Keputusan menghadiri pesta ulang tahun temannya membawa Kiara pada kesalahan satu malam yang fatal. Kiara mencoba melupakan malam itu, tapi apa jadinya jika lelaki yang ia coba lupakan justru hadir sebagai suami dari sahabatnya yang telah lama tak bertemu. Kini, Kiara dihadapkan pada dilema yang menghancurkan. Haruskah ia mengungkapkan kebenaran dan menghadapi konsekuensi yang tak terduga, atau menyimpan rahasia ini, berharap waktu akan menghapus jejak dosa satu malam yang telah ia lakukan?
View MoreSelama dua puluh sembilan tahun aku hidup di dunia ini, aku tak pernah melakukan kesalahan. Semua yang berjalan tersusun rapi sesuai dengan keinginanku. Aku wanita single dengan karier yang cemerlang, wajah cantik dan tubuh yang proporsional menjadi nilai lebih dalam diriku.
Bangga? Tentu saja, aku begitu mengagungkan apa yang aku miliki hingga satu malam yang menghancurkan kepercayaan diriku. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bernapas saat terbangun di samping sosok lelaki asing yang tak kukenal. Kegelapan masih menyelimuti kamar. Aku bahkan tak berani bergerak, takut gerakan sekecil apa pun membangunkan sosok asing di sampingku. Napasku dangkal, tubuhku kaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku mencoba mengingat, mencari serpihan kejadian yang bisa menjelaskan mengapa bisa ada di sini. Pikiran mengembara ke malam sebelumnya di mana aku menghadiri pesta ultah salah satu temanku di sebuah bar. Layaknya orang dewasa pada umumnya kami bersenang-senang dengan meminum alkohol sekedar untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Suara tawa, dentingan gelas, kebebasan yang terasa begitu menyenangkan. Aku termasuk seseorang yang bisa bertoleransi terhadap alkohol, tetapi semalam terasa ada sesuatu yang berbeda. Aku mengingat kilasan wajah-wajah yang samar di bawah cahaya remang, suara musik yang semakin memekakkan dan gelas yang entah sudah berapa kali berpindah ke tanganku. Di bawah pengaruh alkohol aku menjadi seperti kuda liar yang hilang kendali. Aku melakukan hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Bermain-main pada seorang pria dan berakhir di atas ranjang ini. Jantungku berdebar makin cepat saat aku mencoba menggeser tubuhku, mencari celah untuk bangkit tanpa membuat suara. Kamar ini sunyi, hanya ada dengungan samar dari pendingin ruangan dan napas pelan dari sosok di sampingku. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri yang mulai dikuasai ketakutan. Kenapa aku bisa melakukan ini? Ada rasa tidak percaya di hatiku, tapi rasa sakit di sekujur tubuh dan organ vital yang berada di antara ujung pangkal pahaku cukup menegaskan semuanya. Aku benar-benar melakukannya! Jantungku berdetak semakin cepat saat sosok di sampingku bergerak, menghela napas pelan. Aku kembali menelan ludah, menahan diri agar tidak panik dengan hati yang terus berbisik untuk segera keluar dari tempat ini. Tangan rampingku bergerak pelan mengangkat ujung selimut putih dibagian kaki, sementara mata ini bergerak cepat mencari pakaianku yang entah ada di mana. Saat ujung jari menyentuh kain di lantai, suara berat terdengar dari belakang menggetkanku. "Kamu sudah bangun?" Tubuhku membeku dengan tangan yang masih menahan selimut untuk menutupi dada. Suara itu asing, tapi penuh ketegasan. Aku memejamkan mata sejenak, menenangkan laju jantungku sebelum menoleh. Dan saat tatapan kami bertemu, duniaku yang sempurna terasa retak untuk pertama kalinya. Tatapan itu mengunci tubuhku di tempat. Pria di depanku tidak terlihat canggung maupun terkejut—seolah semua yang terjadi adalah bagian dari suatu kenyataan yang sudah ia pahami. Berbeda dariku, yang merasa seperti seseorang yang baru saja terhempas dari dunia yang baru kukenal. Aku ingin bertanya. Aku ingin marah. Tapi bibirku tetap terkunci, sementara pikiranku berputar lebih cepat daripada yang mampu kuproses. "Siapa kamu?" Aku akhirnya berbicara, suara yang keluar nyaris bergetar. Pria itu tidak menjawab langsung. Ia mengamati wajahku sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu, sebelum akhirnya menghela napas dan berkata. "Apa kamu tidak mengenalku?" Aku mengerutkan kening, mencoba menelusuri memoriku yang terasa kabur dan berantakan. Aku menatap pria itu lebih lama—struktur wajahnya, garis rahangnya, sorot matanya yang tajam namun tidak mengancam. Tak ada gambaran di kepalaku tentang siapa sosok dirinya. Aku menggeleng pelan, aku sedang tak ingin bermain teka-teki saat pikiran kusut seperti ini. "Aku tak tahu siapa kamu dan kenapa kita berdua bisa berakhir di atas ranjang ini. Tapi aku rasa kita bisa menganggap ini sesuatu yang biasa bukan. Anggap saja semua yang terjadi semalam sebatas angin lalu." Angin lalu? Aku ingin tertawa. Tidak ada yang terasa seperti angin lalu saat tubuhku masih merasakan sisa-sisa kejadian semalam. Pria itu menggeser posisinya, bersandar pada sisi ranjang. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?" Tatapan pria itu semakin dalam, seolah mencari sesuatu di wajahku. Keraguan, kepanikan atau mungkin jejak kejujuran yang tersembunyi. Aku tidak tahu. Yang jelas, detik ini aku ingin keluar dari ruangan ini sebelum semuanya semakin rumit. Aku menarik napas pelan, berusaha mengendalikan diri, lalu berkata dengan suara setenang mungkin, "Aku yakin. Aku tidak peduli siapa dirimu dan aku hanya ingin pergi dan biarkan semua yang terjadi hanya sebatas ini." Pria itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia menarik pinggangku hingga kini kulit tubuh kami yang polos kembali bergesekan menghadirkan desir di jantungku bagai tersengat listrik ribuan volt. "Aku tak menyangka kamu akan bereaksi seperti ini," katanya akhirnya, nadanya tenang tapi penuh ketegasan. "Tapi bagaimana kalau aku tidak setuju dengan apa yang kamu katakan itu?" Tubuhku semakin menegang ditempat dengan pikiran yang semakin berkecamuk. "Be-berapa yang kamu inginkan? Aku akan membayarnya," ucapku mulai terbata. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dengan kehidupanku selanjutnya jika semua yang terjadi malam ini berubah menjadi skandal panas. Nama baikku sebagian wanita single terhormat akan tercemar. Lelaki di hadapanku ini tersenyum mengejek. Mataku tak sengaja melihat sebuah benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya yang membuatku mengerti arti senyuman itu dan juga menampar harga diriku. Apa pantas aku menawarkan harga pada lelaki yang memakai jam seharga dua milyar di tangannya? "Sorry, aku tahu mungkin kamu tak membutuhkan uang. Tapi melupakan semua ini juga tak membuatmu rugi kan!" Lelaki itu mendekatkan wajahnya dan semakin mengikis jarak diantara kami. Aku ingin menghindar dengan mendorong dada bidangnya, namun tenagaku tak cukup kuat. "Ini yang pertama bagiku dan kamu harus bertanggungjawab!" bisiknya di telinga. Untuk sesaat aku mencoba mencerna ucapannya sebelum akhirnya aku terkejut tak percaya. "Apa? Jangan bercanda!"Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini aku duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded. Mata dan hatiku terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang kuketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, aku melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi diriku sendiri. Aku ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan orang lain. "Ok, selesai!" Satu kali tekan "enter" seluruh foto yang sudah kususun rapi seperti album pun terkirim di blog pribadik
Pagi hariku kini dipenuhi dengan kekhawatiran hutang yang sudah mendekati jatuh tempo. Rasanya seperti menarik beban batu besar yang membuat seluruh tubuhku sakit. Aku menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat , tak ada gelak tawa yang mengiringi pagi. Hanya sunyi, seolah mencerminkan isi pikiranku yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring bersih tertata rapi, tapi perutku bahkan tak punya selera untuk diisi.Kepalaku terasa berat. Masalah yang datang bertubi-tubi seperti ribuan batu yang menimpaku tanpa rasa kasihan. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap bisa mengusir rasa sesak yang mengikat dada. Tapi udara pagi pun kini terasa berat, seolah ikut menambah beban yang sudah terlalu lama kupikul.Pikiranku terus berputar—mencari jalan keluar, mencari harapan. Tapi hari-hari terasa semakin sempit. Seolah setiap detik yang berlalu hanya mengantarku lebih dekat pada jurang. Sampai kapan aku harus seperti ini? Sampai kapan aku b
"Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?"Kehadirannya cukup membuatku kaget. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini setelah semua tentangnya hilang dalam hidupku selama beberapa waktuDiego mengabaikan pertanyaanku. Tangannya kembali menarik tanganku untuk ikut dengannya. Lagi-lagi aku berusaha untuk menepis tangannya, tetapi apa yang kulakukan tak membuatnya bergeming.Ia membawaku ke mobilnya dan menekan tubuhku di kursi samping supir. Jarak di antara kami terlalu dekat hingga hembusan napasnya membelai telingaku."Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya," ucapan Diego terdengar begitu dingin, bulu kudukku terasa meremang. Aku mengernyitkan kening untuk mencerna siapa yang ia maksud. Aku menatap matanya, mencari petunjuk tentang siapa yang sedang ia bicarakan. Tapi mata gelapnya, dipenuhi dengan sesuatu yang tak bisa langsung kuterjemahkan—antara cemburu, marah, atau justru ... sakit h
Setelah kejadian semalam, aku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak dan selalu gelisah. Menuliskan keluh kesahku kepada molly pun tak juga bisa membantu. Aku seperti berlomba lari dengan waktu. Seminggu yang diberikan untuk mengumpulkan sembilan ratus juta terasa sangat mustahil. Siang ini aku menemui seseorang yang kuharap bisa sedikit membantu. Aku bisa saja menjual mobil dan apartemen, tetapi masalah menjual aset tak seperti menjual cabe di pasar sabtu. "Tumben lo ngajak gue ketemuan. Kangen ya?" ucap lelaki berambut kuning ini padaku. Alis matanya naik turun menggoda dapat menghadirkan sedikit senyum tipis di bibirku. Dia pamanku dan usianya terpaut tak jauh dariku, tentu saja terasa tak nyaman jika aku harus memanggilnya om atau paman. "Aku butuh uang. Bisakah kamu memberiku uang?" pintaku langsung tanpa adanya basa-basi. "Berapa?" balas Reymond santai sembari meminum minumannya. "Sembilan ratus juta." Seketika cairan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya tersemb
"Sekarang Mama puas?"Aku berbalik menatap tajam wanita yang telah menghadirkan ku ke dunia ini. Air mata yang telah kering kini kembali mengalir menghadirkan jejak baru di pipi dan menambah luka yang belum sembuh. "Kamu ngomong apa, Kak? Jangan salahkan Mama. Mama gak semuanya akan jadi seperti ini.""Diam kamu! Semua ini karena kamu!" Bentakku kencang hingga keduanya tersentak. Langkah kakiku mendekat padanya. "Karena aku? Apa tidak salah. Kamu menyalahkan semuanya padaku."Nara bangkit dan membalas tatapan mataku. Tak ada rasa bersalah yang tergambar di wajahnya, seakan apa yang terjadi memang seharusnya menjadi tanggung jawabku. "Karena semua ini memang karena kamu. Aku yakin kamu yang selalu memprovokasi Mama untuk melakukan bisnis itu. Aku yakin, yang menjadi perantara pasti pacar kamu yang pengangguran itu kan?" tukasku cepat. Bola mata Nara melebar menunjukkan jika dirinya tak terima dengan ucapanku. Tetapi k
"Dari awal aku sudah bilang untuk tidak melakukan apa yang tidak Mama mengerti. Mama selalu saja gagal dalam bisnis. Apa Mama lupa berapa banyak uang yang hilang melayang untuk bisnis Mama yang tidak pernah ada hasilnya itu!"Dadaku naik turun dengan nafas yang menderu cepat. Rasanya otakku ingin meledak saat ini juga. “Mama tak tahu kenapa bisa jadi begini” suara Mama akhirnya pecah, pelan dan nyaris putus asa. “Semua ini Mama lakukan karena mereka menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Mama hanya ingin memiliki usaha sendiri tanpa bergantung pada siapa pun.”Hatiku berkecamuk. Antara marah karena tidak diberi tahu sejak awal, bingung harus berbuat apa dan sedih karena merasa dijadikan tameng. Aku ingin berteriak, ingin mempertanyakan semuanya—kenapa harus aku yang diseret? Kenapa utang sebesar itu bisa terjadi tanpa sepengetahuanku?“Kenapa tidak mendengarkan ucapanku dari awal?” tanyaku, suaraku mulai bergetar. “Kalau saja Mama tidak keras kepala, semua ini tak akan terjadi. Tap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments