Arkan tampak gelagapan, kedua bola matanya bergerak dengan cepat, terlihat pula jika jari tangannya saling bertautan, meremas satu sama lain.Kentara sekali, kalau Arkan begitu gugup dengan pertanyaan Dinda. Malahan sesekali dia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Be-benarkah seperti itu, Sayang? Ah, gila sekali! Padahal dia mengatakan padaku sudah mengajak beberapa karyawan yang lain," dalih Arkan di depan Dinda. Malahan Arkan sampai menyilangkan tangan di dada sembari memasang wajah kesalnya. Melihat akting Arkan yang cukup baik, Dinda langsung tersenyum tipis. Dalam hati, dia tidak ragu memberikan Arkan dua jempol sekaligus."Tentu saja, jadi kamu tidak tahu soal itu?"Arkan menggeleng cepat, berusaha berakting sebaik mungkin di depan Dinda. "Tidak, Sayang. Dia benar-benar pendusta, aku benci manusia seperti itu," ucap Arkan dengan penuh penekanan di tiap kalimat.Mendengar hal tersebut, rasanya perut Dinda langsung bergejolak. Ingin rasanya dia memuntahkan sei
"Mas, ada apa? Coba ceritakan secara jelas!" pinta Ella pada Tomo.Tomo yang tampak begitu kebingungan dan putus asa, terus menjambak rambutnya dengan kasar seraya terus berjalan mondar-mandir, dia tidak terlalu menghiraukan permintaan istrinya.Ella yang sadar, kalau Tomo tengah amat kebingungan, gegas menghampiri Tomo, mengenggam tangan suaminya itu dengan kasar."Mas, sudah diam dulu! Sekarang ceritakan padaku, sebenarnya ada apa?! Aku tidak akan pernah tahu, kalau kamu terus bersikap seperti ini."Ella yang terlanjur kesal dengan suaminya, tidak ragu berteriak di depan wajah Tomo hingga pria itu terpaku di tempat.Sesekali Tomo menghela napas panjang, dia bergegas melangkah menuju kursi kayu yang ada di depan rumahnya dan segera mendaratkan bobot tubuh di atasnya."Ella, kamu tahu, Burhan, 'kan?""Tentu saja, memangnya siapa yang tidak tahu dengan Burhan, dia 'kan sosok orang kaya yang--""Stop!" Tiba-tiba saja Tomo berteriak, memotong ucapan Ella dengan cepat, hingga wanita itu t
"Jadi, ini tempatnya?" tanya Dinda pada pria yang duduk di sampingnya, yaitu yang tidak lain adalah Dzikri.Kebetulan sekali, hari ini Dinda dan Dzikri memilih untuk tidak masuk kantor. Keduanya sepakat untuk datang ke desa tempat di mana dulu Nadin tinggal.Selain perjalannya yang cukup memakan waktu, belum lagi kondisi jalanan serta hal lainnya yang membuat Dinda dan Dzikri sampai di desa tersebut di luar perkiraan keduanya. Beberapa kali Dzikri menghela napas, kala netranya menatap jalanan yang hanya berlapiskan batu serta tanah merah. Tidak bisa dia bayangkan, bagaimana kondisi jalan ini ketika diterpa hujan."Sepertinya memang betul. Tetapi, apa kamu merasa tidak aneh?" tanya Dzikri sambil menoleh ke arah Dinda. Kebetulan dia tengah menepikan mobil di pinggir jalan, berisitirahat sejenak."Maksudmu?" Dinda malah balik bertanya sambil menatap layar gawainya.Wanita itu sedikit kesal, karena jaringan internet susah sekali dia dapatkan ketika masuk ke desa ini. Malahan sedari tadi
Sepanjang perjalanan menuju rumah kerabat mendiang kedua orang tua angkat Nadin, pikiran Dzikri dan Dinda terus saja berkecamuk.Dalam benak masing-masing, terus terbesit berbagai ribu pertanyaan mengenai alasan kenapa Nadin bisa sampai tega membunuh orang tua angkatnya.Entah hanya itu tuduhan semata atau memang benar begitu adanya. Tetapi, Dinda masih saja tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba saja, dalam benak Dinda terlintas sekilas bayangan tentang Nadin yang pertama kali dia temui. Di mana wanita itu terlihat begitu polos dan baik, tampang seperti pembunuh maupun wanita perusak hubungan orang, benar-benar nyaris tak terlihat.Bagi Dinda, Nadin terlihat seperti wanita pada umumnya saja. Tidak ada sedikitpun rasa curiga dalam hatinya terhadap Nadin."Lagi ngelamunin apaan?" tanya Dzikri sembari menyenggol lengan Dinda.Sontak, Dinda menoleh, kemudian menggeleng pelan."Tidak, aku lagi memikirkan tentang Nadin saja. Aku--""Ini rumahnya," potong si wanita paruh baya
"Ada apa Fauzi dan ... siapa mereka?" tanya wanita paruh baya yang memakai tudung kepala dari anyaman bambu.Fauzi menghela napas panjang, dia bergegas turun dari teras, menghampiri kedua orang tuanya yang masih mematung di tempat dengan raut wajah kebingungan."Lebih baik kita ngobrol di dalam saja. Soalnya ini masalah yang cukup serius," balas Fauzi sambil menoleh ke belakang, menatap Dinda dan Dzikri sekilas.Sontak saja, kedua orang tua Fauzi saling pandang dengan cukup lama. Keduanya seakan-akan berbicara melalui lirikan mata. Fauzi yang sadar akan hal itu, kembali berbalik, melangkah ke hadapan Dinda dan Dzikri yang tengah bungkam."Mas, Mbak, ayo masuk! Biar kita bicarakan semuanya di dalam," ajak Fauzi dengan ramah kepada Dinda dan Dzikri."Baik, terima kasih. Ayo, Dinda kita masuk!""Ayo!"Baru ketika Dinda bangkit dari duduk, kedua orang tua Fauzi datang menghampirinya dan Dzikri."Iya, kalian boleh masuk dulu. Kami akan bersih-bersih sebentar," pesan Ibunya Fauzi."Baik, B
[Tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan,] tulis seseorang dengan nama akun Putri Pratama.Dinda mengernyitkan dahi, ketika akun tersebut kembali muncul di berandanya. Dia tidak ingat, kapan pertama kali menkonfirmasi pertemanan dengan akun tersebut.Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, Dinda pun membuka profil orang tersebut."Berpacaran dengan Nadin putri," gumam Dinda seraya mengernyitkan dahi, kala membaca profil lain yang tertulis di aku tersebut.Merasa tidak terlalu penting, Dinda pun segera menekan tombol kembali dan menyimpan gawai di meja kerja."Dari pada memperhatikan hal yang tidak penting, lebih baik aku bekerja saja," pikir Dinda.***"Nadin, main ponsel saja. Ingat waktu, kamu harus bekerja!"Dinda menegur seorang karyawannya yang ketahuan bermain ponsel ketika bekerja. Wanita bernama
***[Terima kasih, Sayang untuk uangnya, sudah Mas terima.]Dinda menyeringai, kala menatap layar ponselnya yang tiba-tiba menampilkan sebuah pesan dari Arkan.Tanpa membalas pesan tersebut, Dinda kembali memasukan benda pipih itu ke saku blazer, kedua manik matanya langsung berfokus pada salah seorang pekerja yang tidak lain adalah Nadin.Dalam benaknya, Dinda terus bertanya-tanya mengenai sejak kapan Arkan dan Nadin mengkhianati dirinya."Nadin, kemari kamu!" ketua Dinda, memuat sang empunya nama sedikit terperanjat.Nadin yang Dinda kenal sedikit polos, baik dan cukup kompeten, ternyata adalah ular yang diam-diam menusuknya dari belakang."Ada apa, ya, Bu?""Cepat masuk ke ruangan saya!"Para pekerja lainnya sedikit berbisik satu sama lain, mereka merasa ada ya
"Bu-Bu Anjani!" ujar Nadin seraya bangkit dari duduk, dia sedikit terbata-bata. Matanya bergerak dengan cukup cepat, bibirnya pun ikut pucat pasi layaknya mayat.Bibir Nadin terlihat bergerak secara tidak teratur, tepat di bawah meja sana, kedua tangannya saling meremas satu sama lain."Ma-maafkan, saya, Bu. I-itu semua tidak seperti yang Ibu dengar, sa-saya benar-benar minta maaf." Nadin menunduk, wanita berambut pirang itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.Kedatangan Anjani yang tidak lain adalah mantan pemilik perusahaan tempat Nadin bekerja, berhasil membuat semua orang melongo, termasuk Nadin sendiri.Semua orang merasa, kalau Nadin akan berada dalam masalah besar, karena secara tidak sengaja telah melontarkan kata-kata kasar pada wanita yang di kenal sebagai anak dari pemilik perusahaan tersukses tahun ini.Secara bersamaan, Dinda yang mendengar adanya suara keributan di l