Tiga hari setelah berkumpul di rumah mertuaku, Bapak dan Mama mengunjungi kami, menjenguk Leang. Perkembangan kondisi kesehatan Leang sangat pesat, ia cepat sekali membaik.
Bapak dan Mama juga menyampaikan rencana kedatangan "tamu" Lily. Kami bertukar pendapat, apakah cukup kami sekeluarga yang menyambut atau melibatkan keluarga besar semarga.Mempertimbangkan bahwa kami belum mengenal "tamu" tersebut, Nandean menyarankan agar sambutan cukup dari keluarga besar kami saja, tidak perlu melibatkan kerabat semarga. Jika sudah terjadi kesepakatan tentang maksud dan tujuan "tamu" tersebut barulah Bapak menghubungi kerabat semarga untuk membicarakan rencana penyelenggaraan acara selanjutnya. Bapak dan Mama setuju.
Mengingat Leang masih dalam masa pemulihan meskipun kondisinya sudah sehat, Mama menyarankan aku hadir pada hari "H" saja. Tidak perlu repot membantu acara persiapan. Permintaan Lily untuk menggunakan jasa catering dalam acara ini dikabulkan Bapak dan Ma
"Tidak percuma aku jadi menantu Mama dan Bapak," imbuhku."Tidak percuma Mama membesarkan kamu semua," tanggap Bapak.Kami tertawa kecil.Wajah Bapak tampak lebih cerah."Itu sebabnya saya dan Mamamu tidak pernah melarang-larang kalian mencari pasangan dari suku mana saja. Biar tambah banyak pengalaman saya menghadapi orang-orang ini. Semakin banyak kita menghadapi orang yang berbeda, semakin bertambah pengetahuan kita tentang bagaimana menyikapi orang-orang di sekeliling. Orang-orang dari bangsa dan suku mana pun sama, ada yang baik ada yang buruk. Tak bisa kita kelompokkan satu bangsa atau satu suku lebih baik dan kelompok lainnya buruk," ujar Bapak."Calon tamu kak Lily orang mana, pak?" Tanyaku.Bapak menyebutkan sebuah kabupaten dari salah satu provinsi di negeri ini. Masih satu provinsi dengan daerah asal Bapak dan Mama."Semoga sajalah ini benar-benar jadi jodoh si Lily," gumam Bapak.Kami mengaminkan.###Handphone-ku
"Jadi tidak dikembalikan tidak apa-apa?" tanya Lily."Tidak apa-apa. Aku yang tanggungjawab. Naya ikhlas kan, Nay?" Nandean mengedipkan mata padaku."Iya, ambil saja. Nanti kalau ada rezeki kami beli lagi," jawabku."Tapi janji, jangan dijual ya!" kata Nandean."Walaupun kalian tidak punya uang sama sekali, barang ini jangan dijual," tegas Nandean."Iyaaa, " jawab mereka serempak."Naura, Anggun, Marry, Rossy, nanti kubawakan lagi. Di rumah masih banyak," janji Nandean. Senyum terkulum di bibirnya."Naya tidak marah, Nay?" tanya Anggun.Aku menggeleng."Yang penting kalian bahagia," jawabku santai.Aku mengambil sebentuk gelang dan kalung, lalu kuberikan kepada Marry."Terimakasih," katanya, tanpa berani menatap wajahku. Tapi kulihat bibirnya mengulas senyum.Sebenarnya mungkin dia baik hati, tapi aku tak pandai mengambil hatinya. Saat tinggal disini dulu aku tak pernah mengajaknya bicara, apalagi memberikan ben
"Gara-gara kau masuk rumah sakit, uang bapak habis!" bentaknya.Marry menatapnya ketakutan."Sana kau minta ganti pada perempuan yang sudah menimpa kepalamu dengan batu!" lanjut Lily, matanya membelalak."Waktu itu kan kau yang bilang sendiri kau yang tanggungjawab," kata Marry pelan. Tubuhnya kentara gemetar."Kapan aku bilang?" tentang Lily."Waktu kau suruh aku buka pagar. Buka pagarnya yang lebar, Mar, biar anak setan itu lari ke jalan, biar ketabrak mobil. Nanti aku yang tanggungjawab. Itu katamu," jawab Marry tersendat-sendat.Lily mendengus."Awas saja kalau kau cerita pada yang lain!" ancam Lily. Tangannya diangkat keatas.Marry semakin ketakutan, kedua tangannya menutupi kepalanya.Aku berdiri terpaku di pintu ruang tengah, mereka tak menyadari kehadiranku. Hingga Leang berlari dari arah belakang dan menubruk kakiku."Ibu!" teriak Leang sambil tertawa gembira.Lily terkejut, menoleh ke arahku."Eh, Naya
"Kalian lihatlah bagaimana saya dan Mamamu membangun hubungan dengan keluarga besar kami, bagaimana kami memperlakukan saudara-saudara kami. Bantulah yang perlu dibantu, dukunglah yang perlu didukung, tapi jangan menyakiti yang lain. Jangan membela yang satu tapi melukai yang lain, mendukung yang satu tapi menginjak yang lain. Itu namanya licik. Dan itu tak baik kau praktekkan dalam keluargamu."Intonasi Bapak tenang, walaupun suaranya cukup keras.Kami semua terdiam."Kau Lily, kau yang berhajat besar dengan acara ini, kau mau acara ini dilanjutkan atau tidak?" tanya Bapak."Lanjutkan, pak," jawab Lily pelan."Kalau kau mau acara ini dilanjutkan, jangan kau buat onar! Paham kau?" Suara bapak mulai meninggi."Tak perlu kau buat keributan, mengancam-ancam saudaramu. Belum puas kau lihat akibat perbuatanmu di keluarga ini?" tanya Bapak lagi."Aku tak ada mengancam siapa pun! Itu fitnah!" seru Lily."Si Marry cerita sama saya, Mamamu ceri
Marry, Anggun, dan Rossy, sibuk menerima dan mengantar tamu. Naura dan Rara sibuk mengawasi persiapan konsumsi para tamu. Aku dan Nandean melayani dan menemani tamu-tamu kerabat Bapak dan Mama. Beberapa orang mempertanyakan tentang peristiwa beberapa minggu lalu, kami menjelaskan bahwa kejadian itu murni kecelakaan biasa.Saat ada yang bertanya tentang Lily dan Antar, kami hanya bilang bahwa mereka berkenalan dalam sebuah perjalanan udara. Jika ditanya sudah berapa lama kenal dan berhubungan, kami jawab sudah lama. Ketika mereka menanyakan sendiri kepada Lily, cuma dijawab: "ya, cukuplah." Entahlah, cukup yang dimaksud cukup singkat atau cukup lama.Tamu-tamu terus berdatangan hingga malam hari. Bapak meminta aku dan Nandean tetap berada di tempat dan menemani Bapak dan Mama melayani tamu-tamu dari kerabat dekat. Ipar-iparku sudah nampak lelah. Naura dan suaminya beristirahat di paviliun samping bersama dengan keluarga Rara. Marry sudah masuk ke kamar. Rossy dan Anggun
"Jangan-jangan dia punya rencana jahat ya, kak," gumamnya."Kita doakan saja semoga tidak begitu," jawabku."Minta tolong Kak Anggun untuk mengeluarkan barang-barang berharga dari kamar Lily," usulku."Bagaimana caranya?" tanya Rossy. "Bilang saja mau ambil beberapa barang Marry, Lily dan Marry satu kamar kan? Siapa tahu masih ada pakaian atau barang Marry yang lain disana," jawabku. Rossy menemui Anggun.Kulihat Anggun bicara pada Lily di ruang depan. Antar masih di luar, beramah tamah dengan beberapa teman Nandean. Tak lama kulihat Anggun keluar dari kamar Lily, membawa beberapa buah pakaian."Sudah," lapornya pada Rossy."Nay, perhiasan yang dikasih Naya tetap saya biarkan disana ya. Seandainya diambil juga tidak apa-apa kan?" tanya Anggun sambil tersenyum."Iya, tidak apa-apa," jawabku."Untuk pancingan kan?" tanyaku lagi.Anggun dan Rossy tertawa. Malam itu aku tidur nyenyak. Bahkan Leang pun tidak terbangun sama sekali
"Kalau dia kemudian tahu?""Aku akan mengelak, bilang saja dia yang sengaja menukarnya!" "Orang licik, balas licik!" kata Nandean lagi.Aku memandangi suamiku. "Jangan protes ya, ini kulakukan karena dia saudaraku. Biar dia dapat pelajaran!" Nandean seolah tahu apa yang kupikirkan. Usai waktu maghrib Nandean keluar, membawa amplop uang."Nanti aku pulang agak malam ya, Nay," katanya. "Antisipasi kalau mereka nanti mencariku ke rumah," kekehnya."Ya," sahutku."Kalau mereka tanya padamu, bilang kita cuma jadi nasabah BR*. Tunjukkan beberapa amplop coklat dalam kamar itu," titahnya. "Ya," jawabku.Aku mulai paham maksud Nandean membungkus kertas uang tadi dengan dua lapis amplop. Kini tugasku hanya menunggu. Namun hingga tengah malam, Lily tidak datang. Sampai Nandean pulang. ### "Nanti siang ke rumah Mama saja, Nay," kata Nandean saat kami sarapan pagi."Bantu-bantu menyiapkan minum orang-orang
Aku sedang menemani Leang menonton TV saat ponselku berbunyi.Nama Rossy tertera di layar pipih."Ya, Assalamualaikum," sapaku."Waalaikumsalam, kakak di rumah atau di toko?" tanya Rossy."Di rumah," jawabku."O ya sudah, aku ke rumah kakak ya," katanya.Lima belas menit kemudian ada suara motor berhenti dan suara pintu pagar dibuka. Kulihat dari vitrase transparan, Rossy sedang memarkirkan motornya di halaman. Marry menutup pintu pagar.Aku agak tercengang. Baru kali ini Marry mengunjungi rumahku. Kulihat dia memperhatikan tampak depan rumahku dan menyentuh tanaman hias di sudut teras.Pintu ruang tamu kubuka sebelum mereka mengetuk."Assalamualaikum," sapa Rossy."Waalaikumsalam, masuk, sy," ajakku.Ku ulas senyum ramah untuk Marry. Kusalami tangannya. Tangan yang pernah menjambak rambutku, menampar pipiku, meremas tanganku dengan keras saat Bapak memaksanya meminta maaf.Kutatap matanya dengan hangat. Mata ya