Pagi membentang, dan kedua mataku sedang terbuka dengan hati-hati. Tidak. Bukan karena irisku yang harus berkompromi dengan sinar tajam matahari. Ini hari Minggu. Aku bahkan bisa tidur lebih lama lagi untuk menghindari semua hal sepele yang mengusik. Namun, pikiranku dipermainkan. Seratus mimpi aneh hadir menghampiriku, dan segala ceritanya terlihat mirip. Aku, dan Daniel, dan beberapa orang lainnya. Manusia-manusia yang tidak kukenal, akan tetapi tampak menginginkanku.
“Selamat pagi, Cantik.”Aku mengejap lamban. Daniel tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk milikku. Sekarang lebih dari sebatas cukup untuk membuatku sangat yakin dan percaya kalau tadi malam kami telah kembali melewati malam panjang bersama, memilikinya di atas tempat tidurku, dan bercumbu singkat setelah hampir setengah tahun, persis seperti biasanya, meski sebenarnya itu telah menjadi dahulu sebagai kisah yang telah kuanggap lawas.Senyumku hadir secara tipis atas satu respon yang hangat. Entah. Aku masih merasa sama. Gadis di dalam batinku masih berbisik kalau aku tidak boleh memercayainya lagi, mengharapkan cermin yang sudah retak dapat menyatu dengan utuh lagi. Sebab, itu mustahil. Daniel masih bungkam dengan semua rahasianya yang dia sembunyikan dariku, dan itu menciptakan stigma yang tegas dalam kepalaku kalau ketidakjujuran merupakan salah satu tanda bahwa kami memang tidak cocok.“Ada apa?” Aku menyinggung ke tubuh telanjangnya di bagian atas yang menandakan kalau dia sudah selesai mandi di jam sepagi ini, pukul tujuh, dan parfum memikatnya yang kembali tercium di seluruh udara yang kuhirup. “Apakah kau akan meninggalkanku lagi?”“Kejutan,” jawabnya.“Kejutan?”Aku memastikan.Daniel mengangguk sembari menaruh sembarang handuk tersebut ke jendela, berjalan menghampiriku yang masih di atas kasur. “Aku ingin mengajakmu pergi menemui temanku. Tentu kau tidak akan menolakku, 'kan', Cantik?”“Andrew?”“Bukan.” Dia menggeleng. “Seseorang yang belum pernah kuperkenalkan kepadamu.”Aku berdiam diri, menatapinya selama sembilan detik untuk ke seratus kalinya, mungkin, sejak kemarin sore, usai dia menginjakkan kakinya lagi di lantai apartemenku. Semua tanda memar berwarna ungu yang dahulu sering dia ciptakan di tubuhku masih terlihat jelas, bahkan ketika itu sudah benar-benar pudar, dan kemudian membuat luka baru lagi, tanda memar yang sama lagi. Begitu seterusnya sampai dialah yang tiba-tiba menghilang dari kehidupanku.“Aku... ingin beristirahat, Daniel.”“Tidak akan lama.”“Akuㅡ”“Sst,” Telunjuk kanannya datang ke bibirku dengan cepat, dan aku harus ingat kalau itu artinya aku harus menuruti kemauannya jika tidak mau dipukuli, atau diberi tendangan kuat.Dadaku bak dihantam benda keras. Daniel memberiku tatapan tajamnya yang terbaca dengan jalas, tergambar secara pasti bahwa dia memiliki rencananya lagi yang ingin dia tunjukkan kepadaku, bahkan mungkin bakal menjadikanku tokoh utama dalam filmnya yang selalu berujung menangis dengan tragis.“Apa kau akan menghajarku sekarang?”“Kalau ㅡkau mau?” Dia kembali tersenyum, dengan sudut bibir yang naik. “Aku bisa memberimu tamparan yang lebih kuat di pipi.”Mataku hampir berlari meninggalkanku ketika kudengar itu di samping wajahku, dan merasakan dengan nyata kehadiran jemarinya yang tak diundang di garis rahangku. Merangkak lamban dari bawah, hingga pada akhirnya sungguh sampai di pipiku.“Jangan.”Aku menggeleng, laju.Aku harus sadar kalau ada banyak iris di tempatku bekerja, baik teman-temanku, ataupun orang-orang yang tidak menyukaiku. Mereka akan bertanya dan menaruh curiga begitu melihatku dengan separuh wajah yang bengkak besok, dan aku tidak mau itu semua terjadi. Aku tidak ingin berbicara soal Daniel kepada siapa pun. Apalagi di kantor.“Kau semakin cantik jika menurut.” Dia terkekeh, dan mengusap rambutku seperti semalam. “Bangunlah. Bersiap untukku.”***Rasanya, aku ingin melarikan diri sekarang juga.Ruangan sempit berwarna redup dengan lampu tumblr yang berkelap-kelip, berbau minuman keras. Sebuah tempat karaoke yang asing, terutama untuk diriku yang belum pernah sekali pun datang ke lingkup seperti ini.Aneh. Aku melihat Daniel membicarakan sesuatu sambil menatapku dengan seorang laki-laki yang sesaat lalu sudah dia perkenalkan kepadaku. Mereka duduk di deretan sofa yang berada tepat di sebelah dinding, sementara aku dengan sengaja memilih untuk duduk di sofa yang menghadap ke pintu agar aku bisa langsung kabur menarik kakiku jikalau hal buruk terjadi ㅡkarena kenyataannya, Daniel memang akan selalu seperti ini sampai dia mati.“Bukankah pacarku terlalu sempurna?”“Dia... sangat cantik, dan seksi.”“Danielㅡ”Aku terkejut meremas kain tasku setelah percakapan itu adalah yang paling jelas menyapa telingaku semenjak kami tiba di sini.Firasatku muncul secara alamiah. Naluriku memberi tahuku bahwa satu-satunya nyawa yang kumiliki mungkin akan musnah dalam waktu kurang dari enam puluh menit lagi. Pun, instingku bilang : Aku, harus lari. Aku harus pulang ke apartemenku dan pindah. Namun, sesuatu yang dingin menyentuh wajahku beberapa sekon lebih dahulu. Tangannya. Kesempatanku untuk berlari ke kenop terbuang dengan mudah ketika Daniel hanya datang ke hadapanku dengan sigap, seolah mampu membaca pikiran kalutku dan harus menyekapku dengan rayuannya lagi.“Apa yang paling kautakutkan di dunia ini, Sayang?” Dia duduk di lantai, masih di depanku.Aku menelan liurku. Sayang ㅡpanggilan yang nyaris tidak pernah kudengar, dan kini Tuhan membuatnya mengucapkan itu di antara ketakutanku dan situasi di mana aku cuma ingin meminta pertolongan. Hanya itu.“Jasmine?”Suara rendahnya memanggilku, dan secara berbarengan, telapak tanganku mulai menjatuhkan bulir demi bulir keringat yang terasa lembap, serta basah. Sangat dingin.“Aku... bisakah aku pergi?”“Ada apa, hm? Kau takut?”Aku menunduk, melirik dengan sembunyi ke pintu. “Aㅡaku ada janji dengan temanku.”Bohong. Aku mengerucutkan kakiku di dalam sepatuku. Persetan akan separuh perasaanku yang sempat memujanya lagi, dan berharap dia akan berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Aku bahkan tidak ingin melihat surainya walau hanya sehelai untuk sekarang. Aku ingin menekankan kepada seluruh tubuhku lagi, bahwa, aku hanya ingin pergi saat ini.“Jangan membohongiku.”“Daniel, kumohon...”“Apa kau sedang mencoba melawanku lagi?”Air mataku jatuh, pada akhirnya, tepat di momen di mana kini jemarinya naik, merayap menuju ke daguku, mencengkeramku, menciptakan gelengan kecil yang samar dari kepalaku. “Akuㅡaku... aku tidak mau di sini.”“Apa? Coba katakan yang keras.”Dia menunduk, menatapku dari bawah.“Aku... iㅡingin pulang, Daniel...”“BERENGSEK, KATAKAN LEBIH KERAS, JALANG!”Aku langsung merintih saat tulang rahangku seakan-akan dia lepaskan secara paksa dari wajahku. Daniel mengangkat daguku yang kesakitan, sementara aku tidak sanggup untuk menahan air mataku yang sekarang terjun lebih banyak ke bibirku. Asin. Pedih. Sepenggal kebencian itu muncul lagi, dan nyaris sempurna untuk menimbulkan ide mengerikan dalam otakku kalau aku akan membunuhnya dengan dua belas tusukan pisau setelah pertemuan ini berakhir. Tidak peduli apakah aku akan mendekam seumur hidup di dalam penjara.“Tidak, Daniel. Tidak.” Aku menggeleng lebih kuat, cepat dan menyakiti hatiku, sebab faktanya, aku hanya bisa menjadi diriku yang dihantui oleh semua kekerasan fisiknya lagi terhadapku. “Maaf. Maafkan aku, Daniel. Aku, hanya ingin bersamamu. Mㅡmaafkan aku...” []Asap rokok mengepul tebal di hadapanku, kali ini seperti kereta api yang melaju di atas rel tidak lurus; udara kotor menyesaki hidungku. Aku terbatuk beberapa kali, mencoba untuk tidak menghirup oksigen, namun terus berakhir gagal dengan aku yang justru nyaris mati kehabisan napas, di antara dua lelaki yang mengapitku di sisi kiri dan kanan pahaku. Daniel, dan Gerry ㅡseseorang yang ternyata adalah bandar narkoba, mafia besar di Jakarta yang masih bersembunyi dengan begitu baik dari jangkauan mata dan tangan polisi.Aku kembali menunduk, mengikis kuku jari kiriku dengan kuku-kuku jari kananku.“Siapa nama lengkapmu?”Berat. Suaranya yang masih sangat asing, mendadak terdengar di kupingku. Gerry. Senyumnya yang lantang menyuguhiku. Dia sedang menghisap sebilah rokoknya bersama sorot runcing yang dia beri padaku, dan dugaanku benar, kalau kami akan harus berbicara usai Daniel menggiringku untuk duduk di tengah-tengah mereka dan mendengarkan berbagai umpatan kotor.“Perkenalkan namamu, Sa
Bulan menontonku dari tempat yang begitu tinggi untuk kusentuh ㅡnapasku masih terus berembus cepat, namun juga sesekali menghilang, memaki diriku sendiri yang tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku sungguh harus melompat dari lantai tiga untuk bisa bebas dari tempat ini dan pergi ke kantor polisi, atau apakah aku malah lebih baik bunuh diri.Gerry baru saja melemparkan sebuah dress pendek ketat, dan setengah dada, kepadaku. Dia bilang, Daniel menjualku karena uang, dan mereka membeliku karena aku punya kategori yang pas untuk memuaskan para pelanggan tetap dari bisnis haram yang mereka jalankan.“Berdandanlah. Selain cantik, kau juga harus seksi. Pelangganmu akan menilai dari bagaimana penampilanmu, dan kepiawaianmu dalam membuat mereka merasa puas olehmu.”Aku duduk diam, merenung memandangi pakaian kurang bahan tersebut. Serta peralatan make-up lengkap, di mana di antaranya terselip lipstik matte berwarna merah terang yang mencolok. Sangat berbeda dari apa yang biasa kupakai dala
“Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”“Apa yang harus kulakukan?”Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pe
Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku. Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari w
Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justr
Sembilan jam berlalu. Jasmine kembali mendaratkan bokongnya di kursi, masih di hadapan dunia luar yang kini tampak abai kepada dirinya. Napasnya lemah. Sepotong khayalan jauh terpatri di kepalanya, membayangkan kalau seandainya masa depan bahagia yang dia impikan hanya berubah menjadi alur kehidupan pahit yang tidak pernah menjadi bagian dari cerita baik yang dia inginkan. Terkurung di sana sendirian, dengan cairan bening yang nyaris selalu muncul di pelupuk matanya. Seakan-akan dia memang akan berada di tempat itu. Selamanya.Papa, Mama. Terkadang dia merindukannya, dan sekarang, perasaan itu menjumpainya lagi. Jasmine dan kedua orang tuanya sangat dekat ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dan hidup dengan kesederhanaan. Mama selalu mengajaknya bercengkerama, dan Papa kerap memberinya lelucon-lelucon kuno. Namun, seiring bertambahnya usia, berlalunya waktu, dan nasib buruk yang perlahan memudar, kehidupannya mulai berubah secara magis.Jasmine tidak begitu sering lagi mendengar suar
Gemetar. Pada kenyataannya aku memang tidak pandai berbohong. Jantungku berdetak amat cepat, dan bola mataku goyah ketika Gerry kembali memangkas sedikit jarak yang tersisa di antara kami. Bau krim rambut yang dia pakai menjelajah ke hidungku, dan aku hanya punya napas yang kutahan secara halus di antara kedua irisnya yang menatapiku, lekat.Jemariku dingin. Gerry menjamuku sepenggal seringainya lagi yang kini datang bersama suara kecil burung gereja. Ekspresinya nakal. Sementara aku sedang menarik urat leherku yang menegang, kaku. Perutku mulai berkeringat. Berusaha kabur dari Gerry bukanlah perkara mudah semenjak awal, dan rasanya bak menyeberangi sungai berombak untuk bisa mencapai tepian terjal. Sulit sekali.“Aku... tidak bisa kalau harus langsung menjawabnya sekarang. Bisa beri aku waktu?”Aku melirikkan ekor mataku ke meja, memberi kode padanya terhadap apa yang dia bawa ke kamar ini untukku. Sebuah kantong plastik makanan, dan paper bag besar. Masih utuh di sana. Aku tahu kalau
Aku mencoba menata diriku lagi, di hadapan indekos Jakarta yang kecil. Mungkin untuk sementara, akan lebih baik kalau aku menghindari apartemenku dahulu. Gerry sudah pasti akan menghubungi Daniel, mencariku. Aku tidak mau ceroboh. Cukup sekali, dan aku hanya berharap tentang hal-hal baik yang bakal terjadi kepada hidupku. Bukan pelecehan.Seorang perempuan pemilik bangunan bertingkat delapan pintu ini datang menyambutku. Senyumnya yang ramah mirip seperti senyuman Mama yang sering kuterima sewaktu aku masih kecil. Bahkan, rambut sebahunya yang dibiarkan tergurai, ditabrak sekelompok angin. Beliau berjalan ke arahku, dan setelah dekat, aku bisa menilai sifat lembutnya. Serta begitu keibuan. Mengundangku buat ikut tersenyum, meski kaku, sembari mengusap lamban tengkukku.“Ada yang bisa saya bantu, Nak?”Bingung. Aku menggigit bibirku. Tidak tahu bagaimana caraku harus memulai pembicaraan kami. Aku tidak memiliki dompet yang menyimpan seluruh identitasku, pun ponselku yang sampai saat in