Judul: AKU BUKAN WANITA PENGHIBUR.
Part: 4.
***
Kotor sudah tubuh ini. Dibawah selimut aku bersembunyi meratapi diri yang telah menjadi hina.Setumpuk uang berwarna merah tergeletak di sampingku.
"Ambil sebagai bonus untukmu. Saya senang mendapatkan kepuasan dari wanita yang masih asli sepertimu," ujar Om Salman, laki-laki yang merenggut kesucianku semalam.
Aku bergeming, bahkan air mata tak mau menetes lagi.
Detik berikutnya aku ditinggalkan begitu saja. Sungguh menyedihkan.
.
Waktu terus berjalan ....
Aku terbiasa dengan keadaan. Walau hati masih menjerit menerima kenyataan. Namun, aku tak lagi menyembah Tuhan.
Aku berhenti menjalani kewajibanku.
Aku berhenti menyebut nama-Nya sebagai tempat mengaduku.
Ya, aku berhenti untuk semua ajaran kebaikan yang dikatakan oleh Ibu.
Namaku, Luka. Selamanya aku akan terluka jika tidak mengganti nama ini.
Kalimat Tuan Abraham terngiang di kepala. Apa kabar laki-laki yang pernah menyelamatkan hidupku itu?
Semoga rumah tangganya selalu bahagia. Aku sungguh merindukan Nyonya Jelita serta Tuan Abraham.
Akan tetapi, saat ini aku bagai tak punya muka walau sekedar ingin mencaritahu kabarnya.
Aku telah kotor. Aku telah hina. Garis takdir mengantarkan aku pada tempatku yang nyatanya memang mewarisi pekerjaan Ibu.
Ah, aku mulai menyesali.
Andai bisa memilih, aku lebih baik tidak terlahir di dunia ini daripada harus hidup dengan menanggung cibiran Anak haram, dan kini malah menyandang status wanita malam.
Pelan langkahku ke luar kamar. Disambut senyuman hangat oleh Mami Asni yang kini memperlakukan aku bak ratu.
Tentu saja Mami Asni begitu memanjakan aku, karena saat ini aku adalah sumber penghasilan terbesarnya.
"Luka, sayang. Ini gajihmu untuk malam kemarin. Ambil dan belanjakan apa saja yang kau suka," ujarnya.
"Terima kasih, Mami. Aku ingin menghabiskan waktu seharian ini untuk menikmati semua kemewahan yang telah aku punya," sahutku tersenyum miris.
"Pergilah, sayang! Namun, ingat kau tak boleh berbuat curang atau berpikir kabur."
"Tenang saja, Mami. Tempat ini sudah menjadi rumah untukku. Tidak ada alasan lagi ingin kabur dari sini."
Mami Asni tersenyum sembari mencolek lembut dagu runcingku. "Bagus, sayang."
.
Aku ke salon, ke mall, dan ke mana saja yang aku suka. Uang yang banyak ternyata mampu melenakan aku.
Namun, tidak ada kebahagiaan yang aku rasakan saat ini. Hidupku hampa, setiap harinya hanya berteman dengan dosa.
Di salah satu salon kecantikan terbesar, aku melihat sosok yang tak asing dipandang mata.
Aku mengamatinya lebih dekat. Hingga aku semakin yakin, bahwa yang aku lihat benar-benar Nyonya Jelita.
Hatiku berdegup kencang. Rasa senang bercampur dengan rasa malu.
Apa yang nantinya akan aku jelaskan, jika Nyonya Jelita bertanya banyak tentang diriku?
"Nyonya," lirihku dengan binar mata yang sudah terasa berkaca-kaca.
Nyonya Jelita menoleh ke arahku. Ekspresinya sulit aku jelaskan. Mungkin karena terkejut dengan keberadaanku yang secara kebetulan.
"Luka," ucapnya lembut.
Aku langsung memeluk tubuhnya erat. "Nyonya, aku sungguh bagai sedang bermimpi bisa bertemu denganmu lagi."
Akan tetapi, Nyonya Jelita meraih kedua bahuku dan merenggangkan diri sedikit menjauh.
"Luka, tolong jangan dekat-dekat! Lihatlah semua orang menatap ke sini. Maaf, Luka. Saya sudah mendengar tentangmu. Bahkan di kota ini pun sedang gempar membahas pekerjaan kotormu," papar Nyonya Jelita.
Detak jantungku yang tadinya berdebar hebat, kini seolah berhenti berfungsi.
Perkataan Nyonya Jelita sudah menampar keras hatiku. Sakit, perih, dan sungguh pilu.
"Nyonya ... semua bukan kehendakku."
"Cukup, Luka! Saya tidak butuh penjelasanmu. Jangan pernah hadir dalam kehidupan saya dan Mas Abraham lagi. Kami tidak punya tempat untuk orang-orang sekelas dirimu."
Nyonya Jelita pergi setelah mengatakan hal demikian. Sedangkan aku masih terpaku menatap langkahnya yang semakin menjauh.
Air mata tertahan di pelupuk mataku. Semua yang ada di sini memandang sinis, tapi tak berani berucap sepatah kata pun.
Niatku urung untuk mempercantik diri. Aku berlari masuk ke dalam taksi yang aku bayar untuk menunggu tadi.
"Antar saya pulang, Pak!" perintahku datar.
"Siap, Nyonya."
Akhirnya aku pulang tanpa membeli apa-apa ataupun melakukan apa-apa.
Hatiku remuk hari ini. Perkataan Nyonya Jelita sungguh membuat aku sadar diri.
Selamanya aku akan terus terhina. Sejak di desa, hingga sampai ke kota. Aku selalu mendapat cibiran serta cemoohan.
.
Sampai di rumah penuh kenikmatan yang dikatakan para lelaki hidung belang ini. Aku langsung masuk ke dalam kamarku.
Mengunci pintu serta menyendiri tanpa ingin diganggu.
Tersandar aku di sudut ranjang dengan memegangi lutut sendiri. Air mata seolah tak mau lagi keluar. Perih yang aku rasa sudah cukup membuat aku tak punya nyali menghadapi dunia.
-
-Hari berganti bulan, bahkan hampir berganti tahun. Aku semakin terbiasa dengan pekerjaan ini.Tidak ada lagi pemberontakan, hanya sesekali merasa diri penuh dengan penyesalan.
"Luka, ada seseorang dari luar kota yang datang ingin membayarmu mahal," ujar Mami Asni masuk ke dalam kamarku.
"Atur saja tarifnya, Mi. Suruh dia langsung menemuiku di sini!" perintahku sembari melanjutkan mengoles make up tipis.
"Baiklah, sayang."
Mami Asni sangat antusias keluar memanggil lelaki hidung belang tersebut.
Kurang lebih lima menit berlalu, akhirnya penikmat nafsu itu masuk ke kamarku.
Aku masih menghadap cermin tanpa menoleh ke arahnya. Terdengar suara pintu telah kembali ditutup rapat.
Senyumku tergambar lewat pantulan kaca. Betapa kecantikan ini mampu memikat kaum laki-laki buaya.
"Tuan ingin diservis dengan gaya apa?" tanyaku sembari membalikkan badan.
Hening.
Laki-laki itu tak menjawab ataupun tersenyum.
Aku memperhatikan seksama sosoknya. Tubuh laki-laki itu tinggi dan sangat ideal. Tidak buncit, tidak gendut, hanya berewokan.
Jantungku mendadak berdebar-debar tak karuan.
Ada apa ini?
Perlahan laki-laki itu melepaskan topinya, berlanjut dengan menyentuh wajahnya sendiri.
Aku ternganga dengan mata yang membesar. Berewok serta kumisnya palsu, dan yang lebih mengejutkan lagi, dia adalah ....
"Tuan Abraham," lirihku masih tak percaya.
Tuan Abraham menatapku tajam tanpa bersuara. Aku gemetar berhadapan dengannya.
Apa lagi yang Engkau mau, ya Rabb?
Hatiku menjerit menahan sakit ini. Wajahku tertunduk malu, dan seolah ribuan orang tengah menertawakan keadaanku yang menyedihkan.
Aku tak berani mengangkat wajah untuk kembali menatap Tuan Abraham.
Tangisan yang hampir satu tahun terkahir ini tak pernah hadir, kini malah membuncah memecahkan kebekuan di pelupuk mata.
Aku terisak dengan gerakan dada naik turun menahan sesaknya, tanpa berani bersuara.
Lidahku terasa asin, mungkin sudah berdarah karena aku menggigit kuat untuk tetap tak bersuara.
Namun, aku gagal. Suara isakanku akhirnya keluar. Aku tersedu-sedu sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Betapa murahan dan memalukannya tawaran yang tadi aku ucapkan pada Tuan Abraham.
Seandainya ada racun di kamar ini, maka aku pasti langsung meminumnya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Tuan Abraham mendekapku erat dalam pelukannya.
"Jangan menangis, Luka! Tolong jangan menangis," lirihnya terdengar samar.
Aku memberanikan diri membuka mata dan merenggangkan diri agar melihat ke arah wajahnya.
Tuan Abraham meneteskan air mata.
Apa artinya ini?
Bersambung.
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke