Bagian 3
Tak Henti-hentinya setiap orang yang melihatku lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal.Aku yang tak paham apa yang mereka lihat lucu, membuat ku bingung dan hanya terdiam."Huussst, kalian jangan begitu dong, kasian kan Bibi, dia udah berusaha untuk tampil cantik depan kalian." ucap Helen, yang sesekali menahan tawanya."Helen, ada apa ini? Kenapa dengan wajahku?""Tidak apa-apa ko Bi, mungkin begitulah cara mereka memuji Bibi."Aku memang tak bisa bersolek, tapi bukan berarti aku tak mengerti apa yang tengah terjadi, yang jelas-jelas mereka mentertawakan aku."Helen, apa kamu pikir aku bodoh? Mereka mentertawakan aku, bukan sedang menyanjung ku.""Ada apa ini?"Tiba-tiba Mas Adam datang ia melihat semua orang yang ada di ruangan itu tengah menatap ku, bagai tontonan lucu."Ratih?"Mas Adam mendekat dan menatap wajahku lekat"Ratih! Apa yang kamu lakukan disini? Ya ampuun, benar-benar memalukan! Kata aku apa? Kamu tidak perlu dandan. Lihat hasilnya! Lihat!" Mas Adam berteriak-teriak di depan wajahku, aku hanya bisa memejamkan mata."Ibu ... " Hanif menghampiriku, anak itu seolah mengerti perasaan ku yang tengah di permalukan."Ibu, kenapa wajah ibu kaya ondel-ondel," ucap Hanif menatap ku."Apa? Benarkah Nak?"Hanif mengangguk, aku bergegas meninggalkan ruangan itu sembari menutup wajah. Aku masuk ke kamar mandi. Saat melihat wajahku di cermin betapa terkejutnya aku , wajah ini nampak seperti apa yang di katakan anakku Hanif, aku seperti ondel-ondel. Betapa malunya aku saat itu.Aku tak menyangka Helen tega melakukan itu padaku. Aku segera menghapus semua warna yang ada si wajah, bercampur dengan deraian air mata yang jatuh tak hentinya.Cukup lama aku berada di kamar mandi, setelah bersih, aku keluar. Ku lihat Helen sudah menunggu ku di balik pintu kamar mandi. Ia tertawa puas saat melihatku."Helen, kamu tega ngerjain Bibi? Kamu puas?""Aduuuuh Bi, maaf ya. Wajah bibi itu lucu banget, jadi aku pikir seperti itulah makeup yang cocok buat Bibi. Maaf ya Bi." ucap Helen dengan gaya mengejek.Tak ku hiraukan Helen, aku kembali ke ruang keluarga. Semua orang memandangiku kembali."Mbak Ratih, kenapa di hapus makeup nya? Padahalkan bagus. Bagus untuk hiburan maksudnya."ujar Ratna adik Mas Adam, di iringi suara tawa dari yang lain.Rasanya aku sudah tak betah berada di rumah ibu, aku ingin secepatnya pulang.Tak lama Mas Adam berdiri, sepertinya dia tau perasaan ku, saat itu juga mas Adam izin pulang pada Ibunya."Aku izin pulang duluan Bu.""Adam? Ada apa? Jangan pulang dulu, acara belum selesai." tanya Mbak Yuli."Tidak apa-apa Mbak, aku permisi."Mas Adam berlalu sembari menggendong Rahma, aku mengikutinya dari belakang bersama Hanif.Di dalam mobil, Mas Adam tak hentinya memaki ku, ia menganggap aku telah mempermalukannya.Sepatah katapun aku tak menimpali ucapannya, aku hanya sedang mencoba menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Hingga sampailah di rumah. Aku segera menidurkan anak anak di dalam kamar.Mungkin karena kelelahan Hanif dan Rahma mudahnya terlelap. Aku kembali menemui Mas Adam ."Puas kamu Ratih! Puas? Kamu sudah buat aku malu di depan keluarga besar ku.""Mas, Helen ngerjain aku. Dia yang memintaku untuk di dandaninya. Sedikitpun aku tak menyangka akan begitu hasilnya. Mas, bukan kamu saja yang malu Mas, semua mentertawakan aku, aku bahkan lebih malu dari kamu!""Lalu, apa maksud mu bersedia di dandani Helen? Kamu mau berubah secantik dia? Hahahah. Tidak mungkin itu Ratih. Helen itu gadis paling cantik, sementara kamu ibu dua anak yang tak bisa mengurus diri!""Cukup mas, cukup kamu hina aku terus menerus. Aku juga perna muda seusia Helen, aku pernah cantik dan kamu datang mendekati aku. Sekarang aku seperti ini, itu semua karena banyak urusan yang harus aku kerjakan. Aku bukan lagi gadis yang bebas mengatur waktu, aku punya rumah untuk di bersihkan setiap hari, aku punya anak-anak yang harus di jaga setiap waktu. Jadi salah besar kalau kamu samakan aku dengan Helen!""Ratih. Jangan merasa benar dengan apa yang kamu ucap. Nyatanya banyak wanita di luar sana yang punya anak banyak tapi tubuhnya masih langsing, wajahnya masih glowing. Alasan saja!" ucapnya meninggalkan ku.Ingin rasa aku menjerit, namun aku tak bisa. Akhirnya aku hanya bisa menangis merenungi nasib diri.Ku tatap photo pernikahan palsu itu, ku lempar dengan pas bunga seketika bingkai photo itu hancur berantakan.Mas Adam kemudian pergi dari rumah.Aku terus menangis, ku turunkan photo itu dan membakarnya di belakang rumah.Mulai saat itu aku bertekad untuk belajar dandan secara otodidak atas panduan video.*****"Ya ampuuun, susah sekali membuat alis ini, padahal bulu alisku tipis harusnya ini lebih mudah untuk mengukirnya, tapi kenapa begitu susah?"Lagi-lagi aku menghapusnya, ku lihat Hanif masih anteng dengan buku gambarnya sementara Rahma bermain dengan mainannya.Tanpa putus asa aku kembali membuat alis. Kali ini alisku tampak ketebalan, sampai sampai Hanif menatapku heran."Kenapa Kak? Alis ibu bagus belum kak?" tanyaku pada Hanif, karena di kamar memang tak ada siapa lagi, sekalin kami bertiga.Hanif mendekati ku, ia tiba-tiba memeluku, sambil berkata."Apa ibu dari tadi duduk disini hanya untuk membuat alis?"Aku mengangguk dan tersenyum padanya."Ibu cantik, meskipun alis ibu tidak pakai spidol."Seketika aku terkekeh mendengar jawaban anak lelakiku, dia kira aku memakai spidol untuk mewarnai alis."Baiklah, rupanya ibu perlu banyak belajar lagi. Kita lanjutkan besok," ujarku pada Hanif.Bagaimana aku bisa berhias, aku baru memiliki satu alat makeup, yaitu pencil alis, tapi sudah beberapa jam mencobanya, belum juga berhasil.Bagian 6"Bagaimana ini? Aku tetap tidak bisa membuatnya, kalau begini mungkin aku harus kursus, tapi pada siapa? Meskipun ada pasti biayanya mahal, sementara uang simpanan ku tinggal sedikit lagi. Ya Allah...berilah petunjuk untuk aku menjalani kehidupan ini,"tuturku lirih, aku benar-benar di pase tak berdaya. "Bu Neni, ya Bu Neni. Mungkin dia bisa membantuku."tiba-tiba, aku teringat sosok Bu Neni, mungkin ia bisa membantu ku. Kini harapan ku begitu besar padanya. Saat itu juga ku ajak ke dua anakku menemui Bu Neni, dia terkenal sebagai tukang rias pengantin yang berpengalaman. Aku berencana kursus padanya. Hari itu, Bu Neni terlihat santai, aku menemuinya di waktu yang tepat."Eh, Ratih tumben Tih, ada apa? Sini, sini masuk." sapa Bu Neni dengan sopannya."Iya Bu, maaf kalau aku mengganggu waktu ibu.""Tidak Tih, ada apa?""Aku datang ke sini, mau kursus rias ke ibu.""Ooowh, kursus rias. Boleh. datang saja setiap hari selasa dan kamis ke sini, itu waktu santai saya. N
Bagian 7“Tidak bisa Ratih, Hanif dan Rahma anak aku. Mereka akan hidup terjamin jika bersamaku. ““Tapi, mereka juga anak anakku Mas, aku bisa melindungi dan memberi makan mereka.”“Pakai apa? Kamu sendiri saja tidak kerja. Hidup terlunta-lunta. Bagaimana kamu bisa membahagiakan mereka?”“Adam, Ratih. Anak kalian kan ada dua, kalian bisa membawanya satu-satu. Agar adil.” Ucap Mbak Yuli.Meskipun berat berpisah dengan salah satu anak, namun pilihan itu yang terbaik. “Biarkan Rahma ikut denganku, dan Hanif ikut kamu.” Ucap Mas Adam, aku hanya bisa menangis tak tahan dengan kesedihan ini, aku pikir perceraian hal yang paling menyedihkan, namun berpisah dengan anak lebih menyakitkan. Mulai saat itu, Mas Adam resmi menceraikan aku. Aku dan Hanif menumpang hidup di rumah Bu Neni. Bu Neni sangat baik padaku dan Hanif. Perlahan aku di ajari hingga bisa merias orang lain. Bu Neni selalu mengajakku, jika ada undangan pekerjaan, seperti merias yang wisuda, acara tunangan, atau per
Bagian 8“Helen kamu di sini juga?”tanyaku balik dengan hati yang mulai tak enak. “Ya, ya iyalah Bi, inikan acara tahunan para model, Bibi ngapain disini? Jadi model juga?” tanyanya sembari menahan tawa dengan sebelah tangannya.“Enggak, Bibi disini mau belajar.”“Hah belajar? Hihihi, gak salah dengar ya aku? Tapi oke deh. Meskipun telat belajarnya.”Helen mendelik ke arahku. Kenapa aku harus bertemu dengan dia disini? Sebaiknya aku pindah pindah tempat duduk saja, tak nyaman rasanya dekat Helen yang terlihat terus mentertawakan aku. Tapi, aku duduk dimana? Mataku terus liar menoleh ke semua arah, mecari tempat duduk yang jauh dari gadis ini. Nyatanya semua tempat duduk sudah di beri nomor sesuai pendaftaran.Aku pun pasrah hanya bisa menghela nafas, dan mencoba duduk dengan tenang. “Helen, kali ini kamu harus jadi pemenangnya! Ingat saya sudah bayar mahal kamu.” Ucap seorang wanita berambut pirang, mereka terlihat begitu akrabnya.“Tenang saja Mak, tahun kemarin tau sendi
Bagian 9Akhirnya acara pun dimulai, dari kata sambutan yang di sampaikan oleh para panitia acara, hingga ke teori yang di sampaikan oleh seorang dokter kecantikan.Selanjutnya ke acara inti loba Rias Modern. Semua peserta saling berhadapan bersama modelnya masing-masing, ya aku duduk menghadap Kania yang siap me make over wajahku.“Kania, kamu yakin mau pakai modelnya aku?” tanyaku ragu.“Ya elah, kamu masih ragu aja, udah deh diem pokoknya kamu anteng aja diem, biar ku obrak abrik nih wajahmu,” jawab Kania penuh gurau. Terdengar aba-aba dari panitia, untuk memulai lomba.“Oke guys, gimana semua sudah siap dengan alat tempurnya?”“Siaaaap....” para peserta dengan semangatnya menjawab.“Oke, siapkan model kalian masing-masing, jangan sampai di lewatkan kesempatan ini, karena hadiah yang telah kami siapkan begitu wow! Untuk juara Satu akan mendapatkan uang sebesar Dua ratus juta rupiah, juara ke Dua mendapatkan uang sebesar Seratus Lima puluh juta rupiah, dan untuk pemenang
Bagian 10Saat itu, masih acara penampilan peserta yang lain, dan masih tersisa cukup banyak, sembari menunggu Kania mengajakku untuk makan dulu.“Kamu lapar nggak? Kita makan dulu yuk?” ajaknya.“Tapi acaranya?”“Ah sudahlah, masih lama. Kita menunggunya sambil ngisi perut. Ayok!’’ Kania menarik tanganku. Namun sebelumnya، aku diminta mengganti baju, setelah itu kami menuju tempat makan. Di kesempatan makan bersama itu, kami saling bertukar cerita tentang pengalaman hidup. Kania terlihat terkejut saat ku ceritakan kisah kehidupanku.“Apa? Jadi gadis sombong itu benar benar ponakan mu?”Aku mengangguk. “Sudahlah Ka, kejadiannya sudah berlalu, lagi pula aku sudah memaafkan dia dan mantan suamiku.’’“Kami yang sabar ya Tih, aku yakin kamu akan sukses di pekerjaan ini. Oya kamu mau gak gabung di salon dan butik aku? Sekaligus jadi model ku lagi?” “Kania, bukan aku menolak bantuan mu, tapi saat ini aku ingin membalas kebaikan Bu Neni padaku selama ini.”“Siapa Bu Neni?”“
BAGIAN 11Kami kembali ke tempat duduk semula, sembari menunggu pembagian hadiah. “Wiih, Ratih terbang ke Perancis Ka,” ucap Lili dengan wajah berbinar.“Iya, Li, beruntung sekali dia. Kita aja yang setiap tahun hadir ke acara ini belum pernah dapat kesempatan itu, lah dia, niatnya nonton doang, eh tau-tau nya dapat rejeki nomplok.”Kania dan Lili tertawa bahagia. Sungguh ini seperti mimpi indah untuk ku, aku sendiri pun tak pernah menduga akan berada di posisi ini. Aku tak mampu berkata-kata, Allhamdulillah... Allah memberiku jalan dengan pertemuan ini. Dari kejauhan aku melihat Helen datang menghampiri ku dengan nafas tersengal senggal, terlihat terburu-buru. “Bibi! Kalau mau menang jangan curang. Bisanya kalian main mistis.” Teriaknya dengan nada bicara menggebu-gebu.Kami bertiga menatap heran kedatangan Helen. Dengan cepat Kania pasang badan di hadapannya.“Hei, gadis sombong! Apa maksud kamu bicara seperti itu? Hah?”“Apa kalian pikir gue gak tau? Kalian memasang
BAGIAN 12Aku terhenyak mendengar permintaan anak lelaki ku. Ku tatap dia kembali, rasanya baru kemarin aku menggendongnya dan selalu menasehatinya, sekarang anak itu sudah bisa berpikir jauh lebih dewasa dari aku. “Kamu mau ibu pakai hijab Nak?” tanyaku kembali sembari membelai rambutnya. Hanif pun menganguk.“Wajah ibu cantik, tapi ibu harus menutup rambut ibu. Bu, kemauan ini bukan Hanif yang suruh. Tapi Allah yang menyuruh ibu menutup aurat.”Seketika aku tertunduk malu saat mendengarnya bicara seperti itu. Aku menganggukan kepala, meskipun belum ada niat untuk memakai hijab, namun aku harus mempertimbangkannya. Karena banyak tawaran kerja yang menuntut ku tak boleh memakai hijab.“Nak, ibu pulang dulu ya? Ibu Neni takutnya sudah ada di rumah. Kamu baik-baik ya disini.”Hanif mengangguk dan mencium tanganku. Sebelum berlalu meninggalkannya, Hanif kembali memanggil ku.“Ibu...”“Ya Nak?.”“Jangan khawatir kan tentang rizki Bu, Allah menggantinya jika ibu meninggal
Bagian 13Malam hari pun tiba, Pak Ridho benar saja meneleponku, aku tak tau apa yang akan dia bicarakan. Aku pikir dia akan membicarakan hal penting, tapi nyatanya kami hanya bicara hal hal yang ringan saja. “Ratih, aku tau banyak tentang kamu, Helen telah menceritakan semuanya.”Aku terkejut mendengar penjelasan Pak Ridho, sebenarnya apa yang telah Helen sampaikan tentang aku ke Pak Ridho?“Helen bilang apa Pak?”“Bilang semuanya, semuanya tentang kamu.”“Maaf pak. Helen hanya ponakan aku yang hanya tau sebagian kecil dari masalah ku, selebihnya dia tak tau apa-apa.”“Oh begitu ya? Sudahlah lupakan ya, hari ini dan hari esok adalah milikmu, kamu harus punya harapan, harapan untuk lebih baik.”“Iya Pak.”Waktu semakin cepat berlalu, pihak panitia meminta data diri untuk pengurusan visa , aku menyerahkannya dengan cepat. Hingga tak sabar aku menghitung hari demi harinya. Aku ingin tau bagaimana indahnya negara lain selain negara yang ku tempati ini, bagaimana menara Eiffel