Share

Perubahan Ibu Cinta

"Cinta?" wanita itu menatapku lekat-lekat, dari ujung kepala ke kaki.

"Iya, Bu?" jawabku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Namun tangannya tetap di dada.

"Itu lekaki kampungan, siapa?"

Aku menoleh ke belakang. Mas Rama dibilang lelaki kampungan?

Setelah lima tahun berpisah dengan Bapak karena satu kejadia, kami memang tidak bertemu. Ibu sengaja tidak mau menemuiku, mungkin karena aku adalah satu-satunya anak yang memilih ikut Bapak. Namun apa harus sampai segitunya?

"Aku datang untuk menemui Ibu."

"Cih!" desis wanita bernama Sarah itu sambil membuang pandang dan mengangkat bibir sebelah.

"Bu?"

"Sudah Ibu bilang, kamu pasti hidup sulit kalau ikut bapakmu yang miskin itu. Sampai sekarang kamu pasti tetap kesulitan, 'kan? Ibu dengar kamu kuliah dengan beasiswa."

"Memangnya kenapa kalau Cinta hidup susah, Bu?"

"Kamu nggak ngerti juga. Hidup itu butuh kebahagiaan. Dan salah satu yang dapat membeli kebahagiaan adalah uang, kesejahteraan, kekayaan!"

"Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, Bu." Aku melirik Mas Rama. Kata-kata "uang tak dapat membeli kebahagiaan" itu adalah darinya, orang kaya yang sekarang jadi suamiku.

"Ibu sudah buktikan sama kamu kalau uang bisa membeli kebahagiaan! lihat ini!" Ibu merentangkan tangannya, "rumah bagus, kendaraan roda empat, perhiasan." Ibu menunjukkan gelang dan cincin yang menempel di tangannya itu.

Padahal kalau ditelisik, rumah yang Ibu bilang bagus ini belum sebanding dengan salah satu rumah Mas Rama. Kendaraan roda empat yang terparkir di rumah itu juga tak sebagus mobil di rumah Mas Rama yang biasa dipakai untuk mengantar asisten rumah tangga kami, saat pergi ke pasar.

"Bu, yang penting kami bahagia." Mas Rama ikut nimbrung.

"Kamu siapa?" Ibu memicing.

"Saya suaminya Lov."

"Hah?" Ibu terkejut.

"Mas, kok ngaku miskin sih?" bisikku ke telinga Mas Rama.

"Biarin aja, jangan bilang dulu kalau aku banyak uang. Nanti Ibu kamu ini malah ngutang,” bisiknya. Aku langsung menginjak kaki Mas Rama.

"Au, sakit." Dia memekik.

"Eh, kenalin, ini Mas Rama, nama lengkapnya Pano ..."

Giliran Mas Rama yang menginjak kakiku, "Au, sakit Mas."

"Lengkapnya Ramadhan, Bu." Mas Rama mengulurkan tangan pada Ibu, dan Ibu pun tak menjabat tangan Mas Rama.

"Ramadhan, Cinta, wah, namanya serasi ya, Ramadhan Cinta. Sesuai dengan bulan ini." Rindu berkomentar.

Ibu masih menatap sinis.

"Cinta, ngapain kamu nikah sama pria miskin kayak dia? Apa kamu nggak belajar dari Ibu yang menderita saat nikah dengan Bapak kamu itu!"

Mas Rama, dibilang miskin?

"Mas Rama itu nggak mis-"

Mas Rama mencubit pinggangku.

"Mas?" bisikku lagi.

"Hampir aja kamu keceplosan, Lov."

"Iya-iya, Mas."

"Bu, saya memang bukan orang kaya. Harta benda saya semuanya adalah milik Allah, dan akan kembali kepada Allah. Tapi saya bersyukur dengan apa yang saya punya."

"Halah, sok bijak!"

"Udah dong, Bu, ajak Mbak Cinta sama suaminya masuk dulu," pinta Rindu.

"Ya udah, ayo masuk!" Ibu masih ketus.

Kami pun beranjak masuk dan Rindu mempersilakan duduk di sofa. Ibu masih seperti mengawasi kami. Kakinya disilangkan dan tangan masih mendekap di dada.

"Kerja kamu apa?" tanya Ibu pada Mas Rama.

"Emmm, saya sekarang ngajar, Bu." Mas Rama memang sering diminta mengajar di beberapa kampus. Ia juga punya jadwal memotivasi anak-anak yatim di Rumah Asuh Santri Al-Mahabbah milik Mas Zaky.

"Oh, PNS?"

Mas Rama menggeleng pelan.

"Guru honor ternyata. Gimana mau cukupin hidupnya Cinta. Apalagi beliin perhiasan kayak gini." Ibu memamerkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau itu.

"Kamu emang gak punya uang ya, sampai kesini jalan kaki, nggak bawa apa-apa lagi, oleh-oleh pun nggak?"

"Mobil ka-" Aku hendak menjawab tapi Mas Rama langsung menyenggol kakiku dengan kakinya, memberi kode.

"Saya lebih suka jalan kaki ketimbang naik mobil, Bu." Mas Rama jujur. Jawabannya bukan 'kami tidak punya mobil' tapi lebih suka jalan kaki, dan itu memang benar.

"Bilang aja nggak punya ongkos!"

"Hehe." Mas Rama terkekeh.

"Atau jangan-jangan, kalian kesini mau pinjem duit, ya?"

Aku menghela napas. "Kami bukan mau pinjam uang, Bu. Kami hanya bersilaturahim, sekaligus mengabari kalau kami sudah menikah bulan lalu."

"Menikah kok diam-diam. Oh, Ibu tahu, kalian nggak ada biaya mau buat pesta?"

"Nanti kami pestakan, Bu."

"Hmm. Maaf, saya tidak bisa bantu dana untuk pesta kalian." Ibu berdiri lalu beranjak ke belakang.

Sementara Rindu yang tadi ke belakang menghampiri kami.

"Mbak nginap sini?"

"Mungkin enggak, Rin."

"Aduh, kan Mbak belum ketemu Mbak Kasih sama Mas Bagus."

Loviana Kasih dan Bagus Hati adalah nama kakakku. Kasih adalah saudari kembarku yang lahir beberapa menit sebelum aku.

"Mbak Kasih sama Mas Bagus kapan pulang?" tanyaku.

"Nanti agak sorean mungkin, Mbak."

"Hm. Padahal Mbak kangen juga sama mereka, tapi kalau Mas Bagus pernah ketemu di acara kampus tahun lalu. Waktu itu Mas Bagus pematerinya, keren lah, sudah jadi pebisnis muda."

"Iya, Mbak, bisnisnya lumayan lho Mas Bagus itu. Sekarang aja Mas Bagus udah bangun rumah sendiri, siap-siap untuk istrinya nanti. katanya. Oiya, kalau Mbak Kasih, dua hari lagi tunangan loh, Mbak. Calonnya juga orang sukses nampaknya. Karyawan di perusahaan mana gitu."

"Perusahaan mana?" tanya Mas Rama penasaran. Mas Rama kenal banyak pemilik perusahaan, mungkin saja calon suami Kasih itu kerja di salah satu perusahaan teman Mas Rama.

"Kalau nggak salah, calonnya Mbak Kasih itu manajer keuangan di Aurora Corporation."

"Oh," tukas Mas Rama pelan. Jelas saja Mas Rama tahu Aurora Corporation, wong itu salah satu perusahaannya yang menggunakan nama adiknya kok, Aurora Tara.

"Perusahaannya Aurora rupanya, Mas," bisikku.

"Itu perusahaanku, hanya pakai nama Aurora dan kebetulan manajernya juga Aurora. Yah nanti memang mau kuberi aja ke Aurora separuh sahamku disitu biar dia semangat."

"Oh, jadi cowoknya kembaranku ini kerja di perusahaan kamu, Mas. Seru nih, Mas." Aku menyikut tangan Mas Rama.

"Kok seru?"

"Nanti kamu juga tahu."

"Ish, sama suami rahasiaan gitu." Mas Rama mencubit lenganku.

"Apaan sih, Mas!"

"Mbak, Mas, kelihatan banget pengantin barunya, segitu mesranya." Rindu senyum-senyum melihat tingkah kami.

"Begitulah, Rin. Oiya, kalau Mbak Kasih kerja dimana?" lanjutku.

"Mbak Kasih jadi asisten manajer di bank."

"Wah, sukses semua ya saudara Mbak."

"Eh, Mbak Cinta sendiri kerja dimana?"

"Mbak cuma bantu-bantu suami sambil rampungin kuliah." Ya. Maksudku bantu-bantu suami adalah membantu Mas Rama menjalankan beberapa perusahannya.

"Apa?" Ibu di ruang sebelah nyeletuk, "kamu jadi pembantu, Cinta? Kamu memang mengikuti jejak Bapakmu itu ya Cin, jadi babu?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status