“Nanti ibu tambah kenceng teriaknya. Kasihan Lisa yang baru melahirkan, bayinya pasti kebangun lagi,” ucapku.
“Enggak apa sekali-kali. Kadang, ibu juga harus tahu jam. Masa jam segini mau ribut, Akang juga udah ngantuk banget.”
Bukannya aku tak mau dibela, tetapi rasanya dibela juga tak enak. Bukannya merasa menang, tetapi aku justru terganggu. Di luar kamar. Ibu masih saja tak berhenti mengomel meski sudah hampir 10 menit berlalu.
“Kang, bangun dulu!”
Saat itu Kang Dadan malah sudah tidur pulas. Mungkin, benar jika ia sudah lelah. Namun, aku yang tak terbiasa tidur dengan suara yang bising, justru merasa sangat terganggu karenanya.
Saat itu sadar, jika aku masih gelisah, akhirnya Kang Dadan mau membuka matanya.
“Kamu di sini aja, biar Akang yang keluar!”
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku juga sudah tak punya energi untuk menghadapi keluh kesah ibu di jam larut begini.
Dari dalam kamar, meski aku tak ingin mendegar percakapan mereka nyatanya suara ibu bahkan masih bisa tembus sampai ke telingaku.
“Sudah mulai enggak peduli kamu sama Ibu, Dan?”
“Apanya yang enggak peduli, ‘kan Dadan sama Yasmin masih tinggal serumah sama ibu. Kami cuma pergi sebentar, mau cari angin segar.”
“Ya kenapa enggak bilang dulu?”
“Memangnya ibu mau ikut? Dadan perginya pakai motor masa mau bonceng 3 nanti kena tilang.”
“Mana ada polisi yang nilang malam-malam.”
“Ya terus ibu mau bagaimana? Lagian ibu emang mau sempit-sempitan di motor bertiga?”
“Ya, bukan begitu. ‘Kan bisa kamu antar ibu duluan kayak waktu itu?”
“Aku lagi mau berduaan sama Yasmin.”
“Jadi, kamu udah enggak mau sama ibu lagi.”
“Bukan enggak mau, kami cuma pengen punya waktu berdua. Bukan berarti enggak sayang sama ibu. Memangnya dulu waktu ibu masih sama Ayah, nenek suka ikut ke mana-mana? Enggak ‘kan? Sudahlah Bu, jangan apa-apa dijadikan masalah. lama-lama nanti Yasmin enggak betah loh, tinggal di sini.”
“Memangnya dia bilang begitu sama kamu?”
“Ya siapa yang bakal betah kalau diomelin terus?”
“Ya, kalau mau pergi-pergi aja.”
“Kalau Yasmin pergi, itu artinya Dadan juga pergi Bu.”
“Ya, enggak bisa begitulah. Ini ‘kan rumah kamu. Ibu sengaja beli rumah ini buat kamu, biar kamu enggak perlu lagi beli rumah. Ibu cuma minta sekamar doang buat tidur. Kurang baik apa coba ibu sama kamu?”
“Ibu memang baik, tapi aku juga punya tanggung jawab sama Yasmin. Sudahlah kita enggak perlu lagi meneruskan obrolan ini. Harusnya ibu sadar, kalau bukan Yasmin, memangya anak perempuan ibu ada yang mau tinggal bareng? Enggak ada ‘kan? Ibu inget apa yang mereka bilang waktu itu?”
Saat itu aku tak bisa lagi mendengar percakapan mereka. Namun, sepertinya setelah pertanyaan itu, ibu langsung masuk ke kamar. Entah apa yang terjadi. Aku juga tak tahu apa yang dikatakan kakak iparku pada ibu[. Apakah itu sangat menyakitinya sehingga ibu langsung melarikan diri dan bahkan mengunci kamarnya.
Aku bisa tahu, karena saat itu aku memutuskan untuk keluar kamar, lantas mendengar suara kunci yang diputar.
~
“Ngambek lagi?” bisikku pelan.
“Enggak apa Sayang, kadang ibu memang harus diingetin. Biar tahu yang selama ini peduli sebenarnya cuma kamu.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya, sampai Kang Dadan kembali menarikku ke kamar setelah mengunci pintu yang saat itu masih terbuka lebar.
“Sudah enakkan perutnya?”
“Masih enek, tapi udah lumayan berkurang dari pada tadi.”
“Mau dikerikkin enggak?”
“Enggak usahlah, Akang pasti ngantuk.”
“Enggak kok, sini kalau enggak mau dikerik. Dipijet aja!”
Pria itu selalu saja memaksa, tapi sepertinya ia sudah hafal dengan kebiaasaanku yang tak suka kerikkan. Jadi, biasanya Kang Dadan hanya memijat bagian leher sampai ke punggung.
Setelah dipijat bukannya bisa tidur, perutku malah makin mual. Akhirnya saat itu harus kembali muntah. Ini pasti, karena terlalu banyak makan camilan saat di luar. Namun, setelah memuntahkan semuanya. Perutku merasa lebih baik.
Setidaknya saat itu aku bisa lekas tertidur.
Esok harinya Kang Dadan benar-benar menepati janji. Ia yang bangun lebih awal, tampak tengah menelepon Teh Dewi.
“Teh bisa enggak minggu depan ke sini. Dua minggu aja gantian jaga ibu,” ucapnya.
Entah apa yang diucapkan Teh Dewi diujung telepon, sampai suamiku terlihat memohon.
“Kalau, enggak begini aja. Nanti aku antar ibu ke rumah teteh, tapi tolong jangan bilang aku mau ke Bali. Teteh tahu sendirilah!”
Cukup lama pria itu terdiam mendengarkan lawan bicaranya. Hingga dari balik cermin aku bisa melihat priaku tersenyum begitu lega.
“Makasih, Teh.”
~
“Akang!”
“Eh, sudah bangun?”
“Hm, baru aja.”
“Dek, Teh Dewi mau dititipin, tapi nanti kita yang anterin ibu ke sana.”
“Oh gitu, terserah Akang saja.”
Di antara ketiga kakak perempuan Kang Dadan. Teh Dewi memang yang paling pendiam. Meski, sebelumnya hubungan kami juga tak terlalu dekat, tetapi jika di malam lebaran semua keluarga kumpul. Hanya wanita inilah yang mau membantuku meski, hanya mencuci piring.
Sikapnya yang ketus dan irit bicara. Membuat siapa saja menjadi merasa sungkan, tetapi bagiku dia yang paling bisa diandalkan diantara yang lainnya.
“Teh Dewi ‘kan masih punya balita. Mana ada 3. Emang enggak ngerepotin.”
“Enggak apa, dia udah nyanggupin kok. Oh ya, hari ini siap-siap ya, kita ma uke showroom mobil yang di kota. Pakai jaket yang tebel biar enggak masuk angin!” katanya.
“Kang, kita ke Bali pakai mobil?”
“Iya, sambil menikmati perjalanan aja.”
“Mobil baru udah dipakai jauh aja, enggak sayang?”
“Nanti kita ke sananya enggak perlu buu-buru. Sekalian jalan-jalan aja!”
Selanjutnya, aku hanya tertawa mendengarkan, bagaimana Kang Dadan menceritakan kebiasaannya saat pulang kampung bersama kawannya dulu. Mengunjungi tempat wisata lebih dulu! Lalu, mampir ke tempat-tempat dengan pemandangan yang bagus. Setelah itu barulah pulang, sampai-sampai mereka hanya punya sedkit waktu untuk pulang ke kampung halaman. Dan sekarang ia malah ingin mengulang pengalaman yang menyenangkan itu bersamaku.
Tanpa memikirkan bagaimana reaksi ibunya nanti. Kupikir dia terlalu nekat.
“Kok kamu enggak kerja, Dan?”
Melihat Dadan yang terlihat berdandan santai, tak seperti biasanya jika ia akan pergi ke toko. Membuat Ibu penasaran.
Sejak menikah dan memutuskan tinggal di desa, ia memutuskan untuk membangun sebuah toko grosiran yang berada di desa sebelah.
“Mau keluar sebentar.”
“Mau ke mana lagi memangnya semalam belum puas?”
“Ibu kenapa sih? Kalau mau ikut hayu bonceng bertiga. Aku lagi buru-buru soalnya enggak bisa kalau harus bolak-balik angkut.”
“Memangnya mau ke mana? Mau ngapain? Heran bukannya kerja, malah jalan-jalan terus. Pastikan jalan-jalan cuma ngabisin uang.”
“Dadan mau main ke rumah Bapak, kalau mau ikut ya sudah ayo!” ucap Kang Dadan.
Jujur saja aku cukup terkejut, kenapa juga ia harus berbohong. Padahal, kami tak mau ke sana.
“Enggak usah!”
Saat itu Ibu langsung pergi ke dapur. Sementara, kami memutuskan untuk langsung pergi saat itu juga.
“Kenapa harus bohong, pakai bilang mau ke rumah Bapak?”
“Memangnya kamu mau bonceng 3?”
“Sempitlah, Kang!”
“Ya udah, nanti pulangnya kita mampir makan bakso di warung Bapak.”
“Oke.”
Mertuaku memang sudah bercerai, entah kapan. Yang jelas sebelum menikah ibu sudah sendirian.
“Milih mobilnya jangan yang mahal-mahal ya,” ucap bisik Kang Dadan sambil terkekeh pelan.
“Lagian Akang malah ngajak aku ke sini.”
“Ya, enggak apa-apa lagian uang Akang udah kebanyakan.”
“Astaghfirrullah, sombong banget!”
Akhirnya setelah mempertimbangkannya, pilihan kami jatuh pada Mitsubishi Expander.
Setelah menyelesaikan pembayaran, untuk menepati janji kami mampir ke warung bakso milik bapak mertua. Sejujurnya dibandingkan ibu, aku lebih akrab dengan istri dari Bapak mertuaku. Sikapnya hangat dan lembut. Kali ini, ia bahkan mempersilahkan aku mengambil sendiri baksonya.
Yang lebih membuat kami jadi tak enak hati, mereka selalu menolak untuk dibayar. Jadi mau tidak mau kami selalu main drama paksa-memaksa. Kadang-kadang kami juga harus sampai menyelipkan uang di antara tumpukan buah atau kue yang kami bawa. Kalau, tidak mereka pasti akan menolak, bahkan mengembalikkannya.
“Neng Yasmin, ibu masih suka ngomel sama kamu?” tanya Bapak, saat Kang Dadan sedang pergi ke toilet.
“Ya, begitulah.”
“Yang sabar, ya. Kalau, kamu enggak kuat enggak apa bilang aja sama Dadan.”
“Iya, Pak.”
“Jangan dipendem sendiri, enggak baik juga buat kesehatan. Bisa jadi penyakit!”
Setelah berpamitan kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah.
“Kalau mobilnya datang, bagaimana reaksi Ibu ya?” tanyaku.
“Harusnya bangga anaknya sudah bisa beli mobil.”
Ternyata mobilnya baru akan dikirim esok hari. Lagi-lagi Kang Dadan memilih untuk tak berangkat ke toko. Pria itu rupanya sangat antusias dengan kedatangan kendaraan roda empatnya.
Namun, sayangnya gara-gara dia mogok kerja. Aku juga yang disalahkan.
“Kamu jadi istri itu, harusnya bisa ignatin suaminya. Masa 2 hari dia enggak kerja. Jangan bilang hari ini mau jalan-jalan lagi.”
“Iya, lain kali aku bilang ke Kang Dadan.”
Aku hanya tak ingin berdebat, dari pada beragumen panjang lebar lebih baik mengiyakan maunya. Untunglah saat itu keributan di luar rumah membuat Ibu yang berada di dapur mendadak berlari ke depan.
Ternyata mobil kami telah datang.
“Loh, mobilnya siapa ini, kok diturunin di sini?” teriak Ibu yang tak terima ada mobil yang menghalangi jalan ke rumahnya.
“Oh, ini mobilnya Bu Elnara Yasmin. Benar ‘kan ya, ini rumahnya?”
“Kamu beli mobil, Yasmin?” tanya Ibu yang tak percaya.
“Dibeliin Kang Dadan.”
Kau tahu saat itu aku bisa melihat wajah ibu merah padam. Bahkan ia memilih masuk di saat orang-orang di luar masih berteriak meminta saweran. Kebiasaan daerah sini, memang kalau ada yang membeli kendaraan katanya harus disawer. Namun, saat itu aku memilih menundanya. Bukan apa-apa, aku hanya tak nyaman dengan wajah ibu yang tak enak dipandang itu.
“Kamu beliin mobil istrimu enggak diskusi dulu sama Ibu?” ucap Ibu, begitu Kang Dadan baru saja menyelesaikan dokumen yang harus ia tandatangani.
“Belinya juga dadakan, Bu.”
“Kamu kalau sama ibu aja enggak pernah segitunya. Kenapa sama istrimu yang bahkan sampai sekarang aja belum bisa ngasih keturunan buat kamu bisa sampai beliin dia mobil.”
“Astaghfirrullah Bu, apa sih yang enggak Dadan kasih buat Ibu selama ini.”
“Ya emang apa yang pernah kamu kasih, yang ada Ibu yang ngasih jor-joran sama kamu. Rumah aja ibu kasih sama kamu.”
“Udah Bu, jangan siterusin lagi.”
“Kenapa biar kamu itu sadar, jangan cuma perempuan aja yang kamu pikirin?”
“Sebenarnya Dadan enggak mau bahas ini, tapi kenapa Ibu selalu mengungkit-ungkit terus. Dulu waktu Ibu kelilit hutang gara-gara di tawarin Bi Juni investasi bodong. Rumah ini hampir aja disita bank. Memangnya dulu siapa yang bayarin angsurannya sampai lunas, kalau bukan Dadan? Tanah yang ibu gadaikan ke bank juga. Dadan bela-belain enggak nikah-nikah buat ngelunasin hutang ibu, tapi kenapa ibu selalu bilang Dadan perhitungan? Kurang apa sih, Dadan sama Ibu?"
Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern
Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se
“Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m
“Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f
Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa
Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas