“Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”“Apa yang harus kulakukan?”Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pe
Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku. Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari w
Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justr
Sembilan jam berlalu. Jasmine kembali mendaratkan bokongnya di kursi, masih di hadapan dunia luar yang kini tampak abai kepada dirinya. Napasnya lemah. Sepotong khayalan jauh terpatri di kepalanya, membayangkan kalau seandainya masa depan bahagia yang dia impikan hanya berubah menjadi alur kehidupan pahit yang tidak pernah menjadi bagian dari cerita baik yang dia inginkan. Terkurung di sana sendirian, dengan cairan bening yang nyaris selalu muncul di pelupuk matanya. Seakan-akan dia memang akan berada di tempat itu. Selamanya.Papa, Mama. Terkadang dia merindukannya, dan sekarang, perasaan itu menjumpainya lagi. Jasmine dan kedua orang tuanya sangat dekat ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dan hidup dengan kesederhanaan. Mama selalu mengajaknya bercengkerama, dan Papa kerap memberinya lelucon-lelucon kuno. Namun, seiring bertambahnya usia, berlalunya waktu, dan nasib buruk yang perlahan memudar, kehidupannya mulai berubah secara magis.Jasmine tidak begitu sering lagi mendengar suar
Gemetar. Pada kenyataannya aku memang tidak pandai berbohong. Jantungku berdetak amat cepat, dan bola mataku goyah ketika Gerry kembali memangkas sedikit jarak yang tersisa di antara kami. Bau krim rambut yang dia pakai menjelajah ke hidungku, dan aku hanya punya napas yang kutahan secara halus di antara kedua irisnya yang menatapiku, lekat.Jemariku dingin. Gerry menjamuku sepenggal seringainya lagi yang kini datang bersama suara kecil burung gereja. Ekspresinya nakal. Sementara aku sedang menarik urat leherku yang menegang, kaku. Perutku mulai berkeringat. Berusaha kabur dari Gerry bukanlah perkara mudah semenjak awal, dan rasanya bak menyeberangi sungai berombak untuk bisa mencapai tepian terjal. Sulit sekali.“Aku... tidak bisa kalau harus langsung menjawabnya sekarang. Bisa beri aku waktu?”Aku melirikkan ekor mataku ke meja, memberi kode padanya terhadap apa yang dia bawa ke kamar ini untukku. Sebuah kantong plastik makanan, dan paper bag besar. Masih utuh di sana. Aku tahu kalau
Aku mencoba menata diriku lagi, di hadapan indekos Jakarta yang kecil. Mungkin untuk sementara, akan lebih baik kalau aku menghindari apartemenku dahulu. Gerry sudah pasti akan menghubungi Daniel, mencariku. Aku tidak mau ceroboh. Cukup sekali, dan aku hanya berharap tentang hal-hal baik yang bakal terjadi kepada hidupku. Bukan pelecehan.Seorang perempuan pemilik bangunan bertingkat delapan pintu ini datang menyambutku. Senyumnya yang ramah mirip seperti senyuman Mama yang sering kuterima sewaktu aku masih kecil. Bahkan, rambut sebahunya yang dibiarkan tergurai, ditabrak sekelompok angin. Beliau berjalan ke arahku, dan setelah dekat, aku bisa menilai sifat lembutnya. Serta begitu keibuan. Mengundangku buat ikut tersenyum, meski kaku, sembari mengusap lamban tengkukku.“Ada yang bisa saya bantu, Nak?”Bingung. Aku menggigit bibirku. Tidak tahu bagaimana caraku harus memulai pembicaraan kami. Aku tidak memiliki dompet yang menyimpan seluruh identitasku, pun ponselku yang sampai saat in
Aku masih tidak percaya kalau kebaikan yang beliau miliki tidak hanya berhenti pada satu hal manis yang dia beri kepadaku. Selain tidak mengizinkan aku untuk membayar uang sewa, aku juga selalu diajak untuk menemaninya makan bersama. Tiga kali dalam sehari. Beliau bilang bahwa sudah hampir delapan tahun kehidupannya hampa dan sunyi. Suaminya telah meninggal, tepat dua hari setelah mendengar kabar akan Grace ㅡanak merekaㅡ yang tak lagi bernapas, dan mengharuskannya untuk menjalani kesehariannya sendiri, mau tidak mau. Sebab, menurutnya, begitulah jalan hidup yang memang Sang Maha Pencipta peruntukkan untuknya, dan beliau mencoba menerima itu dengan keikhlasan, menjalani takdir miliknya.Sudah tiga hari sejak terik panas matahari Selasa pagi menyaksikanku kabur seorang diri dari hotel keparat itu. Banyak waktu yang seharusnya berharga terbuang di antara ketakutanku yang nyatanya masih menyala meskipun telah berada di tempat ini; tempat yang aman untukku. Aku sudah memutuskan untuk pergi
Bola mataku membelalak, lebar, dan napasku seketika terengah, seperti akan mati dalam beberapa detik dari sekarang. Aku langsung membanting pintu, menendang sekuat tenaga dengan kakiku kendati itu cukup terlambat ketika Gerry juga spontan memajukan badannya, menahan agar pintu tetap terbuka, dan mengizinkan tangannya untuk lolos, mencengkeram bahuku sambil mencoba merampas sapu yang berada di tangan kiriku.Aku berteriak, menjerit kencang hingga suaraku serak. Berharap ada seseorang datang. Setidaknya, melaporkan ini ke security, dan kembali ke sini dengan bantuan. Aku sungguh tidak mau semua itu terulang. Aku sudah bersumpah untuk tidak bakal menyentuhkan tubuhku di tempat kotor itu lagi. Aku hanya ingin hidup normal bak perempuan lain seusiaku. Bekerja, dan bertahan dengan cara yang benar. Bukan begini, dan dikekang.Gerry melempariku tatapan paling tajamnya ketika aku nyaris sukses merapatkan pintu, merasakan sakit akan kuku-kukuku yang bak lepas. Dengkulku gemetar, dan sebagian ra