Share

Bab 4

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-03 15:31:31

“Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.

“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”

“Sama ibulah, sama siapa lagi?”

“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”

“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”

“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”

“Atuh kenapa enggak pulang?”

“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”

“Terus ibu sendirian?”

“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”

“Alasannnya apa?”

“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”

Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu bagaimana sikap dan kesebiasaan keluarga suamiku sebelum menikah. Setidaknya mungkin aku bisa berpikir ulang. Dulu sikap Ibu memang sangat lemah lembut. Namun, seiring waktu tinggal bersama sikap aslinya lama-lama berubah juga.

“Kalau kalian anak-anaknya saja enggak sanggup dekat-dekat sama ibu, kenapa malah minta aku buat serumah?”

“Akang juga sebenarnya enggak mau bikin kamu tinggal serumah. Cuma gimana lagi?”

“Karena, nama rumah itu sudah berubah jadi milik Akang, ‘kan?”

“Enggak tahu juga kenapa Ibu malah ngasih rumah itu atas nama Akang. Ini tuh jadi kayak semua tanggungjawabnya dilimpahin ke Akang. Anak ibu yang lain sudah seperti lepas tangan. Di sisi lain, Akang seneng karena bisa ngurus ibu, tapi tiap kali lihat kamu yang kecapekkan jadi ngerasa bersalah banget.”

“Akang tahu apa yang bikin aku kuat sampai hari ini?”

“Apa?”

“Sikap Akang yang lemah lembut, enggak pernah marah. Juga enggak pernah perhitungan sama istri.”

“Uang yang Akang hasilkan ini sedikit, mungkin juga enggak ada apa-apanya sama gaji kamu waktu kita belum nikah dulu.”

Gajiku dulu rata-rata 20jutaan perbulan, sebagai manager sebuah hotel yang cukup ternama di Bali.

“Kamu pasti nyesel banget nikah sama Akang.”

“Enggak kok.”

Saat itu tiba-tiba saja, Kang Dadan menyentuh lenganku. Ia bahkan turut mengecupnya dengan lembut.

“Bisa enggak Akang minta sama kamu, buat jangan pernah ninggalin Akang sendirian.”

“Aku enggak bisa janji?”

“Kenapa?”

“Kalau Akang selingkuh, aku enggak maulah nemenin lagi.”

“Mana mungkin punya istri kayak bidadari, diselingkuhin. Rugi dunia akhirat , namanya.”

“Gombal.”

“Besok kita ke showroom, ya? Abis itu, nanti baru pulang.”

“Yakin, bakal ninggalin ibu sendirian?”

“Nanti Akang telepon Mbak Dewi buat gentian jaga Ibu.”

“Kalau tiba-tiba di tengah jalan di telepon? Mau balik lagi?”

“Enggak, ‘kan mau anter istri mudik.”

“Akang beli mobil buat apa? Aku rasa kita belum butuh. Mending ditabung buat keperluan yang lain.”

“Akang malu lah Yas, masa udah 6 tahun enggak mudik, tapi masih gini-gini aja.”

“Ayah sama ibu enggak akan punya pikiran begitu. Bagaimana pun keadaan kita, mereka pasti menerima Akang dengan baik.”

“Akang pengen nunjukkin ke mereka, kalau Akang memang layak jadi mantunya. Masa anaknya yang dari kecil disayang, enggak pernah dibiarin kepanasan. Pas nikah malah cuma bisa naik motor.”

“Ya Allah, Kang.”

Entah kenapa dia selalu ingin membuatku bahagia. Jujur saja selama ini pria ini memang selalu menuruti apa keinginanku kecuali satu. Pindah dari rumah ini. bukan ia tak mau, hanya saja keadaan yang memaksa kami untuk tetap bertahan.

Sekali pernah kami memutuskan untuk pergi, tetapi baru seminggu ibu malah ditemukan pingsan di kamar mandi. Parahnyatak ada satu pun saudara dari suamiku yang datang berkunjung.

Hanya Mbak Dewi yang saat itu mau menemuinya. Walau hanya 2 hari saja, karena ia juga memiliki 2 balita, yang sedang aktif-aktifnya. Apa lagi saat itu ia juga tengah mengandung.

Melihatnya begitu kerepotan. Pada akhirnya kami kembali ke rumah itu lagi, sampai hari ini.

Sebelum menikah, tabungan Kang Dadan memang banyak sekali. Aku sendiri takjub dengannya. Sebagai staff di hotel, ia cukup pandai mengatur keuangan. 

Aku bisa tahu, karena di sana juga ada aku. Di antara pekerja di sana hanya kami yang memilih menepi setiap habis acara makan-makan, karena biasanya setelah selesai teman-teman yang lain pergi karaoke, atau minum-minum. Hanya ia seorang yang menolak untuk ikut. dari sanalah apada akhirnya kami mulai saling bicara, menjadi semakin dekat, lantas memutuskan menikah sampai hari ini.

~

Mlaam itu, karena terlalu asyik mencoba wahana di pasar malam. Kami baru sampai rumah pada pukul 12 malam. Saat itu sebelum, pulang kami memang menyempatkan diri untuk mampir ke tempat lain. Kang Dadan benar-benar membuat perutku sampai begah. Ia kami mencoba banyak sekali camilan yang saat itu katanya sedang viral.

Konyolnya kami juga membeli baju couple yang bertuliskan Akang dan Neng. Ya, pria itu selalu ingin memanggilku Neng, sayangnya aku yang tidak mau. Kurasa itu seperti mengubah nama. Meski seringkali ia suka memaksa memanggilku dengan sapaan seperti itu. Katanya panggilan sayang, tapi bahkan nama anak tetanggaku saja Neng. Entah siapa yang benar.

Di perjalanan pulang aku baru sadar jika dari tadi ibu tak menelepon kami. Padahal biasanya kalau kami keluar agak lama sedikit. Ia selalu saja meminta kami untuk segera pulang.

“Kang, kok tumben ibu enggak telepon?”

“Hp Akang kayaknya ketinggalan. Emang ibu enggak telepon kamu?”

Aku buru-buru mengecek ponsel di dalam tas. Namun, sepertinya ponselku mati total.

“Hp aku lowbet ternyata,” ucapku.

Kang Dadan hanya mengusap kepalaku dengan lembut. lantas, ia juga memakaikan hoodie ke kepala.

“Pulang sekarang ya, udah malam banget. Takut ada begal di jalan.”

“Loh, emang ada? Kenapa enggak bilang dari tadi. Hayu pulanglah!”

Bukannya panik, pria itu malah terkekeh. Ini begal loh, bisa-bisanya dia menertawakan hal seserius ini.

“Pegangan yang kenceng! Mau ngebut soalnya!”

“Gak usah peganganlah! Malu kalau ketemu tetangga, nanti suka buat omongan.”

Aku memang tak pernah memeluk suamiku saat berboncengan motor. Bukan apa-apa hanya saja sangat menyebalkan jika hal semacam itu malah jadi buah bibir tetangga rumahku yang senang sekali bergosip. Meskipun, nyatanya kami suami istri. Namun, entah mengapa mereka mencemoohnya.

Baru saja sampai rumah, kami sudah di sambut dengan wajah ibu yang merah padam. Sorot matanya yang tajam, juga wajahnya yang ditekuk, membuat kami jadi tak enak sendiri.

“Udah puas mainnya? Kenapa enggak sekalian pulang pagi aja!”

“Bu, masuk dulu! Jangan teriak malam-malam. Enggak enak sama tetangga.”

“Ya, biarin aja. Orang aku ngomong di rumah sendiri kok!” ucapnya yang selalu tak ingin kalah.

“Ya udah terserah ibu, sayang masuk ayo! Ngapain di luar aja katanya dingin.”

Ya Tuhan, sudah tahu ibunya cemburu kenapa dia malah menunjukkan perhatiannya padaku. Tak cukup sampai situ, suamiku bahkan menarikku yang masih tak percaya dengan sikapnya yang tak seperti biasanya. 

Kupikir dia akan menyenggol bahuku, supaya aku mau berbesar hati meminta maaf pada ibu, seperti biasanya. Namun, kali ini entah kenapa dia berbeda.

“Emang enggak bisa kalian pamit dulu kalau mau keluar?”

“Kalau ibunya ada di rumah kita juga pasti pamit. Udah ya Bu, Dadan capek banget kalau mau marah besok aja. Biarin kita istirahat dulu!”

“Kang, enggak apa-apa kita begini?”

“Kamu itu lagi masuk angin, tadi aja sampe muntah-muntah di jalan. Masa mau dimarah-marahin lagi. Udah masuk aja, besok biar jadi urusan Akang!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 62

    Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 61

    Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 60

    “Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 59

    “Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 58

    Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   BAB 57

    Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status