Home / Romansa / AKU SANG ISTRI BOSS / Si Tukang Pamer dibalas Kontan

Share

Si Tukang Pamer dibalas Kontan

Author: Ara Hakim
last update Last Updated: 2022-12-10 13:01:49

Entah mengapa mendengar perkataan Ibu itu hatiku terasa sakit. Meski pun Bapak hanya orang miskin, tidak punya banyak harta, bahkan menjadi tukang kebun dan pembantu di rumah Mas Rama, Bapak tidak pernah meninggalkan Ibu. Bapak adalah refleksi dari lelaki yang setia pada cintanya, bukan seperti Ibu yang silau dengan lelaki lain karena melihat hartanya.

"Memang kalian itu keluarga babu, Cin, jangan-jangan suamimu ini juga babu, ya?" ejek Ibu dengan suara keras.

Aku beranjak hendak menghampiri Ibu. Namun tangan Mas Rama mencengkeram lenganku dan ia menggeleng dengan tatapan serius.

"Jangan," pintanya. Aku menatap lekat-lekat wajah suamiku itu. Guratnya bukan main-main. Kalau ia sudah memasang ekspresi demikian, aku tak berani menentangnya.

"Tenangkan dirimu, Lov."

"Tapi, Mas ...."

"Akan ada waktunya, jangan sekarang. Sekarang kita hanya perlu meminta restu izin atas pernikahan kita pada ibumu, Lov. Masalah statusku nanti Ibu akan tahu di waktu yang tepat. Namun Mas mohon jangan sekarang. Biarkan, biarkan Ibu berbicara semaunya jangan dibantah, tahan saja."

"Baik, Mas." Aku mengalah pada Mas Rama.

Tak lama kemudian adzan asar berkumandang. Mas Rama minta izin untuk ke mesjid melaksanakan shalat berjamaah. Aku shalat di kamar Rindu. Kemudian kami meneruskan obrolan sembari menunggu dua saudaraku yang lain pulang kerja.

Tak sampai lima menit setelah kami shalat, suara mobil berhenti di depan rumah.

"Itu pasti Papa Robert," tukas Rindu, "ayo Mbak, Rindu kenalin sama Papa." Rindu menarik tanganku untuk bertemu Papa tirinya itu. Aku mengikuti.

"Pa, ini Mbak Cinta, kembarannya Mbak Kasih itu lho," tukas Rindu pada lelaki beruban dengan wajah tegas itu.

"Oh, si Cinta itu?" Robert menatapku. "Cantik seperti ibumu."

"Terimakasih, Pak Robert."

"Ah, kamu juga harus memanggilku Papa, Cinta."

Aku tersenyum. "Maaf, Pak Robert. Izinkan saya untuk tidak memanggil Papa, karena bagi saya Bapak saya hanya Tegar Pribadi. Sekali lagi maaf."

Robert hanya tersenyum tipis. Ada gurat kecewa yang tersirat dari senyumnya itu.

"Baiklah, kalau begitu saya bersih-bersih dulu. Oiya, kamu buka puasa disini ya, Cinta. Santai aja, anggap rumah sendiri. Kalau perlu apa-apa, minta sama Rindu."

"InsyaAllah, Pak Robert."

Robert kemudian beranjak dan memasuki kamarnya.

"Pak Robert kerja dimana?" tanyaku pada Rindu, basa-basi.

"Oh, di kantor gubernur. PNS. Ada bisnis kecil-kecilan juga, itu yang membuat Papa banyak duit. Beberapa hari lalu Papa lagi seneng katanya dapat proyek gelap."

"Proyek gelap?"

"Iya. Emang proyek gelap itu apa sih, Mbak? Nggak tahu sih detailnya gimana, katanya dapat dari temannya yang manajer perusahaan gitu."

"Aurora Corps?"

"Nah itu juga. Tapi ada perusahaan lain."

"Perusahaan apa yang lain itu, Rin?"

"Kalau gak salah, Rama Corporation deh."

"Hah?" Tanganku langsung mendekap mulut karena ternganga. Mataku melebar sempurna.

"Rin, kita omongkan di luar aja!" Aku menarik tangan Rindu dan menyeretnya ke teras rumah.

"Kenapa, Mbak?"

Gadis enam belas tahun itu masih terlalu lugu, belum paham rupanya soal "proyek gelap". Bahwa itu adalah sebuah persekongkolan untuk menyelewengkan sesuatu. Dan tentu saja itu bukan hal yang benar.

"Proyek gelap, apa aja yang kamu tahu soal itu?" Aku meletakkan jari telunjuk ke bibir agar Rindu tak bicara keras-keras. "Papa kamu itu ada proyek gelap di Rama Corporation 'kan, terus siapa rekan Papa itu di perusahaan? Pasti ada orang dalam yang membantunya langsung 'kan."

Rindu menggeleng tanda tak paham apa yang kukatakan.

"Maksudnya apaan sih, Mbak?"

"Hmh, sudahlah." Aku pun tak mau memaksanya, percuma. Ia takkan mengerti begitu saja. Urusan seperti ini harusnya ditangani langsung oleh Mas Rama.

Aku tak menyangka Robert mendapat proyek terselubung dari Rama Corps. Ingatanku langsung terlempar pada Brian dan Mei serta beberapa petinggi lain. Pesta mereka tadi pagi, bukannya itu merayakan keberhasilan proyek? Lalu proyek yang mana?

Apa proyek yang diselesaikan Brian dan Mei itu barangkali adalah proyek gelap yang disinggung Rindu. Proyek yang berhubungan dengan Robert pula. Dengan kata lain, Robert ada hubungannya dengan Brian.

Deduksiku tak dapat langsung lompat pada kesimpulan. Tentu saja sebelum mengambil dugaan aku harus mengumpulkan bukti fakta yang mengarah pada kebenaran. Dan untuk mendapatkan bukti itu, aku harus mencari tahu, menyelidiki, tanpa diketahui kalau aku sedang mencari.

Kunci pertama tentu saja pada Robert dan Brian. Kalau mau mendapatkan keterangan lebih lanjut, aku harus dekati Robert. Pun Brian sebaiknya tidak boleh dipecat dulu, ia harus dilucuti diam-diam hingga terkuak semua fakta ketidakberesan yang sudah terendus dari awal itu.

"Mbak, kok bengong?" Rindu mengibaskan tangannya di depan mataku, membuatku sadar dan mengerjap beberapa kali.

"Eh, maaf Rindu, Mbak tadi kepikiran sesuatu. Oiya, apa selama ini Pak Robert sering dapat proyek gelap?" Aku meletakkan tangan ke bahu Rindu dan menatapnya serius.

"Se-ring barangkali, Mbak," jawab Rindu tergagap tanda tak yakin. "Emangnya kenapa sih, Mbak?"

Aku melepaskan tanganku dari bahu Rindu. "Nggak apa-apa. Oiya, makasih sudah nggak bilang ke Ibu waktu Mbak menikah sebulan lalu ya. Kamu emang adik yang bisa diandalkan." Aku menepuk pelan lengan atas Rindu.

"Iya, Mbak. Kalau itu aman pastinya. Tapi jangan lupa lho Mbak bilang mau beliin aku sepeda."

"Gampang kalau itu, sekalian Mbak beliin motor aja ya?" Aku mengelus kepala Rindu yang dibalut jil##Bab ungu muda.

"Waaah, beneran Mbak?" mata Aimissa Rindu berbinar.

"Iya, tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?"

"Tinggu kamu ulang tahun ke tujuh belas."

"Yah, masih setahun dong." Rindu memanyunkan bibir dua senti ke depan.

"Nggak lama, tinggal berapa bulan lagi aja, kok."

"Iya deh. Ayo Mbak, bantu Rindu nyiapin makanan untuk buka puasa."

Aku mengangkat tangan memberi tanda 'okay'. Lalu kami lekas pergi ke dapur untuk membuat kudapan.

"Ibu nggak ikut nyiapin buka puasa, Rin?" tanyaku basa-basi sambil memotong buah blewah.

"Paling nanti nongol dari kamar pas deket azan maghrib, Mbak. Mbak Kasih juga, pulang kerja langsung mandi terus kalau udah azan baru ke meja makan. Mas Bagus kadang bantuin kalo pulang cepet."

"Ooh."

Tak lama waktu berselang, terdengar suara salam dari Mas Rama. Aku lekas mencuci tangan dan menemuinya, dan mencium tangannya. Kebiasaan seperti itu selalu kami lakukan kala Mas Rama pulang dari masjid. Namun kali ini berbeda, tiba-tiba Mas Rama meraih kepalaku dan mengecup kening.

"Mas, puasa!" Mataku melotot.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU SANG ISTRI BOSS   108. Mencari Reno

    PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-

  • AKU SANG ISTRI BOSS   107. Kebakaran

    “TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny

  • AKU SANG ISTRI BOSS   106. Ancaman Para Debt Collector

    “PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah

  • AKU SANG ISTRI BOSS   105. Mendadak Tegang

    SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   104. Aku Mau Mandiri

    “Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   103. Para Penagih Utang

    BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status