Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Dunia ini tak sesederhana itu, Nak. Tidak semua orang setuju dengan kerajaan. Kadang kita harus menolong seseorang, bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka membutuhkan pertolongan. Dan kau, Nak, jelas membutuhkan pertolongan.”
Zidan terdiam. Kata-kata kakek itu begitu dalam dan penuh makna. Untuk pertama kalinya sejak tragedi di desanya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa memperdulikan siapa dia atau apa yang telah terjadi. Dia hanya seorang bocah yang terluka, dan kakek ini hanya ingin menolongnya. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Zidan pelan. “Tak perlu berkata apa-apa,” jawab kakek itu. “Sekarang istirahatlah, dan biarkan tubuhmu sembuh.” Zidan mulai memejamkan mata rasa nyaman membuatnya ingin sekali beristirahat, hari-hari kemarin begitu berat, kini ia bisa sedikit lega, karena ia bisa bersembunyi dalam hutan. Meski masih banyak pertanyaan tentang siapa kakek itu sebenarnya, tapi rasa kantuk sudah membuat Zidan ingin segera beristirahat. Esok paginya, Zidan terbangun karena aroma makanan yang lezat memenuhi udara. Matahari sudah mulai naik, sinarnya menerobos masuk dari sela-sela dinding gubuk yang lapuk. Perlahan-lahan, Zidan duduk, merasa tubuhnya jauh lebih baik daripada malam sebelumnya. Meskipun masih terasa sedikit sakit, luka-lukanya sudah dibalut dengan baik, dan ada kekuatan baru yang mulai mengalir di tubuhnya. Dia menoleh ke arah kakek yang sedang sibuk di dapur kecil, menyiapkan sarapan. Panci kecil mendidih di atas api unggun yang sederhana, sementara beberapa potong roti kasar tersaji di atas meja kayu. Zidan tersentuh oleh perhatian kakek itu. Setelah semua yang terjadi, kakek ini masih berusaha menolongnya. “Kau sudah bangun, Nak?” tanya kakek itu tanpa menoleh, seolah sudah tahu bahwa Zidan telah terjaga. “Sarapan sudah siap.” Zidan tersenyum kecil dan segera berdiri. "Biar aku membantumu, Kek," katanya, mencoba membantu. Kakek itu menggeleng sambil tersenyum. “Tidak perlu, ini sudah selesai. Mari duduk dan makanlah. Kau butuh energi.” Zidan mengikuti arahan kakek itu dan duduk di meja. Saat ia mengambil sepotong roti, hatinya dipenuhi rasa syukur yang dalam. Ia tahu bahwa tanpa bantuan kakek ini, ia mungkin sudah tidak akan selamat. “Terima kasih, Kek,” ucap Zidan tulus. “Kakek begitu baik padaku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika tidak ada kakek.” Kakek itu tersenyum lembut, tatapan matanya penuh kebijaksanaan. “Kau tidak perlu memikirkan hal itu, Nak. Semua orang berhak mendapatkan pertolongan, terutama mereka yang teraniaya oleh keadaan. Aku juga merasa kecewa dengan kerajaan dan apa yang mereka lakukan. Kemarin, aku pergi ke desa Teratai... dan tidak ada yang tersisa di sana.” Hati Zidan terasa seperti terhimpit batu. Ia menunduk, matanya berair. “Benarkah, Kek?” suaranya terdengar gemetar. Kakek itu mengangguk perlahan. “Ya. Desa itu hancur total. Tidak ada yang tersisa, hanya puing-puing. Padahal, dalam dunia persilatan, alkemis sangat penting untuk mendukung para kesatria. Sayang sekali kerajaan tidak melihat itu. Mereka hanya melihat ancaman di mana seharusnya ada persahabatan.” Zidan mengangkat kepalanya, terkejut mendengar kakek itu berbicara tentang dunia persilatan. “Apa kakek tahu tentang dunia persilatan?” tanyanya dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Kakek itu tertawa kecil, suaranya serak namun penuh kenangan. “Tentu saja, Nak. Dulu, ketika aku masih muda, aku adalah seorang pendekar yang sangat disegani. Aku pernah berkelana dari satu tempat ke tempat lain, menantang banyak musuh, dan belajar berbagai ilmu silat. Tapi waktu terus berjalan. Sekarang, semuanya berubah. Para pangeran dan bangsawan memiliki kekuatan yang lebih besar dari apa yang dimiliki pendekar sepertiku.” Zidan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia mulai menyadari bahwa kakek ini bukanlah orang biasa. Ada banyak pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan di balik sosok tuanya. “Aku seharusnya berlatih bela diri, Kek, bukan alkemis,” kata Zidan dengan nada penuh penyesalan. “Mungkin jika aku lebih kuat, aku bisa melindungi desaku.” Kakek itu menggeleng sambil tersenyum. “Jangan menyesali jalan yang telah kau pilih, Nak. Ilmu alkemis adalah ilmu yang sangat berharga. Tetapi kakek harap, kau bisa menguasai keduanya—baik alkemis maupun ilmu bela diri. Dengan begitu, kau bisa menjadi lebih kuat dan mandiri.” Zidan ragu sejenak. “Apakah aku bisa?” tanyanya dengan suara pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Tentu saja kau bisa,” jawab kakek itu dengan keyakinan yang tulus. “Jika kau mau belajar dan berlatih dengan tekun, segalanya mungkin. Kakek bisa mengajarimu ilmu silat. Tapi untuk sekarang, yang paling penting adalah kau menyembuhkan lukamu terlebih dahulu. Apa kau ingin mencoba membuat obatmu sendiri?” Zidan terdiam sejenak, pikirannya melayang mengingat pelajaran terakhir yang diajarkan oleh ayahnya sebelum desa mereka diserang. Ayahnya adalah seorang alkemis hebat yang mengajarkan Zidan banyak tentang obat-obatan herbal dan ramuan penyembuh. Dia tahu bahwa di hutan ini terdapat banyak tanaman obat yang bisa digunakan untuk menyembuhkan lukanya. “Kenapa terdiam?” tanya kakek itu, melihat Zidan tenggelam dalam pikirannya. “Apa kau takut?” Zidan tersadar dari lamunannya. “Ah, tidak, Kek. Aku hanya berpikir… apakah aman bagiku mencari tanaman obat di hutan ini?”Langit di atas Arzan membentang biru jernih, hanya dihiasi awan tipis yang melayang perlahan. Sinar matahari pagi memantulkan kilauan keemasan di atap istana yang megah, lambang dari pemerintahan baru yang kini membawa harapan bagi rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Raja Zidan, kerajaan yang dahulu dilanda peperangan kini berdiri dengan kokoh, lebih kuat dan lebih makmur dari sebelumnya.Di pusat kota, pasar yang dulunya sepi kini kembali ramai. Pedagang-pedagang memenuhi jalanan dengan tenda dan lapak mereka, menawarkan hasil bumi yang melimpah, kain-kain sutra yang indah, dan barang-barang berharga dari berbagai wilayah. Anak-anak berlarian dengan riang, suara tawa mereka menggema di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar. Tidak ada lagi ketakutan di mata mereka, tidak ada lagi bayangan peperangan yang menghantui.Di depan istana, Zidan berdiri tegak di atas balkon, memandang ke arah rakyatnya dengan mata penuh kebanggaan. Ia mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan su
Setelah melalui perjalanan panjang penuh darah dan pengorbanan, Zidan akhirnya berdiri di puncak kekuasaan. Dia tidak mendambakan tahta, tetapi takdir membawanya ke posisi itu. Sebagai pemimpin baru kerajaan Arzan, dia memikul beban yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Hari-hari setelah kemenangan besar itu dipenuhi dengan pertemuan, keputusan, dan perubahan yang drastis. Zidan menyadari bahwa kerajaan yang baru harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, bukan hanya dengan kekuatan alkemis, tetapi juga dengan keadilan dan kebijaksanaan yang benar-benar mengutamakan rakyat.Rakyat Arzan, yang dulu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kini mengangkat kepalanya. Di jalanan dan pasar, mereka menyebutnya dengan penuh hormat: Raja Zidan, meski ia lebih suka dianggap sebagai pelayan rakyat.Zidan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Arzan, ditemani oleh beberapa pengawal dan anggota dewan penasihat. Di setiap sudut, warga menyapanya dengan hormat. Para ped
Zidan berdiri di tengah reruntuhan istana Arzan, menatap medan pertempuran yang kini mulai mereda. Udara masih dipenuhi debu, bau darah dan mesiu bercampur dengan angin malam yang dingin."Kyro, cari yang terluka dan kumpulkan mereka di pusat kota!" perintah Zidan, suaranya penuh kewibawaan meski kelelahan jelas terasa.Kyro mengangguk dan segera bergerak, bersama beberapa alkemis lain yang masih mampu berdiri."Asmar, periksa reruntuhan. Ada kemungkinan beberapa orang masih terjebak di bawah sana," lanjutnya.Asmar tanpa ragu mulai menggambar lingkaran alkemis di tanah. Dengan kekuatan alkeminya, batu-batu besar perlahan bergerak, membuka jalur bagi mereka yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing.Di sisi lain, Kakek Suma memimpin pasukan alkemis yang tersisa, menahan sisa-sisa pengawal kerajaan yang menyerah. "Mereka yang menyerah, ikat dan kumpulkan. Kita akan menentukan nasib mereka nanti," katanya tegas.Zidan berjalan ke tengah kota yang porak-poranda. Beberapa warga sipil
Zidan menggenggam pedangnya erat, tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tidak padam. Energi biru yang mengelilinginya berkobar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang penuh amarah.Makhluk bayangan itu menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekelilingnya berputar seperti badai, membentuk tombak kegelapan raksasa."MATI!" raung makhluk itu, melemparkan tombak tersebut ke arah Zidan dengan kecepatan kilat.BOOM!Zidan melompat ke samping tepat sebelum tombak itu menghantam lantai, menciptakan kawah besar dan meruntuhkan sebagian dinding perpustakaan. Batu dan pecahan kayu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal.Dari dalam kabut, makhluk itu melesat ke arah Zidan dengan kecepatan tak kasat mata!CLANG!Pedang Zidan bertemu dengan cakar hitam makhluk itu, menciptakan percikan energi yang menyilaukan. Tubuh Zidan terdorong ke belakang oleh kekuatan luar biasa, tapi dia tetap bertahan."Asmar! Beri dia dukungan!"
Zidan mengatur napasnya, darah mengalir dari luka di pelipisnya. Ia dan kelompoknya telah terpojok di dalam Perpustakaan Terlarang, dikelilingi oleh Zarif, Jenderal Morvath, dan pasukan kekaisaran. "Dinding mulai runtuh," bisik Kyro. "Kita tak bisa bertahan lama di sini." Asmar menekan luka di bahunya, matanya tajam mengamati Morvath. "Jadi ini rencana Kaisar? Menghapus seluruh jejak sejarah alkemis?" Morvath menyeringai. "Sejarah tidak lebih dari beban bagi yang lemah. Kaisar menginginkan kekuatan sejati." Zarif melangkah maju. "Tak perlu banyak bicara. Kita akhiri mereka sekarang." Zidan tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia menjejak tanah, menciptakan gelombang energi yang menghantam lantai. Batu-batu berhamburan, menciptakan kabut debu yang menghalangi pandangan. "SEKARANG!" teriaknya. Kyro melemparkan bom asap, mempertebal kabut. Dalam kekacauan itu, Zidan berlari ke arah Morvath, mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tebasan itu hampir mengenai Morvath
Ruangan masih dipenuhi asap akibat ledakan. Zidan mengatur napasnya, matanya tetap waspada mengawasi tubuh Zarif yang tergeletak tak berdaya di lantai. Namun, ia tahu bahwa kemenangan ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar. "Asmar, kita harus pergi sekarang," ucap Zidan tegas. Asmar mengangguk. "Terowongan ini tidak akan bertahan lama. Kita harus menuju ke bagian terdalam istana sebelum pasukan lain datang." Mereka bergerak cepat melalui lorong bawah tanah, langkah mereka tergesa-gesa namun tetap berhati-hati. Zidan merasakan atmosfer yang semakin mencekam—seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Saat mereka mencapai persimpangan lorong, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Zidan memberi isyarat agar semua berhenti. Dari kejauhan, terlihat sekelompok pengawal istana yang membawa obor, menerangi lorong yang remang. "Tidak ada jalan mundur," bisik Kyro, menggenggam belatinya erat. "Tidak," Zidan menggeleng. "Kita akan membuat mereka kehil