Share

iii. Aku Dijual

Asap rokok mengepul tebal di hadapanku, kali ini seperti kereta api yang melaju di atas rel tidak lurus; udara kotor menyesaki hidungku. Aku terbatuk beberapa kali, mencoba untuk tidak menghirup oksigen, namun terus berakhir gagal dengan aku yang justru nyaris mati kehabisan napas, di antara dua lelaki yang mengapitku di sisi kiri dan kanan pahaku. Daniel, dan Gerry ㅡseseorang yang ternyata adalah bandar narkoba, mafia besar di Jakarta yang masih bersembunyi dengan begitu baik dari jangkauan mata dan tangan polisi.

Aku kembali menunduk, mengikis kuku jari kiriku dengan kuku-kuku jari kananku.

“Siapa nama lengkapmu?”

Berat. Suaranya yang masih sangat asing, mendadak terdengar di kupingku. Gerry. Senyumnya yang lantang menyuguhiku. Dia sedang menghisap sebilah rokoknya bersama sorot runcing yang dia beri padaku, dan dugaanku benar, kalau kami akan harus berbicara usai Daniel menggiringku untuk duduk di tengah-tengah mereka dan mendengarkan berbagai umpatan kotor.

“Perkenalkan namamu, Sayang. Gerry bertanya padamu. Kau harus menjawab.” Daniel menyenggol betisku, dan aku spontan menggiringkan wajahku ke samping, menemui sepasang mata tersebut di dalam kemelut khawatir, masih tentang apakah aku bakal tetap hidup usai kami keluar dari sini, dan Daniel meremas paha bawahku. “Bicaralah. Jangan membuatku malu karena tingkahmu.”

Aku berpaling, kendati enggan.

“Jasmine Chalondra,” ucapku.

“Nama yang indah. Seindah pemiliknya.”

Jemarinya mencoba meraba sekitaran punggungku, dan aku langsung menatapnya dengan sinis sambil menggerakkan badanku.

“Umur?” tanyanya, lagi.

“Dua puluh empat.”

Nadaku berubah, dan dugaanku yang memastikan kalau Daniel akan menyiksaku lagi meskipun ada orang lain di sini, dibenarkan ketika aku bisa merasakan cubitan kerasnya yang sekarang beralih ke pinggangku, menggunakan tangan kanannya. Samar, suaranya berbisik, “Tolong aku, Sayang. Bersikap baiklah kepada temanku. Kali ini saja. Aku, harus segera melunasi hutangku.”

Awan meredup seperti tadi malam ㅡkeningku dengan lekas dihiasi oleh guratan yang terbentuk dari garis-garis pendek. Apa maksudnya? Apa arti ucapannya? Aku menelan ludahku, tetapi rasanya keras dan pahit. Jantungku mau pecah ketika Daniel hanya menaikkan tangan kanannya untuk menggapai rambutku dan membelai dengan begitu lembut.

“Ah, kau tiga tahun lebih muda dariku.” Menyusuri bahuku, Gerry menciptakan asap terakhir yang keluar dari mulutnya setelah kemudian dia meletakkan rokoknya yang tinggal separuh batang ke asbak kecil di meja.

Aku tidak merespon, dan pandanganku mulai kabur lagi dengan kristal bening yang bersiap untuk kembali tumpah. Seribu pertanyaan sudah mengembara di kepalaku, dan seolah-olah bakalan menghancurkan seluruh isinya kalau saja benar bahwa jawaban yang tidak mau kudengar justru adalah jawaban sebenarnya yang harus kudengar, satu kenyataan paling tragis : Aku, mau dijual, oleh pacarku sendiri.

Sekawanan burung meninggalkan suaranya di depan jendela ketika aku menyadari bahwa lututku sudah kehilangan setengah lebih tenagaku yang tersisa. Daniel tiba-tiba berdiri dengan tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun lagi untukku, berjalan ke hadapan Gerry, dan membentuk sekerat seringai tajam.

“Bisa berikan uangnya padaku sekarang? Aku akan meninggalkan kalian berdua di sini.”

Aku mendengar Gerry tertawa, namun hanya sekejap, semuanya berubah menjadi keseriusan. Gerry mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat dari dalam tasnya, menyodorkan itu kepada Daniel yang menaikkan alis dan membuka matanya lebih lebar. “Sepuluh juta pertama untuk servis pembuka. Hitung saja kembali.” Kelopak matanya berkedip padaku, dan udara yang begitu dingin bak membelit tubuhku. “Kau akan bersenang-senang, Manis.”

“Daniel, apa yang kaurencanakan?”

Aku buru-buru menyusulnya berdiri, tetapi, rasanya sakit. Dia menahanku dengan cengkeramannya lagi di pundakku.

“Aku menjualmu, Jasmine.”

“Tidak, Daniel. Kau pasti bohong!”

“Maafkan aku.”

“Danielㅡ” Aku mencoba meraih tangannya, namun, dia menepisku, dan dalam sedetik, tubuhnya yang berbalik adalah kekecewaan paling besarku dari semua luka yang pernah dia ciptakan padaku. “Daniel, tidak, kumohon...”

Dadaku sesak. Bunyi pintu yang dibuka, kemudian ditutup lagi dengan keras bagai bilik tahanan yang mengurungku dengan sekelompok anggota kriminal kelas berat. Napasku berembus tidak beraturan ketika Gerry mendekat, memajukan tubuh dan wajahnya ke hadapanku, sehingga membuatku refleks mundur, mencoba berdiri lagi sambil berusaha menggapai benda keras apa pun yang ada di belakangku, walau, semua cuma menjadi bentuk pemberontakan sekaligus perlawananku yang sia-sia saat dia hanya mengambil sebuah sapu tangan yang dilipat dari dalam kantong bajunya dan membungkam mulutku. Kemudian, dalam sesaat yang cepat, dunia menghitam.

***

“Namanya Jasmine. Pacarnya sendirilah yang menjualnya pada kita. Harga murah.” Jelas. Suara dari beberapa orang yang sedang berbicara di sekitarku. Suara Gerry, dan suara seseorang lainnya yang sama sekali tidak familiar untukku. Fals, namun nyaring.

Aku memejam dalam sembari memegangi keningku. Entah sudah berapa lama waktu berlalu ㅡpagi yang mendung sudah berubah ke sore yang teduh, rasa pening di kepalaku masih terasa ketika kucoba 'tuk membuka mataku dan menoleh ke sampingku. Benar. Gerry, dia sungguh berada di sini, bersandar di dinding dengan secangkir kopi panas di tangannya, menatapiku dengan bibir yang digigit. Pakaiannya masih sama; setelan jas hitam, kemeja berkerah dan celana jeans agak ketat.

“Sudah bangun?”

“Di mana ini?”

Bola mataku berkeliaran, menjelajah semua sudut demi sudut, takut, sementara lelaki tua yang bersamanya pergi, dan Gerry melangkahkan kakinya ke arahku, ranjang.

“Jangan takut, Manis.”

“Berhenti! Jangan mendekat!” Aku memekik.

“Aku tidak akan menyakitimu.”

Aku mengambil bantal yang kutiduri, dan melemparkannya segera ke muka Gerry yang punya ekspresi kotornya setiap kali melihatku. Namun, dia hanya menghindarinya secara santai dengan satu tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana jeansnya. Masih terus berjalan mendekatiku hingga kemudian dia berhasil mencapai kursi kayu di sebelahku, dan mendudukkan bokongnya dengan lambat di sana.

“Apa maumu?!”

“Aku?” Dia bertanya.

Laki-laki itu menyeduh kopinya untuk kali terakhir, dan aku menyaksikan jemarinya yang menuruni cangkir tersebut usai dia meletakannya di meja. Bergerak pelan.

“Apa kau tahu, pacarmu memiliki hutang yang begitu banyak?” Gerry menyilangkan kakinya, menolehkan wajahnya kepadaku, dan mengamatiku. Menjamuku dengan senyum.

Aku terdiam, memutar kembali perkataan Daniel tadi pagi kepadaku, dan mencoba menggali dalam semua tentangnya yang mungkin secara tak sadar telah kulewatkan.

“Tidak.”

Aku menggeleng.

Gerry tertawa. “Karena itu, dia menjualmu. Bahkan rela ketika kuhargai dirimu hanya dengan sepuluh juta rupiah. Sayang sekali, kurasa kau pasti menyesal menjadi kekasihnya.”

Aku menarik selimut yang sudah nyaris menabrak lantai buat dinaikkan sampai ke leherku. Cahaya matahari yang kemudian semakin sirna layaknya kode suram yang memintaku mau tidak mau harus menerima nasibku, atau mungkin sesungguhnya itu merupakan bagian dari takdir yang tidak akan pernah bisa kuubah. Sebab, laki-laki ini, nyatanya, bukan cuma sekadar bandar narkoba. Dia juga seorang germo, dan aku, sudah terperangkap sejauh ini, dengan ketidakpekaanku, keabaianku, dan kebodohanku yang kupersembahkan untuk Daniel ㅡorang yang selalu ingin aku percayai. []

Pomme, 2022.09.01.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status