Home / Fantasi / ALKEMIS TERAKHIR / 1. Kehancuran Desa

Share

ALKEMIS TERAKHIR
ALKEMIS TERAKHIR
Author: PengkhayalMalam

1. Kehancuran Desa

last update Last Updated: 2024-10-02 22:21:01

Suara kaki kuda begitu ramai, sebuah pasukan dari kerajaan datang menyerang desa teratai, Zidan yang saat itu sedang berlatih membuat pil pemulihan bersama sang Ayah segera lari ke rumah, sayangnya semua rumah yang ada di desa itu langsung di bakar, jika ada yang keluar dai rumah, orang itu langsung dibunuh oleh pasukan kerajaan tampa belas kasihan.

“Ayah ayo kita keluar,” ucap Zidan yang tahu ia pasti akan terbakar jika terus di dalam rumah. Namun ia juga tak bisa keluar karena ada pasukan kerajaan, kebingung terus membuat Zidan panik.

“Jika keluar sekarang pasukan kerajaan akan langsung membunuhmu,” ucap sang Ayah yang juga terlihat gelisah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

“Tapi ayah, jika kita tetap disini, kita juga pasti akan mati,” ucap Zidan yang tak atah lagi api yang membakar rumahnya semaki terasa panas.

Belum sempat Zidan dan ayahnya keluar suara sang ibu berteriak membuat Zidan kaget dari luar rumah pasukan itu membunuh adik dan ibunya, sang Ayah terpukul hingga ia tak sadar balok rumah sudah menimpannya.

Zidan yang menyaksikan itu semua benar-benar tak bisa bergerak, rasa sakit yang ia rasakan membuat Zidan membeku. Keluarga sudah terbunuh.

Di tengah kepanikan itu, Zidan sudah terbujur kaku, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kakinya terasa berat, seolah terikat oleh rasa sakit dan ketidakberdayaan. Hari itu, pasukan kerajaan benar-benar menghanguskan segalanya. Tanpa ampun, mereka merobohkan bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu kehidupan masyarakat. Setiap jeritan, setiap suara tangisan, seolah terukir dalam ingatan Zidan, membakar jiwanya lebih dalam daripada api yang menghanguskan desanya.

“Larilah, nak, selagi kau bisa, balas dendamlah untuk klan kita,” suara paruh yang terbata-bata terdengar dari bawah puing. Zidan familiar dengan suara ayahnya, yang kini terkapar di antara reruntuhan. Suara itu mengisi hatinya dengan rasa sakit yang mendalam. Zidan merasa seolah dunia ini runtuh di hadapannya.

Mendengar permintaan terakhir sang ayah untuk balas dendam, Zidan berusaha bangkit. Ia ingin menyelamatkan diri dari kobaran api yang mengancam. Dengan segenap tenaga yang tersisa, ia terus menarik tubuhnya menjauh dari sana. Kakinya sudah lemah, dan setiap tarikan napas terasa berat. Zidan hanya bisa menggunakan tangannya untuk cepat-cepat menjauh dari kobaran api yang terus mengejarnya.

“Apa yang sudah kaisar lakukan?” batin Zidan, pikirannya berputar dalam kebencian dan kesedihan. Ia melihat jelas seluruh desa terbakar, kini hanya ia yang berhasil menyelamatkan diri dan masuk ke hutan yang tak jauh dari desa. Hutan itu seolah menjadi satu-satunya tempat perlindungan, meski ia tahu bahwa kegelapan di dalamnya sama menakutkannya dengan api yang membakar desanya.

Suara kobaran api membakar Desa Teratai yang terkenal dengan para ahli alkemis. Mereka semua dibantai oleh sang raja, karena alasan yang tidak jelas.

Zidan yang berhasil keluar dari rumah dan menyusup ke dalam semak, membuat para pasukan tak melihatnya, kekacauan yang ada di desa benar-benar mengerikan. Kobaran api di dimana-mana, jeritan kesakitan seakan menyayat tubuh.

Zidan yang masih terus bertahan, tekadnya untuk selamat begitu kuat, ia yang mendengar permintaan terakhir sang ayah tentunya tidak boleh ikut mati bersama mereka. Dalam sekejap desa teratai menjadi neraka yang nyata.

Ketika suara kuda milik pasukan semakin menjauh, kesunyian menyelimuti hutan. Hanya tercium bau api yang masih terus melahap habis Desa Teratai. Zidan merasakan kesadaran yang semakin memudar, seakan menariknya ke dalam kegelapan yang tak berujung.

“Apa aku juga akan mati,” batin Zidan merasa jika kesadaran mulai menghilang.

Zidan tergeletak di tengah rerimbunan semak-semak hutan, tubuhnya dipenuhi luka dan debu. Nafasnya tersengal, dada terasa sesak oleh kepedihan yang mengguncang hatinya. Suara desahan angin yang melewati daun-daun seolah mengucapkan salam perpisahan bagi mereka yang telah gugur. Suara kuda pasukan kerajaan yang tadinya terdengar begitu jelas kini telah menghilang, namun Zidan tahu, meskipun mereka telah pergi, mereka telah meninggalkan jejak kehancuran yang tak akan pernah dilupakan.

Dengan susah payah, Zidan mencoba duduk. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan hanya karena luka-luka yang ia derita, tetapi juga karena beban emosional yang menekannya. Bayangan ibunya yang dibunuh dengan kejam, adiknya yang masih kecil terkapar tak bernyawa, dan ayahnya yang tertimpa puing-puing rumah menghantui pikirannya. Semua itu membuatnya merasa seolah hidup tak lagi berarti. Namun, suara ayahnya yang terdengar dalam sisa-sisa hidupnya terus menggema di kepalanya, “Balas dendamlah untuk klan kita.”

Zidan tahu, ia tidak bisa menyerah. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan ini. Pasukan kerajaan yang telah menghancurkan desanya dan membantai keluarganya harus membayar atas apa yang telah mereka lakukan. Tekad balas dendam mulai menyala dalam hatinya, menjadi satu-satunya alasan bagi Zidan untuk terus bertahan.

Dengan pelan, Zidan berusaha bangkit, meskipun tubuhnya terasa lemah. Setiap langkah yang ia ambil menuju kedalaman hutan terasa berat, seolah dunia menolaknya untuk terus maju. Namun, ia tahu, berdiam diri berarti mati. Hutan ini, meskipun gelap dan penuh misteri, adalah satu-satunya tempat yang dapat memberinya perlindungan untuk sementara waktu.

Sesampainya di sebuah celah batu besar yang sedikit tertutup oleh semak-semak, Zidan memutuskan untuk beristirahat. Tubuhnya terlalu lemah untuk terus berjalan. Dalam kegelapan, Zidan memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu, saat desa Teratai masih damai. Ia teringat saat-saat ia berlatih bersama ayahnya membuat pil pemulihan. Ayahnya selalu mengajarkannya tentang keseimbangan hidup, tentang bagaimana kekuatan sesungguhnya berasal dari dalam diri seseorang, bukan dari kebencian. Namun kini, semua yang ayahnya ajarkan terasa hampa. Keseimbangan itu telah hancur bersama desa dan keluarganya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Zidan tersentak, membuka matanya lebar-lebar. Apakah pasukan kerajaan telah kembali? Dengan cepat, ia menahan nafas, tubuhnya menegang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ALKEMIS TERAKHIR    116. Raja Zidan

    Langit di atas Arzan membentang biru jernih, hanya dihiasi awan tipis yang melayang perlahan. Sinar matahari pagi memantulkan kilauan keemasan di atap istana yang megah, lambang dari pemerintahan baru yang kini membawa harapan bagi rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Raja Zidan, kerajaan yang dahulu dilanda peperangan kini berdiri dengan kokoh, lebih kuat dan lebih makmur dari sebelumnya.Di pusat kota, pasar yang dulunya sepi kini kembali ramai. Pedagang-pedagang memenuhi jalanan dengan tenda dan lapak mereka, menawarkan hasil bumi yang melimpah, kain-kain sutra yang indah, dan barang-barang berharga dari berbagai wilayah. Anak-anak berlarian dengan riang, suara tawa mereka menggema di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar. Tidak ada lagi ketakutan di mata mereka, tidak ada lagi bayangan peperangan yang menghantui.Di depan istana, Zidan berdiri tegak di atas balkon, memandang ke arah rakyatnya dengan mata penuh kebanggaan. Ia mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan su

  • ALKEMIS TERAKHIR    115. Raja Baru

    Setelah melalui perjalanan panjang penuh darah dan pengorbanan, Zidan akhirnya berdiri di puncak kekuasaan. Dia tidak mendambakan tahta, tetapi takdir membawanya ke posisi itu. Sebagai pemimpin baru kerajaan Arzan, dia memikul beban yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Hari-hari setelah kemenangan besar itu dipenuhi dengan pertemuan, keputusan, dan perubahan yang drastis. Zidan menyadari bahwa kerajaan yang baru harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, bukan hanya dengan kekuatan alkemis, tetapi juga dengan keadilan dan kebijaksanaan yang benar-benar mengutamakan rakyat.Rakyat Arzan, yang dulu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kini mengangkat kepalanya. Di jalanan dan pasar, mereka menyebutnya dengan penuh hormat: Raja Zidan, meski ia lebih suka dianggap sebagai pelayan rakyat.Zidan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Arzan, ditemani oleh beberapa pengawal dan anggota dewan penasihat. Di setiap sudut, warga menyapanya dengan hormat. Para ped

  • ALKEMIS TERAKHIR    114. Kemenangan

    Zidan berdiri di tengah reruntuhan istana Arzan, menatap medan pertempuran yang kini mulai mereda. Udara masih dipenuhi debu, bau darah dan mesiu bercampur dengan angin malam yang dingin."Kyro, cari yang terluka dan kumpulkan mereka di pusat kota!" perintah Zidan, suaranya penuh kewibawaan meski kelelahan jelas terasa.Kyro mengangguk dan segera bergerak, bersama beberapa alkemis lain yang masih mampu berdiri."Asmar, periksa reruntuhan. Ada kemungkinan beberapa orang masih terjebak di bawah sana," lanjutnya.Asmar tanpa ragu mulai menggambar lingkaran alkemis di tanah. Dengan kekuatan alkeminya, batu-batu besar perlahan bergerak, membuka jalur bagi mereka yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing.Di sisi lain, Kakek Suma memimpin pasukan alkemis yang tersisa, menahan sisa-sisa pengawal kerajaan yang menyerah. "Mereka yang menyerah, ikat dan kumpulkan. Kita akan menentukan nasib mereka nanti," katanya tegas.Zidan berjalan ke tengah kota yang porak-poranda. Beberapa warga sipil

  • ALKEMIS TERAKHIR    113. Serangan

    Zidan menggenggam pedangnya erat, tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tidak padam. Energi biru yang mengelilinginya berkobar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang penuh amarah.Makhluk bayangan itu menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekelilingnya berputar seperti badai, membentuk tombak kegelapan raksasa."MATI!" raung makhluk itu, melemparkan tombak tersebut ke arah Zidan dengan kecepatan kilat.BOOM!Zidan melompat ke samping tepat sebelum tombak itu menghantam lantai, menciptakan kawah besar dan meruntuhkan sebagian dinding perpustakaan. Batu dan pecahan kayu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal.Dari dalam kabut, makhluk itu melesat ke arah Zidan dengan kecepatan tak kasat mata!CLANG!Pedang Zidan bertemu dengan cakar hitam makhluk itu, menciptakan percikan energi yang menyilaukan. Tubuh Zidan terdorong ke belakang oleh kekuatan luar biasa, tapi dia tetap bertahan."Asmar! Beri dia dukungan!"

  • ALKEMIS TERAKHIR    112. Perang Kerajaan Arzan

    Zidan mengatur napasnya, darah mengalir dari luka di pelipisnya. Ia dan kelompoknya telah terpojok di dalam Perpustakaan Terlarang, dikelilingi oleh Zarif, Jenderal Morvath, dan pasukan kekaisaran. "Dinding mulai runtuh," bisik Kyro. "Kita tak bisa bertahan lama di sini." Asmar menekan luka di bahunya, matanya tajam mengamati Morvath. "Jadi ini rencana Kaisar? Menghapus seluruh jejak sejarah alkemis?" Morvath menyeringai. "Sejarah tidak lebih dari beban bagi yang lemah. Kaisar menginginkan kekuatan sejati." Zarif melangkah maju. "Tak perlu banyak bicara. Kita akhiri mereka sekarang." Zidan tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia menjejak tanah, menciptakan gelombang energi yang menghantam lantai. Batu-batu berhamburan, menciptakan kabut debu yang menghalangi pandangan. "SEKARANG!" teriaknya. Kyro melemparkan bom asap, mempertebal kabut. Dalam kekacauan itu, Zidan berlari ke arah Morvath, mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tebasan itu hampir mengenai Morvath

  • ALKEMIS TERAKHIR    111. Pengkhianatan

    Ruangan masih dipenuhi asap akibat ledakan. Zidan mengatur napasnya, matanya tetap waspada mengawasi tubuh Zarif yang tergeletak tak berdaya di lantai. Namun, ia tahu bahwa kemenangan ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar. "Asmar, kita harus pergi sekarang," ucap Zidan tegas. Asmar mengangguk. "Terowongan ini tidak akan bertahan lama. Kita harus menuju ke bagian terdalam istana sebelum pasukan lain datang." Mereka bergerak cepat melalui lorong bawah tanah, langkah mereka tergesa-gesa namun tetap berhati-hati. Zidan merasakan atmosfer yang semakin mencekam—seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Saat mereka mencapai persimpangan lorong, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Zidan memberi isyarat agar semua berhenti. Dari kejauhan, terlihat sekelompok pengawal istana yang membawa obor, menerangi lorong yang remang. "Tidak ada jalan mundur," bisik Kyro, menggenggam belatinya erat. "Tidak," Zidan menggeleng. "Kita akan membuat mereka kehil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status