Share

Bab 4

“Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.

“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”

“Sama ibulah, sama siapa lagi?”

“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”

“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”

“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”

“Atuh kenapa enggak pulang?”

“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”

“Terus ibu sendirian?”

“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”

“Alasannnya apa?”

“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”

Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu bagaimana sikap dan kesebiasaan keluarga suamiku sebelum menikah. Setidaknya mungkin aku bisa berpikir ulang. Dulu sikap Ibu memang sangat lemah lembut. Namun, seiring waktu tinggal bersama sikap aslinya lama-lama berubah juga.

“Kalau kalian anak-anaknya saja enggak sanggup dekat-dekat sama ibu, kenapa malah minta aku buat serumah?”

“Akang juga sebenarnya enggak mau bikin kamu tinggal serumah. Cuma gimana lagi?”

“Karena, nama rumah itu sudah berubah jadi milik Akang, ‘kan?”

“Enggak tahu juga kenapa Ibu malah ngasih rumah itu atas nama Akang. Ini tuh jadi kayak semua tanggungjawabnya dilimpahin ke Akang. Anak ibu yang lain sudah seperti lepas tangan. Di sisi lain, Akang seneng karena bisa ngurus ibu, tapi tiap kali lihat kamu yang kecapekkan jadi ngerasa bersalah banget.”

“Akang tahu apa yang bikin aku kuat sampai hari ini?”

“Apa?”

“Sikap Akang yang lemah lembut, enggak pernah marah. Juga enggak pernah perhitungan sama istri.”

“Uang yang Akang hasilkan ini sedikit, mungkin juga enggak ada apa-apanya sama gaji kamu waktu kita belum nikah dulu.”

Gajiku dulu rata-rata 20jutaan perbulan, sebagai manager sebuah hotel yang cukup ternama di Bali.

“Kamu pasti nyesel banget nikah sama Akang.”

“Enggak kok.”

Saat itu tiba-tiba saja, Kang Dadan menyentuh lenganku. Ia bahkan turut mengecupnya dengan lembut.

“Bisa enggak Akang minta sama kamu, buat jangan pernah ninggalin Akang sendirian.”

“Aku enggak bisa janji?”

“Kenapa?”

“Kalau Akang selingkuh, aku enggak maulah nemenin lagi.”

“Mana mungkin punya istri kayak bidadari, diselingkuhin. Rugi dunia akhirat , namanya.”

“Gombal.”

“Besok kita ke showroom, ya? Abis itu, nanti baru pulang.”

“Yakin, bakal ninggalin ibu sendirian?”

“Nanti Akang telepon Mbak Dewi buat gentian jaga Ibu.”

“Kalau tiba-tiba di tengah jalan di telepon? Mau balik lagi?”

“Enggak, ‘kan mau anter istri mudik.”

“Akang beli mobil buat apa? Aku rasa kita belum butuh. Mending ditabung buat keperluan yang lain.”

“Akang malu lah Yas, masa udah 6 tahun enggak mudik, tapi masih gini-gini aja.”

“Ayah sama ibu enggak akan punya pikiran begitu. Bagaimana pun keadaan kita, mereka pasti menerima Akang dengan baik.”

“Akang pengen nunjukkin ke mereka, kalau Akang memang layak jadi mantunya. Masa anaknya yang dari kecil disayang, enggak pernah dibiarin kepanasan. Pas nikah malah cuma bisa naik motor.”

“Ya Allah, Kang.”

Entah kenapa dia selalu ingin membuatku bahagia. Jujur saja selama ini pria ini memang selalu menuruti apa keinginanku kecuali satu. Pindah dari rumah ini. bukan ia tak mau, hanya saja keadaan yang memaksa kami untuk tetap bertahan.

Sekali pernah kami memutuskan untuk pergi, tetapi baru seminggu ibu malah ditemukan pingsan di kamar mandi. Parahnyatak ada satu pun saudara dari suamiku yang datang berkunjung.

Hanya Mbak Dewi yang saat itu mau menemuinya. Walau hanya 2 hari saja, karena ia juga memiliki 2 balita, yang sedang aktif-aktifnya. Apa lagi saat itu ia juga tengah mengandung.

Melihatnya begitu kerepotan. Pada akhirnya kami kembali ke rumah itu lagi, sampai hari ini.

Sebelum menikah, tabungan Kang Dadan memang banyak sekali. Aku sendiri takjub dengannya. Sebagai staff di hotel, ia cukup pandai mengatur keuangan. 

Aku bisa tahu, karena di sana juga ada aku. Di antara pekerja di sana hanya kami yang memilih menepi setiap habis acara makan-makan, karena biasanya setelah selesai teman-teman yang lain pergi karaoke, atau minum-minum. Hanya ia seorang yang menolak untuk ikut. dari sanalah apada akhirnya kami mulai saling bicara, menjadi semakin dekat, lantas memutuskan menikah sampai hari ini.

~

Mlaam itu, karena terlalu asyik mencoba wahana di pasar malam. Kami baru sampai rumah pada pukul 12 malam. Saat itu sebelum, pulang kami memang menyempatkan diri untuk mampir ke tempat lain. Kang Dadan benar-benar membuat perutku sampai begah. Ia kami mencoba banyak sekali camilan yang saat itu katanya sedang viral.

Konyolnya kami juga membeli baju couple yang bertuliskan Akang dan Neng. Ya, pria itu selalu ingin memanggilku Neng, sayangnya aku yang tidak mau. Kurasa itu seperti mengubah nama. Meski seringkali ia suka memaksa memanggilku dengan sapaan seperti itu. Katanya panggilan sayang, tapi bahkan nama anak tetanggaku saja Neng. Entah siapa yang benar.

Di perjalanan pulang aku baru sadar jika dari tadi ibu tak menelepon kami. Padahal biasanya kalau kami keluar agak lama sedikit. Ia selalu saja meminta kami untuk segera pulang.

“Kang, kok tumben ibu enggak telepon?”

“Hp Akang kayaknya ketinggalan. Emang ibu enggak telepon kamu?”

Aku buru-buru mengecek ponsel di dalam tas. Namun, sepertinya ponselku mati total.

“Hp aku lowbet ternyata,” ucapku.

Kang Dadan hanya mengusap kepalaku dengan lembut. lantas, ia juga memakaikan hoodie ke kepala.

“Pulang sekarang ya, udah malam banget. Takut ada begal di jalan.”

“Loh, emang ada? Kenapa enggak bilang dari tadi. Hayu pulanglah!”

Bukannya panik, pria itu malah terkekeh. Ini begal loh, bisa-bisanya dia menertawakan hal seserius ini.

“Pegangan yang kenceng! Mau ngebut soalnya!”

“Gak usah peganganlah! Malu kalau ketemu tetangga, nanti suka buat omongan.”

Aku memang tak pernah memeluk suamiku saat berboncengan motor. Bukan apa-apa hanya saja sangat menyebalkan jika hal semacam itu malah jadi buah bibir tetangga rumahku yang senang sekali bergosip. Meskipun, nyatanya kami suami istri. Namun, entah mengapa mereka mencemoohnya.

Baru saja sampai rumah, kami sudah di sambut dengan wajah ibu yang merah padam. Sorot matanya yang tajam, juga wajahnya yang ditekuk, membuat kami jadi tak enak sendiri.

“Udah puas mainnya? Kenapa enggak sekalian pulang pagi aja!”

“Bu, masuk dulu! Jangan teriak malam-malam. Enggak enak sama tetangga.”

“Ya, biarin aja. Orang aku ngomong di rumah sendiri kok!” ucapnya yang selalu tak ingin kalah.

“Ya udah terserah ibu, sayang masuk ayo! Ngapain di luar aja katanya dingin.”

Ya Tuhan, sudah tahu ibunya cemburu kenapa dia malah menunjukkan perhatiannya padaku. Tak cukup sampai situ, suamiku bahkan menarikku yang masih tak percaya dengan sikapnya yang tak seperti biasanya. 

Kupikir dia akan menyenggol bahuku, supaya aku mau berbesar hati meminta maaf pada ibu, seperti biasanya. Namun, kali ini entah kenapa dia berbeda.

“Emang enggak bisa kalian pamit dulu kalau mau keluar?”

“Kalau ibunya ada di rumah kita juga pasti pamit. Udah ya Bu, Dadan capek banget kalau mau marah besok aja. Biarin kita istirahat dulu!”

“Kang, enggak apa-apa kita begini?”

“Kamu itu lagi masuk angin, tadi aja sampe muntah-muntah di jalan. Masa mau dimarah-marahin lagi. Udah masuk aja, besok biar jadi urusan Akang!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status