Share

Bab. 3 Kemana Popok Bayiku?

Kemana Popok Bayiku?

Loh … lemarinya kok kosong?" ucapku terkejut ketika melihat isi dalam lemari bayiku sudah tak ada lagi. Kemana semua popok dan baju bayiku? Jangan-jangan ….

Aku bergegas berlari ke luar kamar mencari Bang Faiz.

"Bang … Bang Faiz!" teriakku memanggil Bang Faiz.

"Hei … Ratna, baru sampai sudah teriak-teriak. Ada apa?" tanya Mama mertuaku ketus.

"Ratna mencari Bang Faiz, Ma. Mama melihatnya?" Mama hanya mengangkat bahu dan mencebikkan bibirnya.

"Untuk apa mencari Bang Faiz? Bukankah dari tadi dia bersama Kakak?" ucap Maya dari bang pintu kamarnya.

"Ada apa, Ratna? Abang ambil minum di dapur." Bang Faiz keluar dari dapur.

"Itu Bang, kemana semua popok-popok dan baju-baju bayi yang kusimpan di lemari? Lemarinya kosong!" ucapku panik.

"Oo … itu. Eeee … anu—"

"Mama sumbangkan ke panti asuhan." Mama memotong ucapan Bang Faiz.

"Mama menyumbangkannya? Kok gak ngomong dulu sama Ratna, Ma? Itukan punya Ratna, Ma." Aku kesal pada Mama yang lancang mengambil barang milikku. 

"Untuk apa disimpan-simpan lagi, Ratna? Bayimu sudah tidak ada. Kau harus terima kenyataan," ucap Mama lantang. Dadaku naik turun menahankan emosi. Aku tak menyangka Mama selancang itu.

"Walau bagaimana pun, seharusnya Mama izin dulu padaku," ucapku tak kalah lantang.

"Woww … baru beberapa bulan tinggal di rumah orang tuamu, kau sudah berani mengatur-atur Mama, ya! Uang siapa yang kau pakai untuk membeli popok itu, hah? Uang Faiz, bukan? Jadi, jangan atur-atur apa yang harus Mama lakukan! Faiz! Ajari istrimu bersopan santun pada Mama." Mama melirik ke arah Bang Faiz, lalu meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya.

"Sudahlah, Sayang. Biarlah popok-popok itu disumbangkan ke panti asuhan. Lebih bermanfaat dari pada kita simpan, lama-lama di dalam lemari, mubazir, malah jadi dosa, kan?" Bang Faiz mencoba menenangkanku.

"Tapi, Bang. Mama tak menyisakan sehelai pun," gerutuku.

"Sudahlah, nanti kita beli lagi. Yang penting, usaha kita tidak berhenti untuk mencari keberadaan putri kecil kita." Bang Faiz mengajakku masuk ke dalam kamar.

"Ada yang ingin kutanyakan pada Abang," ucapku sembari meletakkan bobotku di tepi ranjang.

"Hemmm, apa itu, Dek?" Bang Faiz menatap sendu wajah ini. Kukeluarkan benda pipih berukuran 5 inci dari saku gamisku. Kubuka foto yang kemarin dikirimkan Vera kepadaku.

"Ini, Bang, bisa Abang jelaskan tentang foto ini? Ada hubungan apa Abang dengan Cintya?" tanyaku penasaran. Bang Faiz menatap lekat ke arah layar gawaiku. 

"Oohh … itu, ya, kemarin Abang memang bertemu dengan Cintya. Dia sedang berbelanja dan barang belanjaannya banyak sekali. Jadi Abang bantu mendorong kereta bayinya sampai ke parkiran," ucap Bang Faiz tenang. Dari sorot matanya, aku tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Apakah Bang Faiz jujur dengan ucapannya?

"Tapi … kenapa harus kereta bayinya yang Abang dorong, bukan membawakan belanjaannya saja?" tanyaku kesal. Bang Faiz tersenyum.

"Abang rindu pada anak kita, makanya begitu melihat anak Chintya Abang serasa melihat putri kecil kita. Jadi, Abang minta izin pada Chintya untuk mendorong kereta bayi itu. Percaya pada Abang ya, Sayang! Abang sangat mencintaimu, tak mungkin Abang berkhianat." Bang Faiz lagi-lagi menjawab dengan tenang.

Aku mencerna kata-kata Bang Faiz. Ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Mungkin aku saja yang terlalu curiga padanya. 

"Lain kali jangan dorong-dorong kereta bayi wanita lain ya, Bang," ucapku sembari mengerucutkan bibir ini. Bang Faiz tertawa lalu memelukku erat. 

"Ya sudah, Abang balik ke toko, ya!" Bang Faiz segera beranjak dari kamar. 

Aku melangkah menuju dapur, berharap ada sesuatu yang dapat dimakan, karena tadi siang aku hanya makan sedikit. Pikiranku yang tak menentu membuat aku tak bersela untuk makan. 

"Cari apa, Kak?" Aku terkejut dengan suara Maya yang lumayan tinggi. Baru saja aku mengangkat tudung saji.

"Kakak lapar, May. Tadi hanya makan sedikit," jawabku.

"Enak ya, datang-datang langsung mau makan. Kalau mau makan, Kakak masak dululah. Di sini tak ada pembantu yang bisa melayani, Kakak," ucap Maya sembari melangkah meninggalkanku di ruang makan. Adik Bang Faiz itu memang tak punya sopan santun terhadapku, Kakak iparnya. 

Aku berjalan menuju kamar Mama untuk menanyakan apa yang harus dimasak untuk makan malam nanti.

"Untuk apa dia kembali lagi ke rumah ini. Bikin repot saja." Aku sedang berdiri di depan pintu kamar Mama. Pintu itu tak tertutup dengan rapat. Kutajamkan pendengaranku, sepertinya Mama sedang membicarakan diri ini.

"Iya, Ma. Kita harus bisa memaksa Bang Faiz untuk menceraikannya." Ternyata Mama dan Kak Intan mempunyai rencana jelek terhadapku dan Bang Faiz. 

"Kau benar, Intan. Mama sangat ingin Faiz bercerai dari Ratna. Biar Chintya bisa bahagia bersama Faiz."

Tes!

Air mata menetes dari kedua kelopak mata ini. Sebenci itukah Mama padaku? Apa salahku? Sakit rasanya hati ini, dadaku sampai terasa sesak menahan tangis. Kupikir dengan berbakti pada keluarga ini, aku akan mendapatkan tempat di hati Mereka. Nyatanya, mereka tetap tak menganggapku sebagai istri Bang Faiz. Aku harus kuat. Aku harus berjuang untuk keutuhan rumah tanggaku. 

Aku berbalik dan kembali ke dalam kamar. Rasa lapar yang sedari tadi menerpa, hilang seketika. Aku jadi tak bernafsu untuk makan. 

Sebaiknya, aku menyusul Bang Faiz ke toko. Aku bisa minta belikan nasi padang pada Bang Faiz. Mungkin seleraku akan kembali muncul.

Aku beranjak keluar dari kamar sembari memesan ojek. Tak lama aku menunggu di tepi jalan, ojek yang kupesan datang dan segera menghantarkan ke toko Bang Faiz.

"Loh … kok ke sini, Dek?" tanya Bang Faiz ketika melihatku turun dari ojek.

"Iya, Bang. Di rumah suntuk," jawabku singkat. Amu masuk dan duduk di kursi kerja Bang Faiz.

"Kenapa gak telepon, kan, bisa Abang jemput," ucap Bang Faiz sembari membuka-buka buku kecil tapi tebal di hadapannya. 

"Adek gak mau ngerepotin, Abang." Aku tersenyum menatapnya. "Adek lapar, Bang. Adek mau makan nasi padang," ucapku cengengesan. Tiba-tiba rasa lapar yang tadi mendera muncul kembali.

"Ooo … istri Abang lapar. Memang di rumah gak ada makanan? Sampai harus jauh-jauh ke sini minta makan?" Bang Faiz terkekeh sembari beranjak untuk membeli nasi padang yang berada di seberang jalan. 

Kunikmati nasi padang yang dibeli Bang Faiz. Sesekali Bang Faiz menyuapkan nasi ke dalam mulutku. Aku bahagia sekali. Semoga kebahagian ini tak hanya sementara. Aku ingin menua bersama Bang Faiz. 

Setelah selesai makan dan perutku terasa kenyang. Aku pulang diantar orang kepercayaanBang Faiz, karena Bang Faiz masih sibuk mengurus  toko yang sudah dua hari ditinggalkannya. 

Aku melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam. 

"Waduuuh … ada maling, masuk rumah tak memberi salam," ucap Kak Intan yang sedang menonton televisi bersama Chika. Putri Kak Intan satu-satunya. 

Aku hanya melirik saja pada kak Intan, tak menanggapi ucapannya, lalu melangkah masuk ke kamar.

"Hei … Ratna. Saya ngomong sama kamu, kok kurang aj*r begitu? Lihat baju-baju kotor Faiz, sudah menggunung. Kalau tak dicuci hari ini, besok Faiz tak pakai baju." Kak Intan setengah berteriak. lagi-lagi tak kutanggapi ucapannya. Tanpa disuruh pun aku akan mencuci baju Bang Faiz. 

Kulihat ke dalam keranjang, memang banyak baju Bang Faiz yang kotor. Apa mereka tak mencucikan Baju Bang Faiz, sampai sebanyak ini yang kotor.

Kukeluarkan satu per satu baju-baju kotor itu dari dalam keranjang. Sampai di baju paling akhir, aku terkejut melihat sehelai kain kecil yang tersisa di dasar keranjang. Ada sebuah celana bayi yang sudah kotor di situ.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status