Share

Kembali diseret ke lembah hina

Judul: AKU BUKAN WANITA PENGHIBUR.

Part: 3.

***

"Saya akan pulang bersamamu, tapi mintalah maaf terlebih dahulu padanya!" perintah Tuan Abraham sembari menunjuk ke arahku.

"Apa, Mas? Saya harus minta maaf pada wanita murahan ini?"

"Luka bukan wanita seperti itu, Jelita. Keganasan hidup yang membawanya hingga sampai ke sini. Saya akan menceritakan semuanya di rumah nanti."

Nyonya Jelita kemudian mengamatiku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. 

"Maaf," lirihnya.

Aku tersenyum sembari mengangguk.

Setelah itu Tuan Abraham pergi bersamanya. Tinggalah aku sendiri di Apartemen yang besar ini.

Aku menghela napas lega. Akhirnya aku bisa tidur dengan tenang.

-

-

Adzan subuh berkumandang, aku tersadar dari tidurku. Lalu bangkit dan membersihkan diri. Setelah itu barulah aku menunaikan kewajiban rutin yang diajarkan oleh ibu sedari aku kecil.

"Ngapain repot-tepot tiap hari shalat! Gak akan masuk surga mantan wanita malam sepertimu!" ujar Bik Ratna lantang.

"Tidak masalah, Rat. Surga milik siapa saja yang memang tulus ingin menggapainya," sahut Ibuku lembut.

Bibir Bik Ratna tersungging mendengar jawaban Ibu. Sedangkan aku tersenyum kagum. 

Walau kata orang-orang Ibu adalah wanita hina di masa lalu, tapi sikapnya yang di depan mataku sangatlah bijaksana.

Menetes air mata ini ketika mengingat kembali kenangan bersama Ibu.

.

Siang menjelang, suara bel berbunyi membuat aku segera berdiri untuk membukakan pintu.

"Luka," lirih Tuan Abraham. 

Aku tersenyum. Di sebelah Tuan Abraham ada Nyonya Jelita yang sedang bergelayut manja di lengannya.

"Kamu jangan ke mana-mana! Hari ini saya dan Mas Abraham akan pergi ke luar kota. Semua persediaan untukmu ada di dalam koper ini," papar Nyonya Jelita lembut.

"Terima kasih, Nyonya. Aku berhutang budi besar pada kalian," sahutku.

Nyonya Jelita memelukku sebelum pergi berlalu bersama Tuan Abraham.

Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan pasangan suami istri ini. Aku juga berdoa, semoga hubungan keduanya membaik dan bahagia.

-

-

Waktu berjalan, hari berganti. 

Bel Apartemen ini kembali berbunyi. 

Aku bersemangat membukakan pintu. Pasti yang datang adalah Tuan Abraham dan Nyonya Jelita. 

Namun, saat pintu kubuka ....

"Bawa dia!" perintah Mami Mery pada dua laki-laki berbadan kekar.

Aku berteriak meminta pertolongan. "Tolong!"

Akan tetapi, seketika Mami Mery mengancam dengan sebuah rekaman.

"Lihatlah, Luka! Paman dan Bibikmu sedang berada dalam tahanan saya. Jika, kau berani berontak, maka saya akan melenyapkan mereka berdua."

Aku bergeming. Di video tersebut tampak jelas wajah Bibik dan Paman sedang memelas meminta ampunan agar dilepaskan.

"Kenapa Mami menyandra mereka? Bukankah waktuku memang 2 hari di sini? Nanti sore aku akan kembali. Tunggulah sampai Tuan Abraham datang," ujarku bergetar.

"Omong kosong! Saya sudah tahu rencanamu bersama Tuan Abraham. Sekarang, cepat ikut saya!"

Aku terpaksa menurut demi Paman dan Bibikku.

Air mata kembali menetes ketika langkah kaki harus menuju ke tempat terkutuk itu lagi.

Setelah ini akankah ada yang menyelamatkanku lagi?

Aku, Luka. Harusnya aku tidak takut pada apa saja, bukan?

.

Aku sampai di sebuah gudang tua tempat penyekapan Bibik dan Paman.

"Akhirnya kau kembali juga, Luka. Patuhilah semua perintah Mami Mery! Terima saja garis takdirmu yang memang harus mewarisi nasib seperti Ibumu, Purnama." Bik Ratna bicara dengan santai.

Tidak ada ketakutan ataupun kesedihan di mata keduanya. Mereka bahkan tersenyum sumringah. 

"Ambil ini! Kalian berdua boleh pergi! Terima kasih, atas kerjasama yang sungguh luar biasa kalian," ujar Mami Mery menyerahkan amplop cokelat pada Paman.

Mataku membesar mendengar pernyataan itu. Bisa-bisanya Bibik dan Paman rela menjualku hanya demi uang.

"Jangan tinggalkan aku, Bik ... Paman. Aku tidak mau menjadi wanita malam," ucapku dengan air mata yang berjatuhan.

Bibik dan Paman tidak mempedulikan ratapanku. Mereka pergi begitu saja setelah mendapatkan bayaran.

"Bawa gadis ini ke pondok hiburan kita yang ada di pusat kota! Pantau terus gerak-gerik serta siapa saja yang akan membayarnya! Jangan sampai Tuan Abraham menemukan Luka kembali!" 

"Siap, Mami."

Aku diseret paksa masuk ke dalam mobil. Mami Mery sungguh licik dan kejam. Entah ke mana aku dibawa anak buahnya.

Tuan Abraham dan Nyonya Jelita pasti kebingungan mencariku. 

Ya Allah, jangan biarkan aku terhina oleh tangan-tangan syaitan ini. Tolong aku. Selamatkan aku.

.

5 jam telah berlalu, aku sampai di sebuah tempat yang sama menakutkannya dengan tempat pertama kali aku diantarkan.

"Mami Asni, ini gadis yang bernama, Luka. Mami Mery sudah menyerahkan Luka sepenuhnya di sini. Dia masih perawan," ujar anak buah Mami Mery dengan begitu bangga.

"Sempurna. Luka, kau akan menjadi primadona kesayangan saya di sini."

Aku tak menjawab apa-apa. Tenagaku sudah habis, bahkan hanya untuk bicara saja aku sudah tak sanggup.

Aku pasrah sekarang.

Saat ini aku sedang ingin melihat peranMu ya Rabb. Jika Engkau tak menyelamatkan aku, maka semua umpatan orang-orang padaku dulu, aku anggap benar.

Bahwa aku anak haram, dan aku akan mengikuti jejak yang haram.

Aku benar-benar menunggu campur tanganMu kali ini.

"Antarkan Luka beristirahat di kamar yang sudah saya siapkan tadi! Untuk malam ini, biarkan dia sendiri dulu," ujar Mami Asni.

Aku melangkah pelan dibimbing dua wanita suruhannya. Usia mereka kutafsir lebih tua dariku.

"Namaku, Riana. Tidurlah, dan hapus air matamu! Di tempat ini tidak ada keadilan ataupun belas kasihan, Luka. Aku pun dulu pernah berada dalam posisimu. Aku berontak, aku ingin lari. Namun, akhirnya aku menyerah. Sekarang aku menikmati semua ini, Luka. Hidup memang kejam, maka dari itu kita tidak boleh lemah," papar Riana.

Aku tetap bergeming. Sekali lagi aku ulang, saat ini aku masih menunggu pertolongan dari-Nya. Jika, tidak ada. Maka aku akan menerima keadaan ini.

-

-

Malam berikutnya, aku sudah dirias dengan begitu sempurna. Tidak ada pemberontakan dariku, tak ada pula kata yang aku ucapkan.

Aku membisu di hadapan cermin yang memantulkan gambar diriku. Kecantikan ini sungguh membawa malapetaka. 

Seandainya aku dilahirkan buruk rupa, pastinya tempat sampah ini tidak akan menerimaku dan menginginkan aku sedemikian antusiasnya.

"Luka, kau sudah siap? Di luar banyak tamu yang sudah menunggu kita. Mereka akan memilih sendiri. Dan aku yakin, kau pasti menjadi primadona malam ini," ujar Riana.

Aku tak merespon. Hanya langkah kaki yang berjalan mengiringinya.

.

Kini, aku sudah berada di antara yang lain. Duduk manis memasang senyum agar para lelaki hidung belang itu terpikat. Sungguh aku belum bisa melakukannya.

Jangankan tersenyum seperti wanita lain di sini, bersuara saja aku sudah tak berniat.

"Mami, saya menginginkan gadis ini." Salah satu lelaki berperut buncit itu menunjuk ke arahku.

"Saya juga memilih dia," ujar yang lain pula.

"Berikan pada saya saja! Saya siap membayar lebih besar dari mereka." 

Seketika ruangan yang sudah bising ini menjadi tambah riuh dengan perdebatan dari lelaki buaya.

Mami Asni tersenyum penuh kebanggaan. Ia bersorak riang dengan tawaran demi tawaran yang jumlahnya begitu besar.

Sedangkan aku? 

Aku masih menunggu pertolongan dari-Nya.

Aku percaya, Rabbku tidak mungkin membiarkan aku ternoda di tempat yang kotor ini.

"Harga tertinggi yang akan mendapatkan, Luka. Harus kalian tahu, Luka masih serba asli. Bayarannya tidak boleh disepelekan," ucap Mami Asni sambil melintir rambut keritingnya.

.

Tidak ada pertolongan untukku. Harapan kian pupus dimakan keadaan.

Aku telah berada di dalam kamar bersama seorang lelaki yang berhasil membayar mahal ketimbang yang lain.

Seorang laki-laki paruh baya yang memiliki kumis tebal, perut buncit, mata besar, serta gigi sedikit panjang. 

Bisa dibayangkan betapa menyeramkannya bentuk fisik lelaki ini?

Namun, aku sudah tidak ketakutan. Permintaanku pada Tuhan tidak dikabulkan. Berarti aku memang harus pasrah pada keadaan.

Namaku, Luka. Kini, aku wanita yang telah putus asa dan harus rela menyerahkan mahkota demi keserakahan makhluk-Nya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status