Entah mengapa mendengar perkataan Ibu itu hatiku terasa sakit. Meski pun Bapak hanya orang miskin, tidak punya banyak harta, bahkan menjadi tukang kebun dan pembantu di rumah Mas Rama, Bapak tidak pernah meninggalkan Ibu. Bapak adalah refleksi dari lelaki yang setia pada cintanya, bukan seperti Ibu yang silau dengan lelaki lain karena melihat hartanya."Memang kalian itu keluarga babu, Cin, jangan-jangan suamimu ini juga babu, ya?" ejek Ibu dengan suara keras.Aku beranjak hendak menghampiri Ibu. Namun tangan Mas Rama mencengkeram lenganku dan ia menggeleng dengan tatapan serius."Jangan," pintanya. Aku menatap lekat-lekat wajah suamiku itu. Guratnya bukan main-main. Kalau ia sudah memasang ekspresi demikian, aku tak berani menentangnya. "Tenangkan dirimu, Lov.""Tapi, Mas ....""Akan ada waktunya, jangan sekarang. Sekarang kita hanya perlu meminta restu izin atas pernikahan kita pada ibumu, Lov. Masalah status
Mas Rama malah mencubit pipiku. "Habis kamu makin cantik kalau pakai jilbab pink gini.""Ini punya Rindu, pinjem.""Kalau gitu besok harus beli yang warna gini. Eh tapi ingat, kalau beli pakaian baru, harus ada pakaian lama yang disedekahkan ke orang lain. Nanti bisa Mas kasih ke santri Al-Mahabbah.""Kalau disuruh beli baju aku ya nggak mau, Mas.""Nggak mau?""Nggak mau nolak maksudnya.""Dasar." Mas Rama mengetuk keningku dengan dua jari."Eh, kamu kok kayak bau micin gini sih?" Mas Rama memasang ekspresi mengendus."Iya 'kan barusan bantuin Rindu masak.""Bukan itu.""Terus maksudnya apa?""Micintaimu selalu." Mas Rama nyengir."Diiih, Mas." Aku menahan senyum. Mas Rama terkekeh."Eh Mas, ada hal penting yang ingin kubicarakan. Mengenai perusahaan." Aku bermaksud memberi tahu soal perkataan Rindu tadi.Mas Rama mengernyit. "Sebaiknya kamu nggak usah ikut-ikutan dulu soal perusahaan ya. Aku khawatir ada kejadian seperti tadi pagi lagi. Lebih baik kamu fokus nyelesaikan kuliah aja."
Karena itu di depan Kasih aku ingin sekali menunjukkan bahwa aku sudah menikah dan suamiku itu bukan orang biasa. Ingin rasanya kutunjukkan, kalau aku menikahi majikan Bapak yang kaya raya hingga hartanya bisa menghidupi sampai keturunan ke delapan. Aku ingin sombong. Karena kali ini, dalam hal terpenting dalam kehidupan, untuk pertama kalinya, ia kalah dariku."Oh, ini suamimu?" Kasih memandang Mas Rama dengan ekspresi meremehkan. Entah kenapa ingin aku ungkap siapa sebenarnya Mas Rama agar pandangan remeh Kasih itu berubah jadi sesal.Mas Rama mengangguk pelan, dengan senyuman tipis."Iya," jawabku pendek. Tangan kananku menggamit lengan Mas Rama."Kamu benar-benar nggak belajar dari kesalahan Ibu, ya?" Bibir Kasih terangkat sebelah."Maksud kamu?""Cukuplah Ibu yang pernah menderita karena menikahi pria miskin!" Kalimat itu terlontar dengan nada menghina.Dadaku bergemuruh. Barangkali karena kami kembar, dan sejak dulu ia selalu menang dariku, dan ada sejentik dendam dalam hatiku i
Tara kemudian menjelaskan soal Rinaldi cukup detail. Mas Rama hanya mengangguk mendengar penjelasan Tara, sesekali juga balik bertanya."Mas mau kamu selidiki dia ya, coba cari hubungannya dengan lelaki yang bekerja di kantor gubernur, bernama Robert, bisa?""Emangnya ada apa sih, Mas?""Nanti Mas cerita kalau ketemu, ini penting. Kamu harus selidiki, dengar kata Mas ...." Mas Rama memberi perintah pada Tara untuk melakukan penyelidikan mendetail."Nanti Tara coba, Mas." Tara mengangguk kepada Rama."Bagus, adik Mas pasti bisa lah. Buat apa kamu Mas kirim ke Leads University di Inggris jurusan investigasi keuangan kalau nggak bisa dapat informasi gitu aja.""Iya, Mas. Jangan galak-galak sama adik sendiri.""Kamu itu ya, kalau Mas tegas sedikit aja bilangnya Mas galak.""Soalnya sama aku Mas 'kan kejam, aku pacaran aja nggak boleh, eh sama Mbak Cinta Mas malah romantisan terus.""Beda lah, Tara. Kalau kamu mau romantisan juga, ya cepat nikah.""Udah dulu Mas, ini buka keluar sama Mam
Azan pun berkumandang. Semua orang mengangkat minuman masing-masing dan mrmbatalkan puasa. Aku tak ada mood lagi untuk meneruskan makan kudapan. Hanya seteguk air putih saja.Sedetik kemudian ponsel Mas Rama berdering. Mas Rama refleks mengambil ponsel mahal berlogo apel kroak itu dari saku. Tampak di belakang ponsel itu ada empat kamera, dan logo apel itu berwarna emas yang artinya itu edisi khusus limited yang hanya diproduksi satu di tiap negara. Artinya, tipe ponsel Mas Rama itu hanya satu-satunya yang ada di Indonesia.Mata Ibu langsung melebar saat melihat ponsel Mas Rama. Kasih, Mas Bagus, Rinaldi dan Mira juga mengernyit keheranan. Robert melirik dengan pandangan aneh. Hayo, mau komentar apa kalian."Rindu," kataku memecah lamunan, "awas jangan menganga lama-lama gitu. Ntar masuk lalat mulutnya loh." sindirku. Padahal Rindu tak menganga sama sekali. "Saya pamit terima telepon dulu, Bu, Pak," izin Mas Rama seraya mengangguk s
"Kalau gitu disengat lebah aja lagi, biar ketemu bidadari lagi.""Dih, jangan dong!" Mas Rama memegangi pipi dengan dua tangannya. Waktu itu memang pipinya itu bengkak bak balon karna disengat beberapa lebah penyengat.Setelah kami selesai membereskan makanan dan mencuci piring, kami bersiap-siap pergi ke mushola untuk salat isya dan tarawih berjama'ah. Aku meminjam baju rindu dan Mas Rama kupinjamkan baju Mas Bagus.Ketika kami melewati ruang tamu hendak keluar rumah, tiba-tiba Rinaldi, pacar Kasih, menyeru pada Mas Rama."Hei Rama! Ternyata kamu juga suka main proyek gelap ya?" katanya sambil menurunkan kaki yang tadi disilangkan."Maksudnya?" dahi Mas Rama berkerut. Langkah kami terhenti."Kalau nggak kok bisa kamu beli ponsel mahal seperti itu yang harganya bisa lima puluh jutaan?""Maksud Mas Rinaldi apa ya?" tanya Mas Rama sambil agak menyipitkan mata."Itu uang mana yang kamu embat?""Saya InsyaAllah tidak pernah mengambil hak siapapun, kok.""Jangan sok polos kamu, Rama. Aku t
Bab 12 Jangan Ketahuan DuluMas Rama dan aku sudah janjian dengan Pak Ali untuk berkunjung dan berbincang-bincang dengannya esok. Besar harapan kami untuk dapat menggali informasi soal Robert, yang berkemungkinan ada hubungannya dengan masalah perusahaan Rama Corps.Setelah shalat tarawih malam itu, kami kembali ke rumah Ibu tepat pukul 21.00. Rindu berbaik hati meminjamkan kamarnya untukku dan Mas Rama, sementara ia mengungsi ke kamar Kasih. Tentu saja Kasih menggerutu panjang kali lebar. "Aku kok jadi takut ya, Mas." Aku menyandar ke punggung Mas Rama yang duduk di ranjang sambil memainkan ponsel."Takut kenapa?" Mas Rama meletakkan ponselnya."Kalau Pak Robert tahu kamu pemilik Rama Corps, gimana?""Jangan sampai tahu dulu.""Tapi lama-lama pasti tahu.""Setidaknya saat itu tiba, kita udah siap-siap.""Kalau Ibu dan Kasih tahu kalau kamu itu kaya, gimana ya ekspresi mereka?""Kalau itu entah ya, nggak penting juga mereka tahu aku kaya atau nggaknya nanti. Yang penting, kita bongka
Bab 13 Mengerjai IbuKami diam, hanya saling tatap sambil meletakkan telunjuk ke bibir. Tawa kutahan."Rindu, makanan sahur mana?!"Aku membungkam mulutku sendiri."Udah mau insyaf ini, belum sahuur.""Imsak kali, bukan insyaf," gumamku pelan.Memang seharusnya Ibu insyaf dulu sebelum waktu imsak datang.Sebenarnya, makanan untuk sahur sudah ada di dalam kulkas, tinggal menghangatkan saja. Ibu saja yang teramat malas hingga tak kepikiran untuk membuka kulkas. Semuanya mengandalkan tenaga Rindu. Ah, katanya orang kaya, tapi kenapa nggak ambil pembantu aja sih. Malah anak sendiri dijadikan babu."Rinduuu, Cinta!" pekik Ibu seperti frustasi.Rindu mau beranjak dan hampir menyahut. Namun aku segera menahan tangannya dan menggeleng cepat ia agar tetap diam di tempat. Mas Rama ikut cekikikan. Kadang Mas Rama juga bisa diajak bercanda sesekali. Bahkan memang sering jahil juga.Jam setengah lima dan 9 menit lagi imsak. Saatnya keluar kamar. Ibu, Kasih dan Mas Bagus duduk di meja makan dengan