POV. Pras***Hatiku terseok-seok di antara dua perempuan yang mengisi hidupku. Kupikir aku lelaki yang kuat iman. Kupikir aku lelaki yang bisa mengendalikan cintaku hanya untuk Dewi seorang. Kupikir aku lelaki setia yang patut di perhitungkan di zaman modern sekarang ini.Nyatanya aku hanyalah pecundang cinta yangtega berkhianat di atas ikatan suci yang pernah kujanjikan untuk Dewi seorang.Kehadiran kawan lama istriku yang kusangka lugu, rupanya berhasil membawaku pada jurang kehancuran yang paling dalam.Benar kata Dewi. Aku bukan menikahi Aini karna hanya ingin punya keturunan. Tapi karna nafsu dunia yang tak bisa kutahankan.Bahkan diam-diam wanita berwajah lugu dan bermulut manis itu mampu membuaiku siang itu. Bukan di hotel mewah atau di rumah kost sederhana yang ia tempati.Tapi kehadirannya yang memaksa berjumpa di siang itu, membuat aku berhasil mencumbui dirinya di ruang tengah.Ruangan dimana aku kerap menuntut Dewi untuk memuaskanku.“Aini, ini salah.”“Tapi kamu udah nye
Pov. Dewi***Tak perlu menunggu waktu yang lama untuk rasa sakit yang kualami. Memang tak serta merta cinta itu bisa kuhilangkan. Namun, sakit ini seolah menikamku begitu kuat. Dengan bantuan Hera dan suaminya. Aku dibantu salah seorang pengacara muda yang masih kerabat dari mas Arman.Bukan soal apa membayar pengacara. Tapi untuk masalah harta gono gini aku tak ingin berdebat dengan mas Pras. Cukuplah rasa sakitku atas pengkhianatan yang dilakukannya bersama kawan lamaku. Namun untuk urusan harta, walau tak banyak, tapi aku tak ingin merugi lahir batin.Cukuplah batinku tersiksa sedemikian rupa, tapi aku butuh melanjutkan hidup dan kupastikan harta yang kuhasilkan bersama mas Pras bisa menjadi milikku. Biar saja dia dan perempuan itu mulai lagi dari awal.Agar perempuan itu tahu bagaimana memulai semuanya dari nol. Minimal mereka harus merasakan bagaimana repotnya bila ingin punya rumah sendiri. Kulihat di kursi sebelah mas Pras tertunduk. Sesekali kurasa ia menatap ke arahku. Na
“Dewi!”Mas Pras mengejar langkahku ke dalam rumah. Sepulang dari pengadilan tadi, aku tak langsung pulang.Panasnya cuaca ditambah dengan panas hatiku membuatku memilih melipir sebentar ke warung khas Sunda yang menyediakan es teler khas kota Bandung.Aku dan Hera pulang terlebih dahulu, saat mbak Widya masih memuntahkan kemarahannya pada mas Pras.Namun tentu saja aku pamit pada kakak perempuan mas Pras itu. Meski mas Pras memanggil namaku, tapi tak kuperdulikannya.Aku memilih membungkus dua es teler dan siomay Bandung untuk kubawa pulang. Kubelikan juga untuk Hera dan suaminya.Mas Arman lagi-lagi siap repot. Beliau tadi menjemput kami dan mengantarku pulang.Namun aku tak menyangka saja, ternyata mas Pras lagi-lagi sudah menunggu di teras rumah.“Ada apa lgi, Mas?”Kutepis tangan mas Pras yang ingin memelukku. “Dewi, kenapa menghuku mas sekejam ini, Sayang?”“Kenapa mas harus selingkuh?”“Mas khilaf, Sayang. Mas minta maaf.”“Mas tahu kan yang namanya sakit hati. Aku tak ingin l
Pov. Dewi*** Aku memang mencintai mas Pras, tapi tikaman luka yang ia berikan di hatiku juga tak main-main pedihnya.Andai ia minta izin dulu padaku bila akan mendua tentu aku tak sesakit ini. Mungkin aku bisa mundur teratur tanpa emosi yang membabi buta.Tak pernah aku melapor pada mbak Widya akan apa yang menyakiti hatiku bebrapa bulan ini. Namun kemarin setelah kuberikan pelajaran dan kuusir mas Pras bersama istri mudanya itu, segera ku telepon mbak Widya dan menyampaikan kedatangan Aini yang ingin mencampuri urusanku dengan mas Pras.“Pergi kamu, Mas! Bawa perempuan ja-lang ini keluar dari rumahku!”“Dewi. Tahan emosimu, Sayang”“PERGI!”Dan mas membawa Aini keluar dari rumah ini dengan wajah menahan marah.Tak kuperdulikan tangisan Aini yang memohon pada mas Pras untuk membalasku. Pun dengan mas Pras yang tampak marah pada perempuan itu.Satu yang jaga kemarin, andai mas Pras berani melakukan kekerasan padaku seperti yang ia lakukan pada perempuan perebut itu, sudah kupastikan.
Pov. Dewi***Tak ada kesedihan yang abadi. Ibarat musim yang datang silih berganti. Pun dengan suasana hatiku. Aku pernah tertawa bahagia. Aku pun pernah sedih dan terluka begitu dalam. Namun seperti kata pujangga. Waktu adalah penyembuh luka yang terbaik. Dan aku merasakannya sendiri. Luka-luka yang pernah membuat hatiku patah dan hancur berkeping, kini perlahan sembuh dan pulih. Walaupun kepingannya tak lagi benar-benar utuh. Namun, aku sembuh dan jauh lebih kuat dari sebelumnya. "Makan yuk!" Hera menghampiriku sambil membawa buku catatan pengambilan karyawan yang kuminta tadi. Perutnya yang semakin membola indah membuatnya terlihat semakin susah berjalan. "Kamu masih kuat jalan kah? Aku kok liatnya susah ya." "Haha. Aku yang hamil biasa-biasa aja lho. Cuma kalau sesak kalau malam." "Apa nggak ambil cuti aja. Udah bulannya kan?" "Habis tutup buku aja biar kamu nggak bolak balik nelpon kalau aku cuti." "Kuat sekali anda." "Haru
Pov. Pras *** Banyak laki-laki yang selingkuh di luar sana. Beberapa rekanku yang tinggal berjauhan dari istri dan keluarganya melakukan itu. Walau hanya sekadar makan berdua atau jalan-jalan bersama. Namun di antara mereka semua akan kembali pada istri sah. Wanita-wanita kedua itu dianggap hanya sekadar selingan saja. Laki-laki begitu pandai menyembunyikan permainan di belakang istrinya. Mereka tak bodoh untuk memilih hidup bersama dengan wanita penggoda. Mereka tak biarkan rumah tangga mereka hancur hanya karna selingan. Namun tidak denganku. Di antara para lelaki itu, mungkin akulah yang paling bodoh. Ya akulah lelaki bodoh itu. "Buang berlian dapatnya batu kerikil!" Kalimat sindiran dari beberapa rekan wanita di tempat kerjaku memang benar pantas untukku. Aku bodoh. Aku naif dan aku lelaki yang sudah berdosa pada istri sahku. Khilafku ingin merasakan sensasi lain dari sentuhan yang Aini berikan, membawaku pada kehancuran rumah tangga yang kubangun dengan kobaran cinta
Mungkin juga ia tak terima saat kutalak, entah sah atau tidak. Yang jelas aku benar-benar sudah tak ingin bertemu Aini lagi.“Baiklah, Pak. Saya akan menyelesaikan utang-utang Aini. Dan saya juga siap dimutasi, Pak.”Lebih baik dimutasi, daripada harus bertahan di tempat kerja yang kurasa hampir semua karyawan disini mencibir ketololanku.Lelah batin dan rasa marah atas kebodohan dan kelalaianku membuatku menepi sebentar. Aku tak kembali ke meja kerjaku yang tiba-tiba kurasa tak nyaman untuk mendudukinya.Kulangkahkan kaki sore ini ke daerah tempat Dewi bekerja. Aku sungguh berharap bisa melihatnya.Bukannya aku tak memantau. Bahkan sejak perceraian kami, beberapak kali aku datang bertamu. Berusaha membujuk rayu. Namuk kesilapanku yang kemarin benar-benar membuat Dewi tak berikanku kesempatan kedua.Netraku kembali perih. Baru kusadari, ternyata perempuan itu hanya datang menawarkan buaian sebentar lalu pergi dan tertawa setelah melihat kehancuran rumah tanggaku.Berkali-kali aku mend
POV. Author*** Alam begitu adil dalam bekerja. Bagaimana menggantikan airmata dengan senyum indah, bagaimana membalas kepongahan dan kecurangan dengan kesakitan yang sama eloknya.Tak pernah salah tak pernah keliru.Tiap-tiap perbuatan yang dilihat ataupun tak terlihat, pasti akan ada balasannya. Baik itu tentang kebaikan ataupun tentang keburukan.Dan alam tak pernah salah memberi pada siapa karma itu diberi.Dewi pernah menangis di tiap malam-malamnya. Bahkan ia hampir membenci malam yang memberi keteduhan. Sebab saat itu luka dalam hatinya masih berdarah begitu derasnya. Meninggalkan nyeri atas pengkhianatan dari lelaki yang bergelar sebagai suami.Namun perlahan waktu menyembuhkan. Memulihkan luka-luka itu. Bahkan luka-luka itu mulai mengering dan perlahan menyiratkan tawa hangat dari bibir merah muda alami perempuan yang pernah menggenggam bara luka yang diberikan oleh suaminya.Rasa sakit yang pernah Dewi rasakan, perlahan sembuh. Sementara Pras dan Aini yang memberi luka itu,