Share

iv. Malam Pertama

Bulan menontonku dari tempat yang begitu tinggi untuk kusentuh ㅡnapasku masih terus berembus cepat, namun juga sesekali menghilang, memaki diriku sendiri yang tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku sungguh harus melompat dari lantai tiga untuk bisa bebas dari tempat ini dan pergi ke kantor polisi, atau apakah aku malah lebih baik bunuh diri.

Gerry baru saja melemparkan sebuah dress pendek ketat, dan setengah dada, kepadaku. Dia bilang, Daniel menjualku karena uang, dan mereka membeliku karena aku punya kategori yang pas untuk memuaskan para pelanggan tetap dari bisnis haram yang mereka jalankan.

“Berdandanlah. Selain cantik, kau juga harus seksi. Pelangganmu akan menilai dari bagaimana penampilanmu, dan kepiawaianmu dalam membuat mereka merasa puas olehmu.”

Aku duduk diam, merenung memandangi pakaian kurang bahan tersebut. Serta peralatan make-up lengkap, di mana di antaranya terselip lipstik matte berwarna merah terang yang mencolok. Sangat berbeda dari apa yang biasa kupakai dalam keseharianku; sekadar bepergian untuk berjalan-jalan, dan berangkat ke kantor.

Suaraku serak, bahkan ketika aku terbatuk.

Gerry mengancamku melalui selembar pandangannya yang dia sajikan ketika aku sudah bersiap untuk menolaknya lagi meskipun aku harus dijambak setelahnya. Tapi, tidak. Aku tidak sanggup. Aku tidak mau membiarkan kepalaku sakit lagi karena menangis. Jadi, aku hanya menunduk, mengambil dress yang tergeletak di tengah ranjang itu dan menyimpannya dalam genggaman tanganku.

“Keluar.” Aku berdiri.

Sekarang, pikiranku yang teramat berantakan, coba untuk kuredamkan dengan satu kesepakatan baru dengan diriku. Aku, cuma harus menyelesaikan ini, dan pulang. Terkait apa yang akan terjadi selanjutnya, aku pikir, aku bisa mengatasinya kemudian saat aku sudah selesai dengan pekerjaan ini malam ini.

Aku sedikit bersyukur ketika Gerry meninggalkanku dengan menutup rapat pintu, dan aku langsung berlari untuk lekas menguncinya. Kalau kuamati secara lebih seksama, ruangan yang kupijaki saat ini adalah bekas gudang ㅡtempat penyimpanan barang yang dijadikan sebuah kamar tidur, dan sepertinya memang khusus diperuntukkan buat para pelacur yang mereka bayar, karena di dua lemari yang berdiri kokoh, aku mampu melihat puluhan pakaian yang digantung cukup rapi. Namun, aku masih belum tahu, apakah ada ruangan lain dengan pelacur sungguhan di dalamnya. Aku masih belum mengerti dengan jelas tentang bagaimana situasi gedung ini.

Dua puluh menit dalam hidupku terlewati dengan cepat. Gerry menerobos masuk begitu saja ketika kubuka pintu usai dia menerorku dengan belasan ketukan dan mengguncang kenop, berpikir jika aku sedang berusaha kabur.

“Apakah kau memang selalu seperti ini?”

Aku memicingkan mata. “Aku masih terlalu waras untuk nekad meloncat ke bawah.”

“Tidak. Bukan itu. Tapi, wajahmu.”

“Apa?”

Aku kontan memegang pipiku, tetapi Gerry mendekatiku lagi dan mau mengusap rambutku.

“Kau sangat cantik, Jasmine.”

“Jangan sentuh!” Aku menangkis tangannya.

Gerry tertawa, dan setiap kali dia melakukan itu, aku merasa kalau aku adalah objek kotornya ㅡperempuan dalam imajinasi liarnya yang bisa membuatnya menegang dan meneteskan air liur hanya dengan melihatku menyisiri rambutku sambil bersenandung lirih.

“Apa yang kaupikirkan? Takut aku memerkosamu? Kau harus tenang, Manis.”

“Jaga bicaramu!”

“Aku tidak akan menggigitmu. Tidak. Tapi, kalau kau mau kuhabisi, aku bisa melakukannya. Bahkan, semalam penuh.”

“Aku akan berteriak!”

“Silakan. Siapa menurutmu yang akan mendengarmu? Semua ruangan di sini telah dibuat kedap suara. Artinya, kau terjebak.”

Sekali lagi, aku mendengarnya tertawa, di hadapanku, tidak berhenti memandangiku di antara bulu matanya yang lantik, bibir merahnya dan garis rahang yang tidak kalah menukik dengan Daniel. Sejujurnya, laki-laki sinting ini sangat tampan, dan punya bentuk tubuh kebanyakan atlet yang tinggi serta bagus. Tetapi, aku sudah sangat tidak menyukainya semenjak Daniel membawaku ke tempat karaoke tadi pagi dan aku bertemu dengannya untuk kali pertama. Sikap angkuhnya, gaya bicara yang tidak sopan, dan perlakuan tiba-tibanya yang berbahaya, pun tak terduga. Gerry seperti sosok malaikat pencabut nyawa yang kapan pun, sewaktu-waktu bisa membunuhku, dan aku harus selalu memastikan diriku agar tidak lengah darinya.

“Ah, lupakan. Bagaimana dengan heels-nya? Apakah itu longgar?” Matanya bergulir ke kedua kakiku yang masih telanjang, dan kemudian ke heels berwarna senada dengan dress tersebut yang kutaruh di pinggiran ranjang. Aku sudah mencobanya, hanya saja, aku masih belum yakin untuk memakainya, karena secara mental, aku masih belum siap untuk menuruti apa yang mereka inginkan, bahkan untuk sebatas membayangkannya.

Aku menggeleng, sengit.

“Muat dengan kakiku.”

Gerry menghela napasnya, dan menyeringai.

“Syukurlah. Bos bakal marah besar padaku kalau tahu ada pelanggan yang kecewa hanya karena penampilan tidak sempurna pelacur yang bermain bersamanya.” Nadanya biasa, namun begitu tajam untuk menyentil emosiku lagi yang sepertinya tidak akan pernah bisa percaya jika aku sedang dipaksa untuk menjadi seorang pelacur, dan nahas, ketika kuprediksikan kalau aku juga tidak akan mendapatkan bayaran sebab Daniel sudah mengambil semua uang yang Gerry tawarkan.

“Apakah... ini memang sudah direncanakan?”

“Maksudmu, Daniel?”

Gerry melejitkan alisnya sementara aku mendecih, “Apa yang dia katakan padamu?”

“Apa kau benar-benar ingin tahu?”

“Katakan.” Aku menatapnya.

Kedua irisku sedang membawa kembali nyaliku yang bergetar pada saat kuputuskan untuk melihat tepat ke bola matanya. Mungkin, sebuah jawaban lagi, meski senyap. Gerry tidak langsung memberiku sebuah penjelasan yang seharusnya kuketahui. Seringainya cuma bertambah lebar, dan berikutnya meledak menjadi sebuah tawa kecilnya lagi yang aneh.

“Jika aku adalah Daniel, aku tidak akan mengizinkanmu bercinta dengan laki-laki lain. Apakah penisnya kecil?” Suaranya setengah berbisik, dan diperlambat di kalimat akhir. Serta, tatapannya ke seluruh tubuhku, dari atas ke bawah, membuatku seperti sedang ditelanjangi. Dia, benar-benar kurang ajar.

“Aku tidak tahu.”

“Bohong.”

“Kami tidak pernah bersentuhan lebih dari sekadar berciuman sambil berpelukan.”

Sejujurnya, itu benar. Akan tetapi, aku juga sedang menutupi satu fakta, kalau baru kemarin, Daniel meremas dadaku, dan sebelumnya dia belum pernah melakukan itu kepadaku. Sama sekali. Daniel memang sering memukulku kala aku melawan, namun, dia tidak pernah melanggar janjinya untuk tidak akan menyetubuhiku. Tidak, barang sekali pun.

“Aku tidak percaya.”

“Aku serius.” Setidaknya, dengan kejujuranku sekarang ini, Gerry akan memahamiku, dan membatalkan semua perintahnya untukku. Aku selalu berharap jika kali pertamaku bercinta nanti adalah dengan lelaki yang tepat, dengan perasaan jujur, saling mencintai, dan tidak menyakiti satu sama lain. Sebuah hidup.

Cukup lama. Gerry masih dengan dirinya yang melihatiku, namun cuma berfokus kepada mataku. Terlihat jelas bahwa dia tengah berusaha menemukan titik kebohonganku ketika air mukanya yang santai terburai, dan kini, mendadak serius di antara keheningan yang telah terbentuk sebanyak dua kali dalam pertemuan ini. Apa pendapatnya, atau bagaimana penilaiannya. Aku tidak bisa menerka secara keseluruhan dari perubahan sikapnya, namun, lantas jelas bisa kudengar bibirnya yang berujar lantang, “Bisa kaubuktikan padaku, Manis?” []

POMME, 2022.09.01

hai, gaes.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status