Share

Bab 6

“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.

Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.

“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”

Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.

Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibunya. Entah kehidupan seperti apa yang dia lewati selama ini. 

~

“Akang.”

“Maafin Akang, enggak bisa ngendaliin emosi. Kamu pasti takut.”

“Enggak kok, aku cuma kaget aja.”

“Dulu Ibu itu suka banget ikut investasi. Awalnya memang berhasil sampai kebeli tanah segala, tapi semakin ibu taruh investasi yang besar-besar Bi Juni malah tiba-tiba kabur gitu aja.”

“Akang sebenarnya malu, kamu jadi harus tahu semua ini.”

“Aku malah bangga sama Akang.”

“Apanya yang dibanggain? Kamu tahu dulu sebelum kerja di hotel, Akang kerjanya kuli bangunan. Untung aja pas itu ketemu Pak Jeff, dia puas sama kinerja Akang. Makanya, dia terus pakai Akang buat bangun rumahnya. Sampai suatu hari karena lihat Akang pandai bersih-bersih kamar, dia malah minta Akang buat gantiin staf hotel yang saat itu kecelakaan.”

“Terus pas staf itu sudah sehat, Akang kembali kerja bangunan?”

“Enggak, Akang tetap kerja di hotel. Cuma statusnya magang. Soalnya pas itu kejraan di proyeknya sudah selesai, ‘kan hotelnya juga sudah jadi. Rezeki Mah enggak ada yang tahu ya, tahu enggak saat itu Akang malah dikuliahin sama Pak Jeff.”

“Kok bisa?”

“Iya gara-gara Akang bisa ngehandle tamunya yang orang jepang.”

“Lah, Akang bisa Bahasa jepang?”

“Akang ‘kan dulu sekolah pelayaran.”

“Oh iya? Dari pelayaran malah jadi perhotelan?”

“Rezeki masa ditolak?”

“Akang keren banget.”

“Yang keren mah kamu, mau-mauan nikah sama orang susah kayak Akang. Padahal, di luar sana pasti banyak yang ngejar kamu ‘kan?”

“Banyak, tapi enggak pernah ada yang berani ngajakin nikah. Kebanyakan malah ngajak pacaran.”

“Dek, mulai hari Akang janji enggak akan biarin kamu sedih lagi.”

Aku tidak yakin, kalau kamu bisa menepati janji, jika sikap ibu masih terus saja seperti ini. Aku sendiri bahkan mulai ragu, masih bisa bertahan atau tidak.

“Akang berterima kasih banget sama Pak Jeff, kalau bukan karena dia Akang enggak akan pernah nemuin bidadari cantik.”

“Ih, gombal!”

“Serius juga.”

“Kalau aku ini bidadari terus Akang ini apa? Jaka Tarub?”

“Bisa aja kamu.”

“Sudah enggak marah lagi, ‘kan?”

“Ck, udah enggak.”

Alhamdulillah.

“Bagaimana Akang enggak tambah cinta sama kamu. Bahkan, kamu tahu banget bagaimana caranya menangani orang yang emosi.”

Lagi-lagi pria itu memegang tanganku. Kali ini bahkan ia menidurkan kepalanya di telapak tangan milikku.

“Akang enggak kebayang kalau kamu enggak ada di sini. Mau jadi Akang tanpa kamu?”

“Ya tetep jadi orang.”

“Ih, diajak serius malah bercanda.”

“Lagian Akang, abis marah-marah malah ngegombal.”

“Ini bukan ngegombal, tapi lagi mikirin masa depan.”

“Oh ya?”

“Walau begini Akang juga kepikiran masa depan kita nanti. Akang sebetulnya sudah mulai jenuh. Semakin ke sini sikap ibu sudah semakin kekanak-kanakkan. Kamu bayangin aja tadi pagi, kalau enggak bohong kita masa mau pergi bonceng 3.”

Entah kenapa bukannya kesal, aku malah tertawa. Aku hanya terbayang jika kami bertiga jadi berboncengan dalam satu motor.

Sampai tiba-tiba aku baru menyadari jika sedari tadi Kang Dadan tengah memperhatikanku dari arah yang cukup dekat.

“Bukannya mikir malah ketawa. Tapi, seneng deh lihat kamu ketawa kayak gini. Jarang banget soalnya.”

Bagaimana aku bisa tertawa. Jika setiap hari harus dihadapkan pada posisi yang serba salah.

“Jadi tambah cantik, kalau kamu banyak ketawa.”

“Makasih.”

“Oh ya, bagaimana bisnis kerudung kamu? Banyak orderannya?”

“Alhamdulillah lumayan banyak. Malah kayaknya mau nambah 1 karyawan lagi. Soalnya keteteran banget.”

Aku memang punya brand jilbab yang sudah kurintis sejak aku masih single dulu. Tadinya hanya untuk mengisi waktu luang di akhir pekan. Ternyata ketika ditekuni malah jadi usaha yang menghasilkan. Apalagi berjualan di pulau jawa. Konsumennya jauh lebih banyak dari saat aku masih menetap di bali.

Mungkin, salah satu alasannya adalah karena ongkos kirim yang murah. Apa lagi sejak dulu pelanggan jilbabku banyak yang berasal dari pulau jawa.

“Kayaknya kamu juga sudah lama enggak ke toko. Kita coba mobil baru, yuk. Akang juga udah lama loh enggak main ke toko kamu, siapa tahu aja ada yang bisa Akang bantu di sana.”

“Akang yakin mau pergi, di rumah aja ibu masih panas?"

“Ini salah Akang dari awal, selalu memaklumi kesalahan ibu tanpa mikirin perasaan kamu. Makanya, semakin ke sini ibu jadi selalu ngerasa benar sendiri. Kalau, kita biarin ibu terus bersikap begini. Bukan hanya kita yang bakal menjauh, mungkin orang lain juga. Kasihan juga nanti ke ibunya. Kamu enggak nyadar apa Dek, orang anak perempuannya aja enggak ada yang mau serumah sama Ibu.”

Saat aku masih diam saja. Pria itu malah mengulurkan tangannya.

“Ayo!”

“Kang seharusnya mobil itu jangan atas namaku.”

“Kenapa memangnya, orang Akang beliin emang buat kamu! Lagian Akang udah punya mobil pick up yang biasa angkut belanjaan. Nah kalau, yang bagus ini buat kamu belanja ke pasar.”

“Ya kali belanja pakai mobil, Kang.”

“Ya sudah terserah kamu mau dipakai ke mana. Mobil-mobil kamu.”

~

Sejak malam itu Kang Dadan benar-benar berubah. Aku tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun, yang jelas mendapat pembelaan darinya, itu sama seperti mendapatkan suntikan semangat baru di saat aku nyaris putus asa pada hubungan ini.

Tak lupa kami berpamitan pada ibu yang saat itu masih mengunci diri di kamar. Sejujurnya ada perasaan tak enak meninggalkannya sendirian.

“Enggak apa-apa, kalau enggak diginin ibu enggak akan bisa belajar dari kesalahan.”

Sampai tiba di mana kami akan berangkat. Kang Dadan justru mendapatkan panggilan dari Teh Nadia.

Saat itu Kang Dadan yang tengah bersiap, sengaja meloudspeaker panggilannya.

“Kamu abis marahin ibu lagi, Dan?”

“Cuma ribut biasa.”

“Ibu bilang kamu abis beli mobil, banyak duitmu ya?”

“Teteh ini telepon sebenernya mau ngomong apa?”

“Teteh cuma mau ngomong, kamu jangan mentang-mentang ibu tinggal sama kamu bisa seenaknya. Enak aja kamu suruh ibu buat masak bersih-bersih di rumah. Sudah mah rumah warisan, malah enggak tahu diri, bukannya mentingin orang tua dulu malah istri yang dimanjain.”

“Teteh emang pernah lihat enggak, ibu masak atau bersih-bersih rumah? Kalau enggak lihat sendiri mah, enggak usah banyak omong! Kalau, bener peduli mah sini pulang, rawat ibu pakai tangan Teteh sendiri, mau enggak? Nyalahin mah emang paling gampang, tapi kalau ada apa-apa mana pernah Teteh mau direpotin.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status