AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH

AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH

By:  ERIA YURIKA  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating
62Chapters
43.5Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Jangan lupa subscribe ya, biar enggak ketinggalan update bab selanjutnya Ada kalimat yang sampai hari ini masih kuingat. Kupikir rasanya sudah tertanam di benakku. Suatu hari aku mendengar ibu tengah bergosip di warung sayur, hingga kemudian aku datang untuk membeli beberapa bumbu masak yang kurang, wanita itu berkata dengan lantangnya sambil bekacak pinggang. “Duh saya punya menantu kayak sampah!” ucap ibu kala itu. sontak saja semua orang di sana tercengang, tetapi bukannya meminta berhenti. Mereka malah semakin memancing ibu untuk bercerita banyak hal. “Loh kok bisa, Bu? Eh, orang cantik gitu, dibilang sampah, bagaimana sih Bu!” “Alah cantik doang buat apa kalau nyapu enggak bersih, mana ngepel aja maju! Keinjek lagi dong lantainya! Haduh saya tuh tiap hari saya sampai pakai koyo, punya mantu bukannya tambah enak. Malah capek, rumah saya yang bersihin, masak aja sama saya. Dia mana bisa masak? Sekalinya masak malah nyuruh suaminya. Ih najis banget! Bisa-bisanya si Dadan nyari istri yang enggak bisa ngapa-ngapain. Padahal, saya berharapnya Dadan nikah sama Nining, dia juga cantik, pintar masak. Bisa nandur di sawah, angon bebek juga tuh lihat anakannya sudah besar-besar. Lah ini, malah dapet orang kota, saban hari kerjanya maen hp!”

View More
AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
default avatar
ilmupustaka.19
seru neh thor... lanjuutt...
2023-02-16 17:43:13
0
62 Chapters
Bab 1
“Bisa enggak sih bilangin sama istrimu kalau mau nyuci jangan pakai banyak air. Boros tahu enggak, sudah tahu air mahal. Besok-besok kalau cuci sedikit, pakai tangan aja. Heran enggak bisa banget diajak susah! Apa-apa pengennya pakai mesin.”Aku baru saja datang dari warung tetangga, tetapi suara ibu yang lantang bahkan terdengar dari tetangga yang jaraknya dua rumah. Sekarang orang-orang yang saat itu tengah berkerumun di rumah Endah, tetangga sebelah rumah jadi menatapku dengan canggung, aku hanya tersenyum mengangguk sebentar, lalu kembali meneruskan langkah.Sudah hal biasa Ibu mertuaku berteriak-teriak menyindirku. Namun, meski begitu tetap saja rasanya sakit.“Lain kali aku akan cuci manual, maaf,” ucapku yang membuat Ibu mertuaku terdiam.Sambil menata beberapa sayuran yang baru saja aku beli. Kang Dadan menghampiriku dan mulai memberikan pengertian untuk ke sekian kali.“Ngalah aja ya Dek, ibu sudah tua. Kadang apa aja dikomplen, aku aja dulu begitu dari kecil sampai tua segin
Read more
Bab 2
Saat itu aku bisa melihat kebimbangan di wajah Kang Dadan. Aku hanya bisa mendecak, sambil membalikkan badan. Aku sudah tak peduli dia mau membelaku atau ibunya. Aku hanya ingin kedamaian walau hanya beberapa jam saja. Saat itu aku memilih membalikkan badan, meneruskan memetik sayuran yang akan dimasak pagi ini. Sampai terdengar derap langkah seseorang yang semakin menjauh, aku hanya bisa tersenyum miris. Entah siapa yang menciptakan kalimat, yang muda harus ngalah pada orang tua. Rasanya aku sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Setengah jam berlalu, masakanku telah tersaji di meja makan. Namun, sepertinya Kang Dadan belum berhasil membujuk ibunya yang merajuk. Dari arah dapur saja, masih terdengar ketukan pintu yang terus menerus. Seperti biasa, jika salah dan tertangkap basah, jangan berharap ia akan meminta maaf. Bahkan mengakuinya saja, itu adalah hal paling mustahil. Kau tahu siapa yang harus minta maaf? Akulah orangnya, lucu bukan? tapi, beginilah kenyataannya. Hari i
Read more
Bab 3
Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang. “Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”“
Read more
Bab 4
“Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”“Sama ibulah, sama siapa lagi?”“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”“Atuh kenapa enggak pulang?”“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”“Terus ibu sendirian?”“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”“Alasannnya apa?”“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu baga
Read more
Bab 5
“Nanti ibu tambah kenceng teriaknya. Kasihan Lisa yang baru melahirkan, bayinya pasti kebangun lagi,” ucapku.“Enggak apa sekali-kali. Kadang, ibu juga harus tahu jam. Masa jam segini mau ribut, Akang juga udah ngantuk banget.”Bukannya aku tak mau dibela, tetapi rasanya dibela juga tak enak. Bukannya merasa menang, tetapi aku justru terganggu. Di luar kamar. Ibu masih saja tak berhenti mengomel meski sudah hampir 10 menit berlalu.“Kang, bangun dulu!”Saat itu Kang Dadan malah sudah tidur pulas. Mungkin, benar jika ia sudah lelah. Namun, aku yang tak terbiasa tidur dengan suara yang bising, justru merasa sangat terganggu karenanya.Saat itu sadar, jika aku masih gelisah, akhirnya Kang Dadan mau membuka matanya.“Kamu di sini aja, biar Akang yang keluar!”Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku juga sudah tak punya energi untuk menghadapi keluh kesah ibu di jam larut begini.Dari dalam kamar, meski aku tak ingin mendegar percakapan mereka nyatanya suara ibu bahkan masih bisa
Read more
Bab 6
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Read more
Bab 7
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah e
Read more
Bab 8
  “Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.” “Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.” “Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.” “Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi.  Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku. “Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?” “Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk
Read more
Bab 9
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
Read more
Bab 10
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Read more
DMCA.com Protection Status