Zidan dengan cepat berbalik untuk lari, rasa takut menguasai hatinya. Ia tidak tahu siapa yang baru saja meraih tangannya, namun bayangan akan pasukan kerajaan membuatnya panik. Langkahnya yang terseok-seok akibat luka-luka di tubuhnya tak menghalanginya mencoba melarikan diri. Namun tangan yang kuat itu berhasil menangkapnya. Dia membeku. Nafasnya tertahan saat mendengar suara tua dan serak berkata, “Kau mau kemana, dengan tubuh penuh luka seperti itu?” Suara itu berasal dari seorang kakek tua yang sekarang berdiri di hadapannya.
Zidan terpaku, tidak berani bergerak. Ingin rasanya ia melarikan diri, tapi tangan kakek itu memegangnya dengan kuat. Perlahan-lahan, Zidan memutar tubuhnya, berbalik untuk melihat siapa yang telah menghentikannya. Matanya bertemu dengan sosok seorang kakek berusia lanjut, rambutnya memutih, wajahnya penuh kerutan, namun ada kelembutan yang terpancar dari senyumannya. Senyum itu, entah bagaimana, mengusir sebagian rasa takut di hati Zidan. "Kau takut padaku?" tanya kakek itu sambil melihat Zidan yang tubuhnya gemetar. Kakek itu menyadari bahwa sesuatu yang buruk pasti telah terjadi pada Zidan. Luka-luka di tubuhnya, wajahnya yang penuh ketegangan, semua ini menunjukkan bahwa bocah itu telah melalui banyak hal mengerikan. "Jangan takut, Kakek tidak akan menyakitimu. Kakek akan mengobati lukamu. Jadi, kau tak perlu takut lagi," kata kakek itu dengan suara tenang, mendekati Zidan perlahan-lahan, berusaha untuk meyakinkannya bahwa dia aman. Zidan, yang semula ketakutan, perlahan mulai merasa lebih tenang. Suara lembut sang kakek, serta kebaikan yang terlihat jelas dari wajahnya, membuat Zidan percaya bahwa kakek ini tidak akan menyakitinya. Ia merasa seolah-olah orang tua ini adalah satu-satunya manusia yang bisa diandalkan di dunia yang sepertinya telah mengkhianatinya. Setelah beberapa saat, Zidan akhirnya memutuskan untuk mengikuti kakek itu. Ia masih waspada, tapi setidaknya rasa takut yang melingkupinya sedikit mereda. Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang penuh dengan semak belukar dan dedaunan basah. Zidan melihat sekeliling hutan dengan hati-hati. Di sepanjang jalan, ia melihat banyak tanaman yang ia kenali sebagai tanaman obat. Insting alkemisnya membuatnya tertarik pada tumbuhan-tumbuhan itu, tetapi ia menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. Ia tahu bahwa situasi ini masih terlalu samar baginya untuk berbuat lebih dari sekadar mengikuti kakek tersebut. Setelah berjalan beberapa saat, mereka sampai di sebuah gubuk kecil yang tersembunyi di tengah hutan. Gubuk itu tampak sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap jerami yang nyaris rubuh. Zidan tidak menyangka akan menemukan sebuah bangunan di tengah hutan yang sangat dekat dengan desanya. Terlebih lagi, ia merasa aneh bahwa tak ada orang lain yang mengetahui keberadaan tempat ini, padahal hutan ini tidak jauh dari peradaban. “Masuklah, Nak,” kata kakek itu dengan suara lembut, sambil membimbing Zidan masuk ke dalam rumahnya. Zidan menurut dan melangkah masuk ke dalam gubuk yang sederhana itu. Di dalam, suasana terasa hangat meski perabotannya sangat minim. Kakek itu menyuruh Zidan duduk di sebuah bangku kayu tua, lalu mulai mengumpulkan beberapa barang yang tampaknya akan digunakan untuk mengobati luka-luka Zidan. Kakek itu mulai membersihkan luka-luka di tubuh Zidan dengan perban seadanya, serta mengoleskan ramuan herbal yang tampaknya dibuat dari tumbuhan di sekitar hutan. Melihat bahan-bahan yang digunakan, Zidan bisa menyimpulkan bahwa kakek ini tidak benar-benar mengerti tentang ilmu pengobatan yang lebih canggih. Namun, meski demikian, Zidan tetap menerima niat baik kakek tersebut dengan tulus. Di saat seperti ini, kebaikan apa pun adalah sesuatu yang sangat berarti baginya. “Terima kasih, Kek,” ucap Zidan pelan sambil menahan rasa sakit. Meski obat yang digunakan sederhana, ada sesuatu yang menenangkan dalam cara kakek itu merawatnya. Ia merasa aman, setidaknya untuk saat ini. “Tak perlu sungkan. Beristirahatlah. Aku tahu kau sedang terluka, dan kau tidak punya tempat tujuan sekarang, kan?” tanya kakek itu sambil tersenyum, tapi ada sorot mata penuh pengertian di balik senyuman itu. Zidan terkejut. "Bagaimana kakek bisa tahu?" tanyanya penasaran. Dia tidak memberitahu apa pun tentang dirinya pada kakek ini, tapi kakek itu tampaknya tahu lebih dari yang ia perlihatkan. “Dari luka-luka yang kau derita, terutama luka bakar itu,” jawab kakek sambil menunjuk bekas luka di lengan Zidan. Luka bakar itu adalah salah satu dari banyak luka yang ia dapat saat desa tempat tinggalnya dihancurkan. "Luka bakarku?" Zidan bertanya dengan hati-hati, merasa waspada kembali. Kakek itu mengangguk. “Berita tentang desa Teratai yang dihanguskan sudah menyebar ke mana-mana. Aku tahu kerajaan sedang memburu para alkemis. Dan dari luka-lukamu, aku bisa menebak bahwa kau adalah salah satu dari mereka yang berhasil melarikan diri.” Zidan menatap kakek itu dengan kaget. “Kakek tahu tentang itu?” bisiknya. “Tapi… kenapa kakek masih menolongku?” Zidan tahu bahwa para alkemis kini dianggap musuh kerajaan. Barang siapa yang menolong mereka, otomatis akan dianggap sebagai musuh kerajaan juga. Ini adalah risiko besar yang diambil kakek ini.Langit di atas Arzan membentang biru jernih, hanya dihiasi awan tipis yang melayang perlahan. Sinar matahari pagi memantulkan kilauan keemasan di atap istana yang megah, lambang dari pemerintahan baru yang kini membawa harapan bagi rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Raja Zidan, kerajaan yang dahulu dilanda peperangan kini berdiri dengan kokoh, lebih kuat dan lebih makmur dari sebelumnya.Di pusat kota, pasar yang dulunya sepi kini kembali ramai. Pedagang-pedagang memenuhi jalanan dengan tenda dan lapak mereka, menawarkan hasil bumi yang melimpah, kain-kain sutra yang indah, dan barang-barang berharga dari berbagai wilayah. Anak-anak berlarian dengan riang, suara tawa mereka menggema di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar. Tidak ada lagi ketakutan di mata mereka, tidak ada lagi bayangan peperangan yang menghantui.Di depan istana, Zidan berdiri tegak di atas balkon, memandang ke arah rakyatnya dengan mata penuh kebanggaan. Ia mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan su
Setelah melalui perjalanan panjang penuh darah dan pengorbanan, Zidan akhirnya berdiri di puncak kekuasaan. Dia tidak mendambakan tahta, tetapi takdir membawanya ke posisi itu. Sebagai pemimpin baru kerajaan Arzan, dia memikul beban yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Hari-hari setelah kemenangan besar itu dipenuhi dengan pertemuan, keputusan, dan perubahan yang drastis. Zidan menyadari bahwa kerajaan yang baru harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, bukan hanya dengan kekuatan alkemis, tetapi juga dengan keadilan dan kebijaksanaan yang benar-benar mengutamakan rakyat.Rakyat Arzan, yang dulu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kini mengangkat kepalanya. Di jalanan dan pasar, mereka menyebutnya dengan penuh hormat: Raja Zidan, meski ia lebih suka dianggap sebagai pelayan rakyat.Zidan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Arzan, ditemani oleh beberapa pengawal dan anggota dewan penasihat. Di setiap sudut, warga menyapanya dengan hormat. Para ped
Zidan berdiri di tengah reruntuhan istana Arzan, menatap medan pertempuran yang kini mulai mereda. Udara masih dipenuhi debu, bau darah dan mesiu bercampur dengan angin malam yang dingin."Kyro, cari yang terluka dan kumpulkan mereka di pusat kota!" perintah Zidan, suaranya penuh kewibawaan meski kelelahan jelas terasa.Kyro mengangguk dan segera bergerak, bersama beberapa alkemis lain yang masih mampu berdiri."Asmar, periksa reruntuhan. Ada kemungkinan beberapa orang masih terjebak di bawah sana," lanjutnya.Asmar tanpa ragu mulai menggambar lingkaran alkemis di tanah. Dengan kekuatan alkeminya, batu-batu besar perlahan bergerak, membuka jalur bagi mereka yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing.Di sisi lain, Kakek Suma memimpin pasukan alkemis yang tersisa, menahan sisa-sisa pengawal kerajaan yang menyerah. "Mereka yang menyerah, ikat dan kumpulkan. Kita akan menentukan nasib mereka nanti," katanya tegas.Zidan berjalan ke tengah kota yang porak-poranda. Beberapa warga sipil
Zidan menggenggam pedangnya erat, tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tidak padam. Energi biru yang mengelilinginya berkobar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang penuh amarah.Makhluk bayangan itu menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekelilingnya berputar seperti badai, membentuk tombak kegelapan raksasa."MATI!" raung makhluk itu, melemparkan tombak tersebut ke arah Zidan dengan kecepatan kilat.BOOM!Zidan melompat ke samping tepat sebelum tombak itu menghantam lantai, menciptakan kawah besar dan meruntuhkan sebagian dinding perpustakaan. Batu dan pecahan kayu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal.Dari dalam kabut, makhluk itu melesat ke arah Zidan dengan kecepatan tak kasat mata!CLANG!Pedang Zidan bertemu dengan cakar hitam makhluk itu, menciptakan percikan energi yang menyilaukan. Tubuh Zidan terdorong ke belakang oleh kekuatan luar biasa, tapi dia tetap bertahan."Asmar! Beri dia dukungan!"
Zidan mengatur napasnya, darah mengalir dari luka di pelipisnya. Ia dan kelompoknya telah terpojok di dalam Perpustakaan Terlarang, dikelilingi oleh Zarif, Jenderal Morvath, dan pasukan kekaisaran. "Dinding mulai runtuh," bisik Kyro. "Kita tak bisa bertahan lama di sini." Asmar menekan luka di bahunya, matanya tajam mengamati Morvath. "Jadi ini rencana Kaisar? Menghapus seluruh jejak sejarah alkemis?" Morvath menyeringai. "Sejarah tidak lebih dari beban bagi yang lemah. Kaisar menginginkan kekuatan sejati." Zarif melangkah maju. "Tak perlu banyak bicara. Kita akhiri mereka sekarang." Zidan tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia menjejak tanah, menciptakan gelombang energi yang menghantam lantai. Batu-batu berhamburan, menciptakan kabut debu yang menghalangi pandangan. "SEKARANG!" teriaknya. Kyro melemparkan bom asap, mempertebal kabut. Dalam kekacauan itu, Zidan berlari ke arah Morvath, mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tebasan itu hampir mengenai Morvath
Ruangan masih dipenuhi asap akibat ledakan. Zidan mengatur napasnya, matanya tetap waspada mengawasi tubuh Zarif yang tergeletak tak berdaya di lantai. Namun, ia tahu bahwa kemenangan ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar. "Asmar, kita harus pergi sekarang," ucap Zidan tegas. Asmar mengangguk. "Terowongan ini tidak akan bertahan lama. Kita harus menuju ke bagian terdalam istana sebelum pasukan lain datang." Mereka bergerak cepat melalui lorong bawah tanah, langkah mereka tergesa-gesa namun tetap berhati-hati. Zidan merasakan atmosfer yang semakin mencekam—seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Saat mereka mencapai persimpangan lorong, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Zidan memberi isyarat agar semua berhenti. Dari kejauhan, terlihat sekelompok pengawal istana yang membawa obor, menerangi lorong yang remang. "Tidak ada jalan mundur," bisik Kyro, menggenggam belatinya erat. "Tidak," Zidan menggeleng. "Kita akan membuat mereka kehil