACUR / ii. Pertemuan di Tempat Karaoke

Share

ii. Pertemuan di Tempat Karaoke

Author: POMME
last update Last Updated: 2022-08-30 12:14:46

Pagi membentang, dan kedua mataku sedang terbuka dengan hati-hati. Tidak. Bukan karena irisku yang harus berkompromi dengan sinar tajam matahari. Ini hari Minggu. Aku bahkan bisa tidur lebih lama lagi untuk menghindari semua hal sepele yang mengusik. Namun, pikiranku dipermainkan. Seratus mimpi aneh hadir menghampiriku, dan segala ceritanya terlihat mirip. Aku, dan Daniel, dan beberapa orang lainnya. Manusia-manusia yang tidak kukenal, akan tetapi tampak menginginkanku.

“Selamat pagi, Cantik.”

Aku mengejap lamban. Daniel tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk milikku. Sekarang lebih dari sebatas cukup untuk membuatku sangat yakin dan percaya kalau tadi malam kami telah kembali melewati malam panjang bersama, memilikinya di atas tempat tidurku, dan bercumbu singkat setelah hampir setengah tahun, persis seperti biasanya, meski sebenarnya itu telah menjadi dahulu sebagai kisah yang telah kuanggap lawas.

Senyumku hadir secara tipis atas satu respon yang hangat. Entah. Aku masih merasa sama. Gadis di dalam batinku masih berbisik kalau aku tidak boleh memercayainya lagi, mengharapkan cermin yang sudah retak dapat menyatu dengan utuh lagi. Sebab, itu mustahil. Daniel masih bungkam dengan semua rahasianya yang dia sembunyikan dariku, dan itu menciptakan stigma yang tegas dalam kepalaku kalau ketidakjujuran merupakan salah satu tanda bahwa kami memang tidak cocok.

“Ada apa?” Aku menyinggung ke tubuh telanjangnya di bagian atas yang menandakan kalau dia sudah selesai mandi di jam sepagi ini, pukul tujuh, dan parfum memikatnya yang kembali tercium di seluruh udara yang kuhirup. “Apakah kau akan meninggalkanku lagi?”

“Kejutan,” jawabnya.

“Kejutan?”

Aku memastikan.

Daniel mengangguk sembari menaruh sembarang handuk tersebut ke jendela, berjalan menghampiriku yang masih di atas kasur. “Aku ingin mengajakmu pergi menemui temanku. Tentu kau tidak akan menolakku, 'kan', Cantik?”

“Andrew?”

“Bukan.” Dia menggeleng. “Seseorang yang belum pernah kuperkenalkan kepadamu.”

Aku berdiam diri, menatapinya selama sembilan detik untuk ke seratus kalinya, mungkin, sejak kemarin sore, usai dia menginjakkan kakinya lagi di lantai apartemenku. Semua tanda memar berwarna ungu yang dahulu sering dia ciptakan di tubuhku masih terlihat jelas, bahkan ketika itu sudah benar-benar pudar, dan kemudian membuat luka baru lagi, tanda memar yang sama lagi. Begitu seterusnya sampai dialah yang tiba-tiba menghilang dari kehidupanku.

“Aku... ingin beristirahat, Daniel.”

“Tidak akan lama.”

“Akuㅡ”

“Sst,” Telunjuk kanannya datang ke bibirku dengan cepat, dan aku harus ingat kalau itu artinya aku harus menuruti kemauannya jika tidak mau dipukuli, atau diberi tendangan kuat.

Dadaku bak dihantam benda keras. Daniel memberiku tatapan tajamnya yang terbaca dengan jalas, tergambar secara pasti bahwa dia memiliki rencananya lagi yang ingin dia tunjukkan kepadaku, bahkan mungkin bakal menjadikanku tokoh utama dalam filmnya yang selalu berujung menangis dengan tragis.

“Apa kau akan menghajarku sekarang?”

“Kalau ㅡkau mau?” Dia kembali tersenyum, dengan sudut bibir yang naik. “Aku bisa memberimu tamparan yang lebih kuat di pipi.”

Mataku hampir berlari meninggalkanku ketika kudengar itu di samping wajahku, dan merasakan dengan nyata kehadiran jemarinya yang tak diundang di garis rahangku. Merangkak lamban dari bawah, hingga pada akhirnya sungguh sampai di pipiku.

“Jangan.”

Aku menggeleng, laju.

Aku harus sadar kalau ada banyak iris di tempatku bekerja, baik teman-temanku, ataupun orang-orang yang tidak menyukaiku. Mereka akan bertanya dan menaruh curiga begitu melihatku dengan separuh wajah yang bengkak besok, dan aku tidak mau itu semua terjadi. Aku tidak ingin berbicara soal Daniel kepada siapa pun. Apalagi di kantor.

“Kau semakin cantik jika menurut.” Dia terkekeh, dan mengusap rambutku seperti semalam. “Bangunlah. Bersiap untukku.”

***

Rasanya, aku ingin melarikan diri sekarang juga.

Ruangan sempit berwarna redup dengan lampu tumblr yang berkelap-kelip, berbau minuman keras. Sebuah tempat karaoke yang asing, terutama untuk diriku yang belum pernah sekali pun datang ke lingkup seperti ini.

Aneh. Aku melihat Daniel membicarakan sesuatu sambil menatapku dengan seorang laki-laki yang sesaat lalu sudah dia perkenalkan kepadaku. Mereka duduk di deretan sofa yang berada tepat di sebelah dinding, sementara aku dengan sengaja memilih untuk duduk di sofa yang menghadap ke pintu agar aku bisa langsung kabur menarik kakiku jikalau hal buruk terjadi ㅡkarena kenyataannya, Daniel memang akan selalu seperti ini sampai dia mati.

“Bukankah pacarku terlalu sempurna?”

“Dia... sangat cantik, dan seksi.”

“Danielㅡ”

Aku terkejut meremas kain tasku setelah percakapan itu adalah yang paling jelas menyapa telingaku semenjak kami tiba di sini.

Firasatku muncul secara alamiah. Naluriku memberi tahuku bahwa satu-satunya nyawa yang kumiliki mungkin akan musnah dalam waktu kurang dari enam puluh menit lagi. Pun, instingku bilang : Aku, harus lari. Aku harus pulang ke apartemenku dan pindah. Namun, sesuatu yang dingin menyentuh wajahku beberapa sekon lebih dahulu. Tangannya. Kesempatanku untuk berlari ke kenop terbuang dengan mudah ketika Daniel hanya datang ke hadapanku dengan sigap, seolah mampu membaca pikiran kalutku dan harus menyekapku dengan rayuannya lagi.

“Apa yang paling kautakutkan di dunia ini, Sayang?” Dia duduk di lantai, masih di depanku.

Aku menelan liurku. Sayang ㅡpanggilan yang nyaris tidak pernah kudengar, dan kini Tuhan membuatnya mengucapkan itu di antara ketakutanku dan situasi di mana aku cuma ingin meminta pertolongan. Hanya itu.

“Jasmine?”

Suara rendahnya memanggilku, dan secara berbarengan, telapak tanganku mulai menjatuhkan bulir demi bulir keringat yang terasa lembap, serta basah. Sangat dingin.

“Aku... bisakah aku pergi?”

“Ada apa, hm? Kau takut?”

Aku menunduk, melirik dengan sembunyi ke pintu. “Aㅡaku ada janji dengan temanku.”

Bohong. Aku mengerucutkan kakiku di dalam sepatuku. Persetan akan separuh perasaanku yang sempat memujanya lagi, dan berharap dia akan berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Aku bahkan tidak ingin melihat surainya walau hanya sehelai untuk sekarang. Aku ingin menekankan kepada seluruh tubuhku lagi, bahwa, aku hanya ingin pergi saat ini.

“Jangan membohongiku.”

“Daniel, kumohon...”

“Apa kau sedang mencoba melawanku lagi?”

Air mataku jatuh, pada akhirnya, tepat di momen di mana kini jemarinya naik, merayap menuju ke daguku, mencengkeramku, menciptakan gelengan kecil yang samar dari kepalaku. “Akuㅡaku... aku tidak mau di sini.”

“Apa? Coba katakan yang keras.”

Dia menunduk, menatapku dari bawah.

“Aku... iㅡingin pulang, Daniel...”

“BERENGSEK, KATAKAN LEBIH KERAS, JALANG!”

Aku langsung merintih saat tulang rahangku seakan-akan dia lepaskan secara paksa dari wajahku. Daniel mengangkat daguku yang kesakitan, sementara aku tidak sanggup untuk menahan air mataku yang sekarang terjun lebih banyak ke bibirku. Asin. Pedih. Sepenggal kebencian itu muncul lagi, dan nyaris sempurna untuk menimbulkan ide mengerikan dalam otakku kalau aku akan membunuhnya dengan dua belas tusukan pisau setelah pertemuan ini berakhir. Tidak peduli apakah aku akan mendekam seumur hidup di dalam penjara.

“Tidak, Daniel. Tidak.” Aku menggeleng lebih kuat, cepat dan menyakiti hatiku, sebab faktanya, aku hanya bisa menjadi diriku yang dihantui oleh semua kekerasan fisiknya lagi terhadapku. “Maaf. Maafkan aku, Daniel. Aku, hanya ingin bersamamu. Mㅡmaafkan aku...” []

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxviii. Kematian

    Kaleng minumanku sudah kosong.Aku duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang kembali kutekuk, menghadap ke pintu yang ditutup. Setengah jam telah berlalu, dan jemari kananku sibuk mengetuk punggung tanganku yang melingkari betisku usai kukatakan kepada Adam kalau aku memiliki keputusan yang sulit; sebuah jawaban yang tidak pasti. Aku merasa bahwa pertemanan kami masih cukup jauh untuk sampai pada titik yang harus melibatkan kehadiranku di rumahnya, meskipun, setengah dari isi hatiku yang lain telah semakin meyakininya jika dia mungkin adalah salah satu bagian dari takdir yangTuhan mau untuk hidup baruku saat ini.Aroma harum sampo di rambutnya masih tercium. Adam tersenyum bersama anggukan kecil yang dia layangkan sebagai satu tanda pengertiannya padaku terkait trauma itu lagi dengan tanpa perlu kembali kujelaskan, dan aku melihat dia mengeluarkan lagi ponselnya, mengangkatnya di dalam udara kosong yang menengahi antara bahunya dan bahuku.“Semua hal baik butuh prose

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvii. Bercengkerama

    “Untuk seseorang yang tinggal jauh dari keluarga seperti kita, bukankah rasanya sangat menyedihkan jika makan sendirian? Setiap kali aku melakukan itu, aku selalu melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku.” Adam menjilat bibirnya yang berminyak, dan menatap diriku yang spontan tertawa mendengar pernyataannya, menghargai kejujuran demi kejujuran dari mulutnya yang membuatku sesekali bertanya di dalam kepala : kenapa dia harus mengatakan itu semua kepadaku? Sedangkan aku masih menganggap kalau pertemuan kami sejak hari pertama sampai hari ini yang bahkan belum terhitung satu bulan ialah saat-saat di mana sebaiknya kami berdua tidak langsung membuka diri dengan mudah, meskipun, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memberi tahunya tentang trauma yang seharusnya kututupi dengan rapat.Aku tertawa kecil ketika mengangkat sumpitku yang membawa beberapa helai jajangmyeon berpotongan agak tebal. Beberapa tembang lagu telah berganti, dan mataku mulai menyebarkan sorotnya

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvi. Malam di Kamarnya

    Senyap. Kegaduhan yang tadi ikut menyinggahi kamarku dari berbagai macam suara kini hanya seakan-akan menghilang. Nyaris binasa dengan sangat amat sempurna di antara tubuhku yang sekarang sudah duduk di atas karpet lantai berwarna cokelat sambil menekukkan kedua lutut, di depan dinding yang memiliki banyak tempelan kertas bergambar lumba-lumba, dan sketsa wajah orang ㅡsebuah terkaan yang tidak meleset dari perkiraanku kalau Adam adalah lelaki yang rapi semenjak aku menyadari bahwa pakaiannya tidak pernah kusut, dan itu cukup mengagumkan ketika bisa kudapati bantal-bantal di ranjangnya yang tersusun demikian apik bersama seprei yang dipasang kencang, tirai jendela yang bersih, dan buku-buku yang ditempatkan dengan tepat.“Aku tahu kau sedang mengagumiku.”Dua cangkir besar berisikan teh hangat agak berasap di nampan menjamuku. Adam menaruh pantatnya di sampingku sementara aku langsung mengatupkan bibir, dan menoleh cepat untuk menemukan wajahnya usai dia memunggungiku selama beberapa m

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxv. Kerinduan?

    Jakarta yang sangat luas sekarang hanya berubah menjadi kota kecil yang konyol ketika aku bisa mendapati masa laluku lagi di antara banyak manusia serta jalanan yang kulalui untuk menjauhi semua nahasku. Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dengan cepat di balik rak tisu. Tidak menyangka kalau aku tetap akan dipertemukan kembali dengan mantanku yang berengsek setelah seluruh hidupku dihancurkan olehnya, membuat sekelebat pertanyaan itu melintas. Apakah semudah itu untuknya melupakanku? Daniel yang kukira sedang merenungi perbuatan paling kejamnya kepadaku pada kenyataannya terdengar seperti omong kosong yang terlalu kupaksakan seorang diri. Dia tidak begitu. Dia akan tetap sama sampai semua utangnya lunas, bahkan, bila itu harus merayu perempuan yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.Aku membungkuk, mencoba mengintip mereka berdua secara hati-hati. Suasana yang tiba-tiba hening membuatku dapat mendengarkan suara Daniel yang lembut ㅡselembut ketika dia merayuku untuk mendapatkan

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiv. Salah Menilai

    Hari Minggu datang ke dalam kehidupanku usai rasanya aku sudah melewati ribuan hari, jutaan angin malam, dan miliaran ombak. Sesuai dengan kesepakatan yang kutandatangani di surat kontrak pekerjaan, aku baru diperbolehkan libur jika telah masuk bekerja selama empat belas hari tanpa boleh mangajukan izin sama sekali, dan aku berhasil melewati dua minggu itu dengan baik. Meskipun lelah, walaupun tulang punggungku seolah nyaris patah, aku tidak boleh menyepelekan tanggung jawabku kalau tidak ingin atasanku memecatku, dan membuatku tidak mendapatkan gaji utuh sebelum genap satu bulan yang langsung dihitung dari hari pertama aku mulai masuk bekerja.Aku bersandar di ranjangku, mengamati kuku-kuku tanganku yang catnya sudah jelek. Aku ingin menghapusnya, dan menggantinya dengan warna merah. Terasa akan sangat cocok dengan warna kulitku yang tidak terlampau putih, dan jemariku yang cukup panjang. Juga, sebenarnya, aku sudah menyiapkan beberapa kutek baru yang semalam kubeli dari sebuah toko k

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiii. Kejujuran Lisa

    Canggung. Aku kembali berbaring di ranjang, bersama tubuh Lisa yang sekarang berada di sampingku. Parfumnya tak lagi tercium, namun, bau lotion yang dia pakai terasa begitu harum untuk menghambur ke hidungku, seperti aroma bunga yang lembut, bercampur dengan dedaunan. Lisa bilang, dia tidak bisa tidur karena penyakitnya, dan sebenarnya, kebiasaan itu selalu terjadi kepadanya selama nyaris setiap malam yang dia bilang kalau biasanya dia akan mengatasi itu dengan cara menonton film, kemudian membuat matanya akan memejam usai lelah, dan tertidur. Tetapi, tidak kali ini. Dia sudah menonton film, namun, matanya tetap terus terjaga. Tidak bisa tidur.Napasnya yang tadi terdengar di telepon, kini berembus di sampingku. Aku mencoba untuk menahan napasku sendiri sambil memaksa menurunkan jempol kakiku yang berdiri tegak, mendapati Lisa sedang memainkan ponselnya, menghadap ke tubuhku yang hanya telentang, diam menatapi langit-langit kamar. Tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berusa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status