Share

Bab. 2 Foto Suami Bersama Wanita

Foto Suami Bersama Wanita

"Lah … lalu bayi yang didorong Bang Faiz, bayi siapa?" tanya Vera panik.

“Entahlah Ver, aku pun tak tau. Begini saja, aku boleh minta tolong, Ver?” ucapku pelan.

“Tentu bisalah! Apa sih yang nggak aku buat untuk sahabatku ini? Ngomong aja, aku bisa bantu apa?” ucap Vera bersemangat.

“Tolong kamu ikutin kemana Bang Faiz bawa bayi itu. Sama siapa dia di tempat itu. Trus ... jangan lupa fotoin and kirim ke aku ya, Ver!” pintaku pada Vera. Aku harus tau bayi siapa yang sedang dibawa oleh Bang Faiz. 

“Oke, Rat. Tunggu ya, detektif Vera akan segera beraksi.” Setelah mengatakan itu, Vera menutup sambungan telepon.

Hatiku berdebar tak menentu. Ingin marah tapi belum ada bukti kuat kalau Bang Faiz sedang berbuat macam-macam di sana. Sebaiknya kutunggu saja kabar dari Vera.

Tak lama, gawaiku berbunyi lagi. Sebuah pesan gambar masuk ke aplikasi berwarna hijau di hapeku. 

Aku bergegas membukanya. Seketika aku terperanjat menyaksikan foto yang baru saja dikirim oleh Vera. Foto Bang Faiz bersama seorang wanita yang sedang menggendong bayi. Chintya, ya ... dia Cintya. Wanita yang dijodoh-jodohkan Kak Intan untuk Bang Faiz dulu. 

Netra ini mulai kabur karena dipenuhi butiran-butiran air yang sudah siap untuk meluncur. Sakit rasanya hati ini, lelaki yang sangat aku cintai dan kupercayai sepenuh hati ini, teganya bermain di belakangku. 

Sejak kapan Bang Faiz bersama Chintya? Apakah semenjak dua tahun belakangan ini? Bang Faiz sering pergi ke Medan dan Kota-kota lain, apakah itu hanya sebuah alasan, padahal sebenarnya dia menemui Chintya.

Anak itu? Apakah itu anak Bang Faiz dengan Chintya? Dadaku semakin sesak, melihat bayi yang berada di dalam gendongan Chintya. Kalau bayiku ada di sini sekarang, tentu sudah sebesar itu. Ya Allah, aku tak tau harus berbuat apa. Aku tak mau gegabah mengambil tindakan. Sebaiknya kuselidiki dulu tentang Chintya. Aku akan minta bantuan Vera. Dia pasti bisa membantuku. 

Aku harus menelepon Bang Faiz. Aku ingin tahu dia sedang berada dimana sekarang.

Kutekan nomor telepon Bang Faiz. Tak menunggu lama, panggilanku tersambung.

“Halo, Sayang. Assalamualaikum,” ucap Bang Faiz terdengar riang sekali.

“Waalaikumsalam. Abang dimana? Udah sampai apa belum? Kok belum kasih kabar sampai sekarang?” cercaku pada Bang Faiz. Seolah aku tak tahu apa yang sedang dilakukannya di sana. Bang Faiz tak langsung menjawab. Mungkin dia sedang mengarang jawaban yang pas. 

“Oh ... ini ... anu, Abang tadi langsung belanja, Dek. Jadi belum sempat menelepon Adek. Maaf ya, Sayang!” jawab Bang Faiz gelagapan.

“Oh, ya udah. Adek pikir belum sampai makanya Abang tak menelepon. Abang lanjutkan belanjanya, ya! Assalamualaikum.” Aku menutup panggilan telepon segera. Malas rasanya mendengarkan alasan-alasan yang dibuat-buat oleh Bang Faiz. Lelaki yang bergelar sumiku itu sudah mulai banyak bohongnya. 

Apa yang menyebabkan Bang Faiz mendua? Apakah karena aku gagal menjadi ibu? Tapi, semua bukan inginku. Bayi perempuan mungil yang berhasil kulahirkan secara normal itu harus pergi meninggalkanku. Tak ada yang tahu siapa yang telah membawanya dari klinik waktu itu. CCTV yang kuharapkan dapat memberikan petunjuk, ternyata sedang rusak saat itu.

Enam tahun kami menunggu kehadirannya. Banyak sudah pengobatan medis dan alternatif yang kami lalui. Namun, baru saja kebahagiaan itu datang, aku sudah harus kehilangan bayi itu.

Aku tak boleh tinggal diam. Besok, aku harus kembali ke rumah Bang Faiz. Akan kubongkar kebusukan yang sudah disimpan Bang Faiz di belakangku. 

*** 

[Assalamualaikum, Bang. Tolong jemput Adek besok ya, Bang. Adek mau pulang ke rumah Mama] 

Kukirim sebuah pesan kepada Bang Faiz. Ibu dan Bapak pun menyetujui keinginanku untuk pulang ke rumah Bang Faiz. 

"Pulanglah, Nak! Tak baik suami istri tinggal jauh terpisah dalam waktu yang lama" ucap Bapak kala aku mengutarakan maksudku malam ini. 

"Iya, Sayang. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Kamu harus kembali menata rumah tanggamu bersama Faiz. Kasihan dia harus bolak balik ke sini," ucap Ibu sembari mengusap lembut kepala ini. Aku tak menceritakan tentang kejadian tadi siang kepada mereka. Biarlah, aku yang akan menyelesaikan sendiri masalah ini.

Aku kembali masuk ke kamar ketika Bang Faiz menelepon. 

"Halo, assalamualaikum, Sayang!" ucap Bang Faiz masih seperti biasa. 

"Waalaikumsalam. Sudah baca pesan Adek, Bang?" tanyaku pada Bang Faiz.

"Sudah, Sayang. Kok, mendadak?" tanya Bang Faiz lagi.

"Kenapa? Abang tak suka?" tanyaku balik.

"Bukan … bukan begitu, Sayang. Ya pasti Abang senanglah Adek mau pulang ke rumah Mama. Ya sudah, besok pagi-pagi sekali Abang langsung berangkat. Abang Masih di Medan, Abang langsung saja dari sini ke rumah Bapak, ya. Tunggu Abang ya!" 

"Iya, Bang." Langsung kututup panggilan telepon itu setelah mengucapkan salam. Hatiku belum bisa menerima kecurangan Bang Faiz. Itu sebabnya aku malas berbicara terlalu lama dengannya. 

Aku beranjak dari tempat dudukku lalu duduk di atas ranjang. Kurebahkan perlahan diri ini, berharap mataku mau terpejam. Namun, bayangan tentang Bang Faiz bersama wanita dan seorang anak bayi terus menari di pikiranku. 

"Tega kamu, Bang. Apa salahku. Selama ini kau begitu sayang dan perhatian padaku. Tapi ternyata, kau bermain api di belakangku. Belum lagi kesedihanku sirna karena kehilangan anak kita. Kini kau tambah lagi penderitaanku," ucapku lirih. 

Kuremas kain sprei yang menutup ranjang ini. Sakit rasanya hati ini. Air mataku jatuh berderai tak terbendung lagi. Aku marah, aku benci pada Bang Faiz. Hancur sudah hati ini. 

Malam terus berlalu, mataku tak juga mau terpejam. Kubuka berulang kali foto Bang Faiz dengan wanita itu. Kembali, air mataku menganak sungai. Sulit … sulit rasanya menerima kenyataan pahit ini. Hatiku terluka begitu dalam. 

Entah jam berapa mata ini mulai terpejam. 

Tok! Tok! Tok!

"Ratna … ratna!" Sayup-sayup kudengar suara Ibu memanggilku. 

"Astagfirullah!" ucapku seketika ketika melihat jam dinding sudah menunjuk di angka tujuh. Aku bergegas beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu.

"Matamu bengkak, Nak. Kau menangis?" tanya Ibu menatap heran wajah ini.

"Nggak, Bu! Mungkin karena kena debu tadi siang, jadi iritasi," jawabku berbohong.

"Ya sudah, cepat mandi, lalu sarapan! Baju-bajumu sudah dikemas semua?" tanya Ibu lagi.

"Iya, Bu. Sudah!" Aku bergegas mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi. Aku memang sedang tak bisa salat karena datang bulan.

Aku sedang berbincang dengan Bapak dan Ibu sembari menonton televisi. Sebentar lagi Bang Faiz akan sampai. Katanya lewat telepon tadi, dia sudah dekat.

"Assalamualaikum!" ucap Bang Faiz di depan pintu. Aku bergegas membukakan pintu dan mempersilahkan Bang Faiz masuk. 

Setelah Bang Faiz selesai makan dan beristirahat sejenak. Kami pamit kepada Bapak dan Ibu untuk pulang ke rumah Bang Faiz.

"Tak menginap dulu, Faiz?" ucap Ibu.

"Maaf, Bu. Untuk saat ini, Faiz tak bisa menginap. Ada barang-barang toko yang akan sampai besok," balas Bang Faiz.

Setelah berpamitan, kami masuk ke dalam mobil. Kulambaikan tangan kepada kedua orang tuaku yang sudah susah payah mengembalikan keceriaan di diri ini.

Mobil yang dikendarai Bang Faiz melaju membelah jalanan yang sudah lumayan ramai. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku kecuali ada beberapa pertanyaan dari Bang Faiz yang mau tak mau harus kujawab. 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan bagiku, karena semalaman kurang tidur. Kami sampai di rumah Bang Faiz. Aku langsung masuk ke kamar. 

Hal pertama yang kulakukan adalah membuka lemari tempat popok-popok dan baju-baju bayiku kusimpan. Aku sudah rindu untuk melihatnya.

"Loh … lemarinya kok kosong?" ucapku terkejut ketika melihat isi dalam lemari bayiku sudah tak ada lagi. Kemana semua popok dan baju bayiku? Jangan-jangan ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status