Share

Kepulangan June

"Ha-halo, ada apa, Bang?" tanya Dinda dengan sedikit terbata-bata, sesekali dia menggigit bibir, menunggu jawaban dari June.

"Kamu ada di mana?"

Sontak, Dinda membeliak, secara spontan dia langsung menyandarkan tubuhnya pada meja kerja.

"Tentu saja aku ada di kantor, memangnya kenapa?"

"Aku akan ke sana sekarang!"

"Apa?!" teriak Dinda dengan cukup keras, hingga membuat Dzikri terlonjak. 

Dalam hati, Dzikri terus berucap syukur, karena dia tidak memiliki riwayat sakit jantung maupun darah tinggi. 

Kalau hal itu sampai terjadi, bisa-bisa riwayatnya benar-benar tamat gara-gara Dinda yang tidak bisa mengontrol diri.

"Lah, bukannya Abang ada lagi di luar kota, lantas kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Dinda yang dipenuhi oleh beribu kebingungan.

Mendengar hal tersebut, Dzikri yang tengah meminum sebotol air mineral, hampir saja tersendak. 

Untung saja, Dinda tidak menyadari hal itu, kalau saja Dinda alias macan betina--panggilan akrab yang selalu Dzikri lontarkan pada wanita itu, melihat semuanya. Bisa-bisa dia kenal omel.

"Sudah jangan banyak tanya, aku akan segera ke sana."

Dzikri memang bisa mendengar semua percakapan Dinda dan June, karena wanita itu menyalakan pengeras suara.

"Terserah kau sajalah, Bang!"

"Baik, tunggu aku di sana! Jangan ke mana-mana."

"Iya-iya, bawel banget! Gak suka."

Bip!

Tanpa menunggu respon dari June, Dinda langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak.

"Aneh banget!" gumam Dinda seraya meletakkan gawainya di tempat semula.

"Mungkin si Juned. Eh, June, kangen sama kamu, Din," celetuk Dzikri dengan satu tangannya yang tiba-tiba meraih setoples cemilan dari bawah meja.

"Mungkin!" sahut Dinda tanpa rasa curiga sedikitpun.

Dirasa tidak ada yang perlu di pikirkan, Dinda kembali menghampiri Dzikri, kemudian mendaratkan bokongnya tepat di samping Dzikri. 

Dinda kembali meraih data-data yang sempat Dzikri kumpulkan dan membacanya ulang.

"Aku masih penasaran, kenapa orang tua angkat Nadin bisa meninggal di waktu yang bersamaan," ucap Nadin seraya menoleh ke arah Dzikri yang tengah menikmati cemilan.

"Aku juga kurang tahu. Tetapi, rasanya memang janggal. Kecuali mereka meninggal akibat kecelakaan atau mungkin ... di bunuh?"

Helaan napas kembali keluar dari mulut Dinda, dia merenungi ucapan Dzikri selama beberapa saat.

Apa yang pria itu katakan ada benarnya juga, kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Di tambah lagi, tidak ada keterangan kenapa dan di mana orang tau angkat Nadin meninggal.

"Dzikri, bisa antar aku ke alamat ini?!" Dinda menunjuk sebuah alamat yang bertuliskan tempat tinggal Nadin bersama orang tua angkatnya dulu.

"Tentu saja, memangnya kapan?" 

Dinda kembali terdiam, dia memikirkan waktu yang tepat untuk datang ke alamat tersebut. 

Sebab, belakang ini Dinda merasa begitu sibuk dengan pekerjaan dan persiapan pernikahan yang tidak mungkin akan terjadi tersebut.

Meskipun rencananya masih cukup lama, tetapi dengan b*d*hnya, Dinda sudah mempersiapkan banyak hal, sehingga dia tidak sadar, kalau dia baru saja kecolongan sesuatu yang dulu dia anggap spesial.

"Aku akan mempertimbangkannya lagi. Kalau begitu, kamu boleh kembali. Aku juga harus bekerja." Gegas Dinda bangkit dari duduk, kembali menghampiri meja kerjanya. "Lalu, mengenai Om Baskoro, aku begitu suka dengan idenya. Tolong katakan padanya, untuk melakukan secepat mungkin dan tolong jangan katakan hal ini pada keluargaku dulu. Aku ingin berbicara dengan mereka secara langsung nanti."

Dzikri mengangguk, dia kembali meletakkan toples makanan ringan milik Dinda pada tempatnya semula.

"Kamu tenang saja, aku tidak akan sampai sejauh itu. Aku tidak berhak ikut campur dalam urusan keluargamu."

"Terima kasih atas bantuan, Dzikri."

"Sama-sama. Aku pergi dulu!"

Sepeninggalnya Dzikri, pandangan Dinda kembali jatuh pada beberapa lembar kertas yang masih berada di meja dekat sofa.

Dinda menatap lembaran kertas itu selama beberapa detik, sebelum akhirnya meraihnya dan kembali membacanya dengan teliti.

"Cukup mengejutkan, aku dan akun palsmumu berteman dengan cukup lama. Tetapi, aku tidak menyadarinyi? Ah, pantas saja kamu tidak ragu memb*d*hi, Arkan?"

Dinda bergumam, sebelum akhirnya memasukan map tersebut ke sebuah laci besar yang terdapat di samping meja kerjanya dan menguncinya.

***

Brak!

Sontak, Dinda langsung terperanjat dari lamunan, kala mendengar suara pintu ruangannya di dobrak oleh seseorang.

Dinda membeliak, dilayangkan tatapan tidak percaya ke arah june. Ternyata bukan hanya Dinda yang terperanjat, melainkan semua karyawan yang tengah bekerja di luar sana, termasuk Nadin sendiri.

Nadin tahu, kalau June adalah Kakak Dinda dan dia mulai merasakan kegelisahan, ketika melihat June datang dengan tidak seperti biasanya.

"Abang!" seru Dinda seraya menghampiri Kakak kandungnya yang wajahnya tampak tidak bersahabat.

"Apa kabar, Dinda?" tanya June dengan nada biasa saja, membuat Dinda langsung menghela napas lega.

"Kabarku baik-baik saja. Aku kaget barusan, apa yang kamu lakukan, Bang?"

June menggeleng pelan. Gegas dia berjalan menuju sofa, kemudian mendaratkan bokongnya di sana.

"Tidak ada, aku hanya ingin memberikan kejutan saja!" dalih June seraya menatap adik kandungnya dengan lekat.

Dinda yang merasa di perhatikan oleh June dengan tidak seperti biasanya, malah memicingkan mata dan langsung menghampiri June, kemudian memeluknya dengan erat.

"Kangen aku, ya, Bang?"

June melepas pelukan Dinda secara sepihak, membuat wanita itu langsung menarik napas panjang.

Dinda merasa kecewa dengan tingkah June yang di rasa tidak seperti biasanya.

"Lah, kenapa, Bang?” tanya Dinda di sela-sela kebingungannya.

"Ada hal yang ingin aku bicarakan, aku harap kamu menjawabnya dengan jujur, Dinda," pinta June dengan sorot mata penuh keseriusan.

"Memangnya ada apa, Bang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status