MERENUNG
Saat sedang bersih-bersih ruangan, tak sengajaNetraku membola menatap pada sebuah foto di dinding yang ukurannya lumayan besar. “Kenapa Mas Revan bisa foto bersama keluarga Bu Dian?Ada hubungan apa mereka?” batinnya. Pikirannya mulai berkecamuk, jiwa penasarannya meronta-ronta.Dunia begitu sempit, usahaku untuk lari jauh dari bayang-bayang Mas Revan ternyata percuma. Justru sekarang wajah itu ada di hadapanku, wajah serupa garam yang menaburi luka dalam hatiku.Dulu lelaki itu pernah begitu hangat menyinari hidupku.Lalu dengan garangnya pula pernah mencampakkanku di saat sudah tak dibutuhkan lagi. Aku tak mengerti apa yang ada di benak seorang lelakiKetika menghianati istri dan anaknya. Tidak tahukah dia?Bahwa pernikahan adalah ikatan suci, janji di hadapan Tuhan. Belum pernah ada yang menyakitiku sedalam ini, sakit dan nyerinya bahkan tak bisa lagi aku deskripsikan. Mungkin karena aku mencintainya terlalu dalam, hingga akhirnya aku merasakan sakit dan kecewa yang mendalam juga. Aku merutuki nasibku sendiri, lelaki yang kini bergelar mantan suami melupakan tanggung jawabnya terhadap darah dagingnya. Di mana janjimu, Mas? Di mana tanggung jawabmu sebagai ayah?” batinku sambil menatap butiran-butiran air yang jatuh dari ujung dedaunan karena gerimis menyapanya. “Ya Allah, berilah hamba kekuatan untuk bisa menjalani dan melewati semua ujian dari- Mu” doaku dalam hati.Kudengar suara dibalik pintu memanggilku, seperti suara majikanku. Kubergegas membukanya siapa tahu ada perlu sesuatu. Kubuka pintu kamarku yang sedari tadi dikunci. “Bu, apa Ibu perlu sesuatu?” tanyaku ketika pintu dibuka.“Oh, iya mba, soalnya saya mau minta tolong, saya dari tadi mencari sketsa gaun pengantin yang sudah saya desain minggu kemarin, saya taruh di ruang kerja gak ada, saya pusing mencarinya. Tolong bantu cari ya? Soalnya mau langsung dijahit biar cepat jadi,” titahnya dengan nada memohon. “Iya, Bu, saya bantu cari,” jawabku.Mataku terus berkelana menelusuri setiap sudut ruangan, setiap kolong lemari atau meja. Dan semua laci tak luput dari pandanganku. Tapi satu yang terlewatkan, yaitu album foto. Aku hampir lupa mengeceknya, siapa tahu terselip di situ. Kucoba buka album foto itu yang letaknya di rak buku. Saat album kubuka, mataku langsung tertuju pada foto pertama. Yaitu foto berempat, dua pria dan dua wanita. Melihatnya tak asing, meskipun wajah-wajahnya masih belia. Namun, aku masih mengenalinya dengan baik. Di sini terlihat mantan suamiku menggenggam erat tangan wanita di sebelahnya, dia adalah Kamila yang sekarang jadi calon istri Mas Revan. Dan satu lagi, wanita di sebelah Kamila yaitu Ibu Dian. Mungkin mereka bersahabat, dilihat dari ekspresinya mereka terlihat akrab. Tak sengaja ada lembaran yang jatuh dari album foto ini, setelah kulihat ternyata sketsa gaun pengantin yang Ibu Dian cari. “Kayaknya sketsa gaun pengantin ini untuk Mas Revan dan Kamila,” batinku. Aku terlonjak kaget kala wanita yang berprofesi sebagai desainer itu menepuk pundakku lalu bertanya. “ Mba, apa sudah ketemu,?” Tangannya menepuk pundakku pelan sambil tersenyum.“I-iya, Bu, apa ini yang Ibu cari? Sambil kuambil kertas berwarna putih ini yang jatuh di lantai lalu kuserahkan ke wanita di hadapanku dengan gugup. “Iya, benar mba. Ya ampun ... aku sampai pusing mencarinya, gak ketemu-ketemu. Rupanya terselip di album. Eh, iya kemarin malam itu aku lihat-lihat foto di album sambil megang sketsa itu, taunya aku lupa,” ujarnya dengan riang. “Ibu, ma-maaf, apa boleh saya tanya sesuatu?” tanyaku gugup.“Iya, mba, ada apa?” sambungnya dengan mengangkat sebelah alisnya.“Foto lelaki yang ada di album ini siapa?” Hatiku mulai deg-degan seperti bunyi genderang yang mau perang.“Oh, ini?” Sambil menunjuk foto berempat yang ada di album.“Iya,” jawabku.“Ini saudara sepupu suamiku, Revan namanya. Dan satu lagi cewek yang ini Kamila, dia mantannya waktu SMA. Tapi sekarang mereka mau nikah, CLBK gitu!” balasnya dengan melengkungkan kedua ujung mulutnya membentuk senyuman. “Sketsa gaun pengantin yang aku cari itu, Itu buat pernikahan mereka yang gak lama lagi bakal digelar. Makanya saya tuh buru-buru mau menggarapnya biar pas waktunya. Soalnya mereka maunya gaun yang spesial, pokoknya waah gitu! Secara mereka ini pasangan yang fenomenal. Setelah Revan menyandang status duda, mereka balikan lagi,” ujar Bu Dian panjang lebar meskipun aku gak bertanya. Ceritanya membuat hatiku makin nyeri. “ Kenapa harus ayah dari anakku yang jadi saudara Bu Dian?” batinku.Ke mana lagi aku harus pergi biar lepas dari bayang-bayang Mas Revan. Tinggal di sini setiap hari harus melihat wajahnya di foto yang di pajang di dinding rumah ini. “Apa kamu mengenalnya?” tanya majikanku.“Ti-tidak, Bu, saya tidak mengenalnya, cuma tanya,” balasku dengan gugup tanpa mau cerita yang sebenarnya. “Oh, ya sudah, terima kasih ya, sudah bantu saya mencarikan sketsa ini,” jawabnya sambil menundukkan kepalanya menghadapku dengan senyuman.“Iya, Bu, sama-sama. Lalu Indira masuk ke kamarnya untuk istirahat. Secangkir gelas berisi minuman expresso panas tergeletak di sampingku. Sesekali kusruput perlahan. Sambil memijat-mijat dahiku yang agak berdenyut. Kubuka jendela kamarku, membiarkan masuk, angin malam yang sejuk. Kupandang lanskap langit hitam kelam tanpa bintang. Bulan purnama tak terlihat cahayanya malam ini karena ditutupi oleh awan yang berarakan. Sontak peristiwa beberapa waktu lalu telah menerpanya kembali. Tak tahu kenapa peristiwa itu bisa melintas lagi di pikirannya. Padahal, dia sudah berusaha menurunkan tirai untuk menutupi kelam maupun indahnya kenangan itu. Wajah lelaki yang pernah mengisi hatinya, berbayang-bayang di depan matanya. Senyuman yang menyejukkan hati, sorot mata yang teduh, suara yang mendamaikan kalbu. Penampilannya yang gagah dan keren tak bisa ia lupakan. Indira menutup matanya. Mencoba menghilangkan bayangan lelaki itu. Tetapi, tidak bisa, sia-sia belaka. Malah semakin jelas.“Apa aku harus pergi dari sini agar bisa melupakan Mas Revan?” batinnya.“Tuh, cewek kasihan banget ya, jidatnya sampai berdarah gitu,” cerita cewek yang lewat ke temannya.“Siapa suruh jadi pelakor, gue aja kalau jadi istrinya sudah kucakar-cakar wajahnya. Pake jilbab tapi kelakuan minus,” celetuk yang lainnya menimpali.Abi menajamkan pendengarannya agar suara mereka terdengar jelas. Dia takut kalau yang mereka ceritakan itu Indira karena sudah 15 menit ke toilet tapi belum kembali.Lalu lelaki tampan nan mapan itu bergegas ke toilet untuk mengecek kebenarannya. Ternyata memang benar, di toilet wanita terjadi keributan. Abi langsung menerobos kerumunan sambil netranya memutar mencari keberadaan kekasihnya.“Hentikaaaan!” teriaknya sambil memeluk tubuh kekasihnya dari belakang dan satu tangannya ke atas sebagai tanda menghalangi dari amukan mereka yang terprofokasi Kamila. Indira kini berada di pelukan sang kekasih sambil digandengnya keluar dari kerumunan.
“A—bi, ma—af, bu—kan mak ...,” Panji tak melanjutkan ucapannya karena Abi segera memotongnya.Abi tersenyum menatap Panji, wajahnya terlihat santai. Tak ada gurat emosi atau kecewa. Hari ini entah dapat angin dari mana, Abi menunjukkan sikap yang penyabar. Tak seperti biasanya yang gampang terpancing emosi dan cemburu. Justru sebaliknya, Indira begitu tegang dan gugup terlihat dari guratan dahinya serta netranya yang fokus memantau situasi.“Udah, santai aja. Aku gak marah, kok. Yang penting nanti kalau aku dan Indira sudah menikah, kamu jangan coba-coba meng-go-da-nya!” Abi menatap lekat wajah kekasihnya sambil tersenyum, tapi wanita cantik itu membalasnya dengan memasang wajah penuh tanya.“Ada apa dengan dia? Tumben banget sok bijak kayak gitu, apa jangan-jangan dia kesambet?” dalam hatinya penuh teka-teki.“Ma—af, Ji. Aku menganggapmu sebagai sahabat baikku, tidak lebih karena aku hanya menc
“Pi ..., kenapa anak kita belum pulang juga, ya? Apa di kantor lagi banyak kerjaan?” Wajah Mami terlihat tegang, netranya menyisir ke arah ruang tamu berharap putrinya muncul dari situ.“Eng—gak, hari ini gak terlalu sibuk. Apa mungkin dia pergi sama Abi, ya?” Papi berjalan mendekat ke arah istrinya sambil menyisir rambutnya yang terlihat tinggal separo tersisa di kepalanya.Mereka berdua panik, padahal malam ini mau ada pertemuan dua keluarga dari pihak Abi mau datang ke rumah Indira. Namun, sampai detik ini putrinya belum kunjung pulang dari kantornya.“Coba Papi telefon anak kita, dia lagi di mana?” Nyonya Sukma sambil berjalan bolak balik seperti Siti Hajar yang lagi mencari air dari bukit sofa ke bukit marwa dengan pikiran limbung.“Iya, tunggu sebentar,” Tuan Presdir mencoba menghubungi putrinya , tapi berkali-kali tak di angkat. Kemudian langsung menelefon Abi untuk menanyakan
Revan menatap Abi dengan tatapan gak suka, dia begitu cemburu saat melihat kebersamaannya seakan tak rela ada lelaki lain mendekati mantan istrinya. Lalu Revan mengajak berbicara empat mata di depan ruangan ibunya dirawat. Mereka berdiri berseberangan.“Gue mau loe jauhi Indira, karena gue mau mengajaknya rujuk demi Manaf!” Wajahnya begitu serius dan netranya nanar menatapnya.“Kalau gue gak mau, gimana?” Abi tersenyum tipis menanggapi ucapannya tanpa menatap ke arahnya.“Jangan nunggu gue berbuat kasar sama loe, gue gak main-main!” Matanya melotot ke arahnya dengan wajah merah menahan emosi seraya menunjuk satu jari ke wajahnya.“Dasar cowok aneh!” Abi tersenyum getir sambil menyalakan rokok yang ia keluarkan dari saku celana lalu menghisapnya.Buugg!!Seketika bogem mentah melayang ke wajah Abi, membuatnya terhunyung ke samping. Tak terima dengan sikap kasarnya, lalu Abi me
“Mas A_ bi? “ sapanya dengan menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Abi hanya tersenyum membalas panggilannya. Rona bahagia terpancar dari sorot mata dan wajah keduanya. Sekian minggu tak bertemu membuat keduanya memendam rindu yang membuncah, begitu tersiksanya karena terbelenggu oleh rindu.“Mas, kenapa ke sini? Kalau Papih sampai tahu bagaimana?” tanyanya dengan perasaan takut dan khawatir.“Tenang saja, tadi Mas sudah menemui papihmu dan ngomong baik-baik. Lalu Beliau sudah mengizinkan Mas untuk selalu menjaga dan mendampingimu, wanita cantik yang Mas sayangi,” balasnya seraya mencolek dagunya lalu menggenggam erat jemarinya dan netranya tak lepas menatapnya.Membuat wanita yang berhijab nan cantik itu tersipu malu hingga pipinya merona. Tak berselang lama, Pak Presdir lewat kemudian melihatnya dan langsung menghampirinya.“Ehemm .... “ Beliau tersenyum melihat keakraba
Tuan dan Nyonya Gunadi datang bersamaan ke kamar putrinya. Mereka hendak menanyakan sikapnya yang begitu cuek dan jutek tiap kali bertemu Revan. Kemudian mereka masuk setelah diizinkan olehnya. Lalu duduk bersama di sofa kamarnya.“Nak, kami mau tanya, apa kamu masih mencintai Revan, dan ingin kembali rujuk demi Manaf?” tanya mereka seraya menatap lekat putrinya.“Maaf, Mih, Pih, rasa cinta itu perlahan pudar seiring sikapnya yang sudah keterlaluan sama aku. Aku tidak bisa rujuk dengannya, hati ini masih sakit atas pengkhianatannya. Perlu kalian tahu, pipi ini sudah sering jadi sasaran kemarahannya. Dan aku berapa kali hampir diperk*s* oleh majikanku saat kerja jadi ART. Tak ada yang menolongku saat itu, aku menangis sendirian dalam ketakutan dan kepedihan hidup,” terangnya dengan linangan air mata dan netranya menyiratkan kesedihan yang mendalam.“Astaghfirulla