Share

ii. Pertemuan di Tempat Karaoke

Pagi membentang, dan kedua mataku sedang terbuka dengan hati-hati. Tidak. Bukan karena irisku yang harus berkompromi dengan sinar tajam matahari. Ini hari Minggu. Aku bahkan bisa tidur lebih lama lagi untuk menghindari semua hal sepele yang mengusik. Namun, pikiranku dipermainkan. Seratus mimpi aneh hadir menghampiriku, dan segala ceritanya terlihat mirip. Aku, dan Daniel, dan beberapa orang lainnya. Manusia-manusia yang tidak kukenal, akan tetapi tampak menginginkanku.

“Selamat pagi, Cantik.”

Aku mengejap lamban. Daniel tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk milikku. Sekarang lebih dari sebatas cukup untuk membuatku sangat yakin dan percaya kalau tadi malam kami telah kembali melewati malam panjang bersama, memilikinya di atas tempat tidurku, dan bercumbu singkat setelah hampir setengah tahun, persis seperti biasanya, meski sebenarnya itu telah menjadi dahulu sebagai kisah yang telah kuanggap lawas.

Senyumku hadir secara tipis atas satu respon yang hangat. Entah. Aku masih merasa sama. Gadis di dalam batinku masih berbisik kalau aku tidak boleh memercayainya lagi, mengharapkan cermin yang sudah retak dapat menyatu dengan utuh lagi. Sebab, itu mustahil. Daniel masih bungkam dengan semua rahasianya yang dia sembunyikan dariku, dan itu menciptakan stigma yang tegas dalam kepalaku kalau ketidakjujuran merupakan salah satu tanda bahwa kami memang tidak cocok.

“Ada apa?” Aku menyinggung ke tubuh telanjangnya di bagian atas yang menandakan kalau dia sudah selesai mandi di jam sepagi ini, pukul tujuh, dan parfum memikatnya yang kembali tercium di seluruh udara yang kuhirup. “Apakah kau akan meninggalkanku lagi?”

“Kejutan,” jawabnya.

“Kejutan?”

Aku memastikan.

Daniel mengangguk sembari menaruh sembarang handuk tersebut ke jendela, berjalan menghampiriku yang masih di atas kasur. “Aku ingin mengajakmu pergi menemui temanku. Tentu kau tidak akan menolakku, 'kan', Cantik?”

“Andrew?”

“Bukan.” Dia menggeleng. “Seseorang yang belum pernah kuperkenalkan kepadamu.”

Aku berdiam diri, menatapinya selama sembilan detik untuk ke seratus kalinya, mungkin, sejak kemarin sore, usai dia menginjakkan kakinya lagi di lantai apartemenku. Semua tanda memar berwarna ungu yang dahulu sering dia ciptakan di tubuhku masih terlihat jelas, bahkan ketika itu sudah benar-benar pudar, dan kemudian membuat luka baru lagi, tanda memar yang sama lagi. Begitu seterusnya sampai dialah yang tiba-tiba menghilang dari kehidupanku.

“Aku... ingin beristirahat, Daniel.”

“Tidak akan lama.”

“Akuㅡ”

“Sst,” Telunjuk kanannya datang ke bibirku dengan cepat, dan aku harus ingat kalau itu artinya aku harus menuruti kemauannya jika tidak mau dipukuli, atau diberi tendangan kuat.

Dadaku bak dihantam benda keras. Daniel memberiku tatapan tajamnya yang terbaca dengan jalas, tergambar secara pasti bahwa dia memiliki rencananya lagi yang ingin dia tunjukkan kepadaku, bahkan mungkin bakal menjadikanku tokoh utama dalam filmnya yang selalu berujung menangis dengan tragis.

“Apa kau akan menghajarku sekarang?”

“Kalau ㅡkau mau?” Dia kembali tersenyum, dengan sudut bibir yang naik. “Aku bisa memberimu tamparan yang lebih kuat di pipi.”

Mataku hampir berlari meninggalkanku ketika kudengar itu di samping wajahku, dan merasakan dengan nyata kehadiran jemarinya yang tak diundang di garis rahangku. Merangkak lamban dari bawah, hingga pada akhirnya sungguh sampai di pipiku.

“Jangan.”

Aku menggeleng, laju.

Aku harus sadar kalau ada banyak iris di tempatku bekerja, baik teman-temanku, ataupun orang-orang yang tidak menyukaiku. Mereka akan bertanya dan menaruh curiga begitu melihatku dengan separuh wajah yang bengkak besok, dan aku tidak mau itu semua terjadi. Aku tidak ingin berbicara soal Daniel kepada siapa pun. Apalagi di kantor.

“Kau semakin cantik jika menurut.” Dia terkekeh, dan mengusap rambutku seperti semalam. “Bangunlah. Bersiap untukku.”

***

Rasanya, aku ingin melarikan diri sekarang juga.

Ruangan sempit berwarna redup dengan lampu tumblr yang berkelap-kelip, berbau minuman keras. Sebuah tempat karaoke yang asing, terutama untuk diriku yang belum pernah sekali pun datang ke lingkup seperti ini.

Aneh. Aku melihat Daniel membicarakan sesuatu sambil menatapku dengan seorang laki-laki yang sesaat lalu sudah dia perkenalkan kepadaku. Mereka duduk di deretan sofa yang berada tepat di sebelah dinding, sementara aku dengan sengaja memilih untuk duduk di sofa yang menghadap ke pintu agar aku bisa langsung kabur menarik kakiku jikalau hal buruk terjadi ㅡkarena kenyataannya, Daniel memang akan selalu seperti ini sampai dia mati.

“Bukankah pacarku terlalu sempurna?”

“Dia... sangat cantik, dan seksi.”

“Danielㅡ”

Aku terkejut meremas kain tasku setelah percakapan itu adalah yang paling jelas menyapa telingaku semenjak kami tiba di sini.

Firasatku muncul secara alamiah. Naluriku memberi tahuku bahwa satu-satunya nyawa yang kumiliki mungkin akan musnah dalam waktu kurang dari enam puluh menit lagi. Pun, instingku bilang : Aku, harus lari. Aku harus pulang ke apartemenku dan pindah. Namun, sesuatu yang dingin menyentuh wajahku beberapa sekon lebih dahulu. Tangannya. Kesempatanku untuk berlari ke kenop terbuang dengan mudah ketika Daniel hanya datang ke hadapanku dengan sigap, seolah mampu membaca pikiran kalutku dan harus menyekapku dengan rayuannya lagi.

“Apa yang paling kautakutkan di dunia ini, Sayang?” Dia duduk di lantai, masih di depanku.

Aku menelan liurku. Sayang ㅡpanggilan yang nyaris tidak pernah kudengar, dan kini Tuhan membuatnya mengucapkan itu di antara ketakutanku dan situasi di mana aku cuma ingin meminta pertolongan. Hanya itu.

“Jasmine?”

Suara rendahnya memanggilku, dan secara berbarengan, telapak tanganku mulai menjatuhkan bulir demi bulir keringat yang terasa lembap, serta basah. Sangat dingin.

“Aku... bisakah aku pergi?”

“Ada apa, hm? Kau takut?”

Aku menunduk, melirik dengan sembunyi ke pintu. “Aㅡaku ada janji dengan temanku.”

Bohong. Aku mengerucutkan kakiku di dalam sepatuku. Persetan akan separuh perasaanku yang sempat memujanya lagi, dan berharap dia akan berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Aku bahkan tidak ingin melihat surainya walau hanya sehelai untuk sekarang. Aku ingin menekankan kepada seluruh tubuhku lagi, bahwa, aku hanya ingin pergi saat ini.

“Jangan membohongiku.”

“Daniel, kumohon...”

“Apa kau sedang mencoba melawanku lagi?”

Air mataku jatuh, pada akhirnya, tepat di momen di mana kini jemarinya naik, merayap menuju ke daguku, mencengkeramku, menciptakan gelengan kecil yang samar dari kepalaku. “Akuㅡaku... aku tidak mau di sini.”

“Apa? Coba katakan yang keras.”

Dia menunduk, menatapku dari bawah.

“Aku... iㅡingin pulang, Daniel...”

“BERENGSEK, KATAKAN LEBIH KERAS, JALANG!”

Aku langsung merintih saat tulang rahangku seakan-akan dia lepaskan secara paksa dari wajahku. Daniel mengangkat daguku yang kesakitan, sementara aku tidak sanggup untuk menahan air mataku yang sekarang terjun lebih banyak ke bibirku. Asin. Pedih. Sepenggal kebencian itu muncul lagi, dan nyaris sempurna untuk menimbulkan ide mengerikan dalam otakku kalau aku akan membunuhnya dengan dua belas tusukan pisau setelah pertemuan ini berakhir. Tidak peduli apakah aku akan mendekam seumur hidup di dalam penjara.

“Tidak, Daniel. Tidak.” Aku menggeleng lebih kuat, cepat dan menyakiti hatiku, sebab faktanya, aku hanya bisa menjadi diriku yang dihantui oleh semua kekerasan fisiknya lagi terhadapku. “Maaf. Maafkan aku, Daniel. Aku, hanya ingin bersamamu. Mㅡmaafkan aku...” []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status