Share

AKU VS IBUMU
AKU VS IBUMU
Penulis: Su Yenni

BAB. 1 Bayiku Hilang

Bayiku Hilang

“Antarkan saja Ratna ke rumah orang tuanya, Faiz! Mama capek mengurusi orang stres seperti itu.” sayup-sayup kudengar suara Mama sedang menghasut Bang Faiz agar mengantarkanku pulang ke rumah Bapak dan Ibu. Padahal aku tak membebaninya di rumah ini. Aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Pekerjaan rumah pun aku kerjakan seperti biasanya.

Aku sedang berada di dalam kamar pagi ini. Seperti kemarin-kemarin, aku tak ikut bergabung bersama mereka di ruang makan untuk sarapan atau pun makan siang dan makan malam.  Memang setiap hari kuhabiskan dengan berdiam diri di dalam kamar ini sambil menangis. Itu mungkin yang membuat Mama mengatakan kalau aku ini stres. 

Kutajamkan lagi pendengaranku.

“Tapi, kasihan Ratna, Ma! Dia pasti sangat sedih sekali, makanya dia sering berdiam diri di kamar. Dia tidak stres, Ma!” ucap Bang Faiz membantah perkataan Mama. Betul, Bang! Aku tidak stres. Aku hanya sedang bersedih hati. 

Sebulan yang lalu, aku kehilangan bayiku. Bayi yang kehadirannya sangat aku rindukan. Banyak sudah rencana yang  kususun dengan rapi untuk menyambut buah hatiku itu. Namun, takdir berkata lain. Dia hilang diculik orang.

Berbagai cara sudah kami lakukan, termasuk melibatkan pihak kepolisian. Namun, hasilnya nihil. Bayiku seperti hilang ditelan bumi. Tak ada jejak yang tertinggal yang dapat dijadikan petunjuk.

Kini yang tersisa di sini hanyalah popok dan baju-baju nya yang belum aempat dipakai. Jauh hari aku sudah membayangkan, bayi mungilku itu memakai popok dan baju-baju ini, pasti akan sangat menggemaskan.  Suara tangisnya juga akan memenuhi seisi rumah ini. Entahlah, semua hanya tinggal angan-angan belaka.

Setiap hari, setiap detik, aku hanya bisa memandangi popok-popok ini, dengan begitu aku dapat merasakan kehadirannya. Setiap kali aku memeluk dan mencium popok dan baju yang kubeli empat bulan lalu, aku serasa memeluknya. 

Nak, Mama rindu! Semoga anak Mama baik-baik saja. Ya Allah, pertemukanlah aku dengan bayiku. Aku tak sanggup kehilangannya. Jagalah bayiku dimanapun dia berada!

Air mata terus mengalir deras di pipi ini. Tak pernah kubayangkan, harus kehilangan bayi yang telah lama kunantikan. Enam tahun sudah aku menikah dengan Bang Faiz. Ini merupakan kali pertama aku mengandung dan melahirkan seorang anak. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Allah mempercayakan anak itu hadir di dalam rahimku ini selama lebih kurang sembilan bulan. Sampai akhirnya, dua bulan yang lalu, dia hadir ke dunia ini. Namun, aku hanya bisa melihatnya sementara saja.

Ya, hanya sementara. Sampai-sampai aku tak sempat menyusui apalagi menimangnya. Dia sudah hilang dari pandanganku.

Kata orang waktu akan menyembuhkan luka! Tapi apa? setiap waktu luka ini bertambah pedih dan perih. Kehilangan ini kian terasa. Setiap kali aku melihat foto bayi yang berseliweran di beranda F* ku, aku seperti melihat bayiku. Aku tak tahu, sampai kapan semua duka ini hilang. Aku hanya memohon agar Allah mempertemukanku dengan bayiku setiap hari, walau hanya dalam mimpi.

“Mama benar ,Faiz. Kami capek melihat tingkah istrimu. Setiap saat menangis dan mengurung diri di dalam kamar. Antarkan sajalah dia ke sana.  Atau ceraikan saja dia! Apa yang kau harapkan dari dia?” Kak Intan, kakak Bang Faiz setali tiga uang dengan Mama, malah omongannya lebih pedas lagi. 

Dia memang tak begitu menyukaiku sejak pertama aku menikah dengan Bang Faiz dan tinggal di rumah Mama ini. Kak Intan selalu bersikap kasar dan sering menyakiti hati ini. Dia bahkan tak segan-segan memarahiku dengan kata-kata kasar. Seperti yang barusan dia katakan, dia sering menyuruh Bang Faiz untuk menceraikanku.

“Sudahlah, Kak. Ini sudah yang kesekian kalinya Kakak menyuruhku untuk menceraikan Ratna. Aku mencintai Ratna, Kak! Jadi, aku tak akan pernah menceraikannya! Tolong, jangan ucapkan itu lagi!” ucap Bang Faiz lantang. 

"Apa yang kau harapkan dari dia? Miskin! Hanya menjadi beban keluarga kita saja!" ucap Kak Intan pelan. Namun, aku masih bisa mendengarnya.

"Kak Intan! Jaga ucapan Kakak!" teriak Bang Faiz.

Bang Faiz bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah menuju kamar ini. 

“Sarapanlah, Sayang. Makanlah walau sedikit. Sejak tadi malam tak sebutir nasi pun masuk ke perutmu. Abang takut Adek jatuh sakit nanti,” ucap Bang Faiz sembari duduk di tepi ranjang. Matanya nanar menatap wajah ini. 

“Bang ... mungkin Mama dan Kak Intan ada benarnya. Aku tak mau menyusahkan mereka di sini. Hantarkan aku pulang ke rumah Ibu dan Bapak, Bang. Mungkin aku bisa melewati semua ini segera. Kalau di sini terus, aku semakin teringat dengan bayi kita,” ucapku memelas. Semakin lama aku di sini, akan menambah beban pikiranku. Setiap hari Mama dan Kak Intan mengomel tak jelas. Belum lagi Maya, adik Bang Faiz yang satu itu tak tau bersikap santun terhadap orang tua. Dia selalu memerintahku seenaknya saja.

Aku semakin tersudut. Kapan aku bisa pulih kalau dimarahi terus-terusan. Aku butuh seseorang sebagai tempat untuk mencurahkan isi hati ini.

“Baiklah, Sayang. Kalau Adek maunya begitu. Tapi bukan karena Adek sakit hati karena mendengar ucapan keluarga Abang barusan, kan?"

"Tidak, Bang. Adek rindu pada Bapak dan Ibu," ucapku lirih. 

"Ya, Abang akan hantarkan Adek pulang ke rumah Ibu dan Bapak,” ucap Bang Faiz sembari tersenyum dan mengusap lembut kepala ini.

“Adek berkemas sekarang ya, Bang!” ucapku sedikit bersemangat. Bang Faiz menganggukkan kepala. Aku beranjak turun dari ranjang dan mengemas baju-bajuku. 

Setelah selesai berkemas, aku dan Bang Faiz berpamitan pada Mama dan Kak Intan.

“Ma, Kak Intan ... Ratna mohon pamit. Mungkin beberapa waktu ini, Ratna akan tinggal di rumah orang tua Ratna,” ucapku seraya mengulurkan tangan pada Mama dan Kak Intan. Mereka bergegas menyambut uluran tanganku.

“Nah, gitu dong, sadar diri!” ucap Kak Intan ketus. Aku tersenyum menyambut ucapannya. 

Tak banyak basa-basi lagi, aku segera menarik tangan Bang Faiz agar segera pergi dari rumah ini. Bang Faiz mungkin paham maksudku. Dia segera pamit dan berjalan bersamaku menuju pintu. 

Mobil yang kami tumpangi melaju perlahan meninggalkan rumah Bang Faiz. Aku masih terdiam memandang ke luar jendela mobil. 

“Abang tak akan bisa mengunjungi Adek setiap hari. Tak ada yang mengawasi toko bangunan kita. Paling hanya seminggu sekali Abang mengunjungi Adek.  Adek tak keberatan?” tanya Bang Faiz padaku. 

“Iya, Bang. Adek paham. Abang fokus saja mengelola toko itu. Doakan Adek bisa melalui semua ini dengan cepat. Mungkin dengan kasih sayang dan perhatian dari Ibu, Adek dapat dengan mudah melewati ini semua,” ucapku sembari meneteskan air mata. Setiap kali aku teringat tentang luka ini, air mata terjun dengan bebas dari kedua mata ini.

Sekitar lima jam berkendara, kami sampai di rumah Ibu dan Bapak. Kedua orang tuaku menyambut kedatangan kami dengan hangat. 

Sampai sore menjelang, Bang Faiz baru pamit untuk kembali ke rumah Mama.

*** 

Tiga bulan sudah aku berada di rumah Ibu dan Bapak. Perhatian dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh kedua orang tuaku membuat hati ini semakin tenang. Lambat laun aku bisa menerima keadaan ini dengan ikhlas. Langkah, rezeki, pertemuan dan maut mutlak kuasa Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan bertawakal kepada-Nya.

Aku tak boleh terus larut dalam kesedihan. Pengorbanan yang diberikan oleh kedua orang tuaku tak boleh kusia-siakan. Selain itu, Bang Faiz juga masih membutuhkan perhatian dan kasih sayangku. 

Hari ini Bang Faiz tak datang ke sini seperti biasanya. Kata Bang Faiz waktu menelepon tadi, dia harus ke luar kota untuk membeli beberapa barang-barang kebutuhan toko. Toko bangunan yang dikelola Bang Faiz maju pesat dua tahun terakhir ini. Setelah sebelumnya hampir bangkrut karena kekurangan modal. Syukur ada suntikan dana dari Bang Adam, saudara Mama.

Aku sedang bersiap untuk pergi bersama Ibu. Rencananya kami akan mengunjungi Bibi yang sedang sakit di kampung sebelah. Ibu masih memakai baju di kamarnya. 

Tiba-tiba, gawai yang kuletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur berbunyi. Vera, sahabatku yang sudah setahun lebih merantau ke Jakarta meneleponku. Kutempelkan benda pipih itu ke telinga.

“Halo, assalamualaikum, Ver,” ucapku mengawali percakapan. 

“Waalaikumsalam. Heiii ... Ratna! Sombong ya, dirimu ada dimana sekarang?” ucap Lisa dengan suaranya yang selalu bernada tinggi.

“Sombong apanya? Aku di kampung di rumah Ibu,” jawabku.

“Ah, masak iya? Barusan aku lihat suamimu di toko roti lagi mendorong dorongan bayi. Makanya aku menghubungi kamu. Aku pikir kamu lagi nunggu di dalam mobil gitu. Ngomong-ngomong, kapan anakmu lahir? Kok gak ngasih kabar ke aku, Rat? Gitu ya ... udah lupa sama sahabat sendiri.” Kata Vera panjang lebar.

“Bang Faiz mendorong dorongan bayi? Gak salah lihat kan, Ver?” tanyaku lagi.

“Ya enggaklah, mataku belum rabun loh, Rat. Emang kenapa? Kok heran begitu kedengarannya, Rat?” tanya Vera menyelidik.

“Aku memang sudah melahirkan, Ver. Tapi bayiku hilang diculik orang setelah dilahirkan,” ucapku lirih.

“Astagfirullah! Lah ... lalu, bayi yang didorong Bang Faiz, bayi siapa?” tanya Vera panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status