Home / Romansa / AKU SANG ISTRI BOSS / Perubahan Ibu Cinta

Share

Perubahan Ibu Cinta

Author: Ara Hakim
last update Huling Na-update: 2022-12-10 13:00:22

"Cinta?" wanita itu menatapku lekat-lekat, dari ujung kepala ke kaki.

"Iya, Bu?" jawabku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Namun tangannya tetap di dada.

"Itu lekaki kampungan, siapa?"

Aku menoleh ke belakang. Mas Rama dibilang lelaki kampungan?

Setelah lima tahun berpisah dengan Bapak karena satu kejadia, kami memang tidak bertemu. Ibu sengaja tidak mau menemuiku, mungkin karena aku adalah satu-satunya anak yang memilih ikut Bapak. Namun apa harus sampai segitunya?

"Aku datang untuk menemui Ibu."

"Cih!" desis wanita bernama Sarah itu sambil membuang pandang dan mengangkat bibir sebelah.

"Bu?"

"Sudah Ibu bilang, kamu pasti hidup sulit kalau ikut bapakmu yang miskin itu. Sampai sekarang kamu pasti tetap kesulitan, 'kan? Ibu dengar kamu kuliah dengan beasiswa."

"Memangnya kenapa kalau Cinta hidup susah, Bu?"

"Kamu nggak ngerti juga. Hidup itu butuh kebahagiaan. Dan salah satu yang dapat membeli kebahagiaan adalah uang, kesejahteraan, kekayaan!"

"Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, Bu." Aku melirik Mas Rama. Kata-kata "uang tak dapat membeli kebahagiaan" itu adalah darinya, orang kaya yang sekarang jadi suamiku.

"Ibu sudah buktikan sama kamu kalau uang bisa membeli kebahagiaan! lihat ini!" Ibu merentangkan tangannya, "rumah bagus, kendaraan roda empat, perhiasan." Ibu menunjukkan gelang dan cincin yang menempel di tangannya itu.

Padahal kalau ditelisik, rumah yang Ibu bilang bagus ini belum sebanding dengan salah satu rumah Mas Rama. Kendaraan roda empat yang terparkir di rumah itu juga tak sebagus mobil di rumah Mas Rama yang biasa dipakai untuk mengantar asisten rumah tangga kami, saat pergi ke pasar.

"Bu, yang penting kami bahagia." Mas Rama ikut nimbrung.

"Kamu siapa?" Ibu memicing.

"Saya suaminya Lov."

"Hah?" Ibu terkejut.

"Mas, kok ngaku miskin sih?" bisikku ke telinga Mas Rama.

"Biarin aja, jangan bilang dulu kalau aku banyak uang. Nanti Ibu kamu ini malah ngutang,” bisiknya. Aku langsung menginjak kaki Mas Rama.

"Au, sakit." Dia memekik.

"Eh, kenalin, ini Mas Rama, nama lengkapnya Pano ..."

Giliran Mas Rama yang menginjak kakiku, "Au, sakit Mas."

"Lengkapnya Ramadhan, Bu." Mas Rama mengulurkan tangan pada Ibu, dan Ibu pun tak menjabat tangan Mas Rama.

"Ramadhan, Cinta, wah, namanya serasi ya, Ramadhan Cinta. Sesuai dengan bulan ini." Rindu berkomentar.

Ibu masih menatap sinis.

"Cinta, ngapain kamu nikah sama pria miskin kayak dia? Apa kamu nggak belajar dari Ibu yang menderita saat nikah dengan Bapak kamu itu!"

Mas Rama, dibilang miskin?

"Mas Rama itu nggak mis-"

Mas Rama mencubit pinggangku.

"Mas?" bisikku lagi.

"Hampir aja kamu keceplosan, Lov."

"Iya-iya, Mas."

"Bu, saya memang bukan orang kaya. Harta benda saya semuanya adalah milik Allah, dan akan kembali kepada Allah. Tapi saya bersyukur dengan apa yang saya punya."

"Halah, sok bijak!"

"Udah dong, Bu, ajak Mbak Cinta sama suaminya masuk dulu," pinta Rindu.

"Ya udah, ayo masuk!" Ibu masih ketus.

Kami pun beranjak masuk dan Rindu mempersilakan duduk di sofa. Ibu masih seperti mengawasi kami. Kakinya disilangkan dan tangan masih mendekap di dada.

"Kerja kamu apa?" tanya Ibu pada Mas Rama.

"Emmm, saya sekarang ngajar, Bu." Mas Rama memang sering diminta mengajar di beberapa kampus. Ia juga punya jadwal memotivasi anak-anak yatim di Rumah Asuh Santri Al-Mahabbah milik Mas Zaky.

"Oh, PNS?"

Mas Rama menggeleng pelan.

"Guru honor ternyata. Gimana mau cukupin hidupnya Cinta. Apalagi beliin perhiasan kayak gini." Ibu memamerkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau itu.

"Kamu emang gak punya uang ya, sampai kesini jalan kaki, nggak bawa apa-apa lagi, oleh-oleh pun nggak?"

"Mobil ka-" Aku hendak menjawab tapi Mas Rama langsung menyenggol kakiku dengan kakinya, memberi kode.

"Saya lebih suka jalan kaki ketimbang naik mobil, Bu." Mas Rama jujur. Jawabannya bukan 'kami tidak punya mobil' tapi lebih suka jalan kaki, dan itu memang benar.

"Bilang aja nggak punya ongkos!"

"Hehe." Mas Rama terkekeh.

"Atau jangan-jangan, kalian kesini mau pinjem duit, ya?"

Aku menghela napas. "Kami bukan mau pinjam uang, Bu. Kami hanya bersilaturahim, sekaligus mengabari kalau kami sudah menikah bulan lalu."

"Menikah kok diam-diam. Oh, Ibu tahu, kalian nggak ada biaya mau buat pesta?"

"Nanti kami pestakan, Bu."

"Hmm. Maaf, saya tidak bisa bantu dana untuk pesta kalian." Ibu berdiri lalu beranjak ke belakang.

Sementara Rindu yang tadi ke belakang menghampiri kami.

"Mbak nginap sini?"

"Mungkin enggak, Rin."

"Aduh, kan Mbak belum ketemu Mbak Kasih sama Mas Bagus."

Loviana Kasih dan Bagus Hati adalah nama kakakku. Kasih adalah saudari kembarku yang lahir beberapa menit sebelum aku.

"Mbak Kasih sama Mas Bagus kapan pulang?" tanyaku.

"Nanti agak sorean mungkin, Mbak."

"Hm. Padahal Mbak kangen juga sama mereka, tapi kalau Mas Bagus pernah ketemu di acara kampus tahun lalu. Waktu itu Mas Bagus pematerinya, keren lah, sudah jadi pebisnis muda."

"Iya, Mbak, bisnisnya lumayan lho Mas Bagus itu. Sekarang aja Mas Bagus udah bangun rumah sendiri, siap-siap untuk istrinya nanti. katanya. Oiya, kalau Mbak Kasih, dua hari lagi tunangan loh, Mbak. Calonnya juga orang sukses nampaknya. Karyawan di perusahaan mana gitu."

"Perusahaan mana?" tanya Mas Rama penasaran. Mas Rama kenal banyak pemilik perusahaan, mungkin saja calon suami Kasih itu kerja di salah satu perusahaan teman Mas Rama.

"Kalau nggak salah, calonnya Mbak Kasih itu manajer keuangan di Aurora Corporation."

"Oh," tukas Mas Rama pelan. Jelas saja Mas Rama tahu Aurora Corporation, wong itu salah satu perusahaannya yang menggunakan nama adiknya kok, Aurora Tara.

"Perusahaannya Aurora rupanya, Mas," bisikku.

"Itu perusahaanku, hanya pakai nama Aurora dan kebetulan manajernya juga Aurora. Yah nanti memang mau kuberi aja ke Aurora separuh sahamku disitu biar dia semangat."

"Oh, jadi cowoknya kembaranku ini kerja di perusahaan kamu, Mas. Seru nih, Mas." Aku menyikut tangan Mas Rama.

"Kok seru?"

"Nanti kamu juga tahu."

"Ish, sama suami rahasiaan gitu." Mas Rama mencubit lenganku.

"Apaan sih, Mas!"

"Mbak, Mas, kelihatan banget pengantin barunya, segitu mesranya." Rindu senyum-senyum melihat tingkah kami.

"Begitulah, Rin. Oiya, kalau Mbak Kasih kerja dimana?" lanjutku.

"Mbak Kasih jadi asisten manajer di bank."

"Wah, sukses semua ya saudara Mbak."

"Eh, Mbak Cinta sendiri kerja dimana?"

"Mbak cuma bantu-bantu suami sambil rampungin kuliah." Ya. Maksudku bantu-bantu suami adalah membantu Mas Rama menjalankan beberapa perusahannya.

"Apa?" Ibu di ruang sebelah nyeletuk, "kamu jadi pembantu, Cinta? Kamu memang mengikuti jejak Bapakmu itu ya Cin, jadi babu?!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • AKU SANG ISTRI BOSS   108. Mencari Reno

    PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-

  • AKU SANG ISTRI BOSS   107. Kebakaran

    “TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny

  • AKU SANG ISTRI BOSS   106. Ancaman Para Debt Collector

    “PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah

  • AKU SANG ISTRI BOSS   105. Mendadak Tegang

    SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   104. Aku Mau Mandiri

    “Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   103. Para Penagih Utang

    BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status