Beranda / Fantasi / ALKEMIS TERAKHIR / 7. Pengawal Kerajaan

Share

7. Pengawal Kerajaan

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 17:45:02

"Bagaimana, Nak? Kau baik-baik saja?" tanya Kakek Suma dengan lembut, nada suaranya kali ini lebih tenang dibanding biasanya.

Zidan, dengan penuh kebanggaan, mengangkat pil kecil yang baru saja dia buat. "Kek, lihat! Aku berhasil!" serunya penuh antusias.

Kakek Suma mendekat, menatap pil di tangan Zidan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar saat ia berkata, “Luar biasa, Zidan. Kau benar-benar berhasil.”

Zidan masih tidak percaya dengan hasilnya. "Ini pertama kalinya aku melakukannya sendiri, dan berhasil!" ucapnya takjub.

Kakek Suma mengangguk perlahan, meski di dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. “Ternyata kekhawatiranku tidak perlu, kau berhasil, Nak,” ucapnya sambil mengusap kepala Zidan dengan penuh kasih sayang.

Zidan tersenyum, namun tatapannya tetap fokus pada pil itu. “Aku akan segera meminumnya, Kek,” katanya dengan penuh keyakinan.

Namun, Kakek Suma segera mengingatkan. "Kau tahu, kan? Pil ini pasti ada efek sampingnya," ujarnya serius, memperingatkan cucunya.

Zidan mengangguk. "Iya, Kek. Ayahku pernah bilang semakin kuat khasiat sebuah pil, semakin besar pula risikonya."

"Tepat," sahut Kakek Suma. "Kau tidak perlu terburu-buru meminumnya. Persiapkan dulu tenagamu."

Zidan setuju. "Baik, Kek. Mungkin nanti malam setelah istirahat."

Kakek Suma mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus. Kau harus memulihkan tenagamu terlebih dahulu."

Setelah mengingatkan Zidan, Kakek Suma bersiap-siap untuk pergi ke kota mencari bahan makanan. "Kakek akan keluar sebentar ke kota untuk mencari bahan makanan. Apa kau butuh sesuatu?"

Zidan tampak ragu. "Seharusnya aku ikut, Kek. Aku bisa membantu."

Namun, Kakek Suma menggelengkan kepala dengan lembut. "Tidak perlu, Nak. Kebutuhan dapur sudah menipis, aku harus segera pergi."

Zidan tak menyerah begitu saja. "Bagaimana kalau besok saja, Kek? Aku ingin ikut."

Kakek Suma tersenyum kecil, namun tetap bersikeras. "Tidak bisa. Kau perlu istirahat. Besok mungkin kita bisa pergi bersama."

Zidan akhirnya menyerah. "Baiklah," katanya pelan. Ia melangkah ke kamarnya, merasa lelah setelah seluruh energinya terkuras akibat proses pembuatan pil tadi.

Sementara itu, Kakek Suma bergegas menuju pasar di kota. Namun, di dalam hatinya, ada rasa gelisah yang sulit dijelaskan. Di kota, situasi sedang tidak menentu. Pihak kerajaan tengah mencari orang-orang yang selamat dari insiden di Desa Teratai, terutama mereka yang memiliki tanda-tanda luka bakar seperti yang dialami Zidan. Berita ini membuat Kakek Suma cemas, apalagi Zidan berencana ikut ke kota besok.

Setelah selesai berbelanja, Kakek Suma segera pulang dengan langkah cepat. Pikiran tentang keselamatan Zidan terus menghantuinya. “Aku harus segera memberi tahu anak itu. Kasihan kalau sampai dia tertangkap,” gumamnya dalam hati. Luka bakar di wajah Zidan terlalu mencolok dan sulit untuk disembunyikan.

Sesampainya di rumah, Kakek Suma segera menuju kamar Zidan. Namun, dia terkejut saat melihat kamar itu kosong. Di meja, terdapat sepucuk surat yang ditinggalkan Zidan.

“Kek, aku keluar sebentar untuk mencari bahan obat,” tulis Zidan dalam surat itu.

Hati Kakek Suma langsung panik. Dia tahu betul risiko yang dihadapi Zidan jika sampai bertemu dengan pasukan kerajaan. Dengan cepat, Kakek Suma bergegas mencari Zidan. "Aku harus menemukannya sebelum terlambat," batinnya.

Sementara itu, Zidan yang tidak tahu bahwa dia sedang dalam bahaya, sedang berjalan di pinggiran kota mencari tanaman obat. Dia berharap bisa menemui Kakek Suma di sana. Namun, dia tidak menyadari bahwa di kota tersebut sedang berlangsung perburuan besar-besaran oleh pasukan kerajaan. Mereka mencari korban yang selamat dari insiden Desa Teratai untuk diinterogasi lebih lanjut.

Saat Zidan sedang memetik beberapa tanaman, dia mendengar suara langkah kaki yang berat. Dia menoleh dan melihat seorang pengawal kerajaan sedang mendekatinya.

"Tunggu sebentar!" seru pengawal itu, mencoba menghentikan Zidan.

Jantung Zidan langsung berdegup kencang. Dia merasa terancam dan tubuhnya seketika membeku. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. "Kenapa pengawal ini menghentikanku?" pikirnya penuh kekhawatiran.

Pengawal itu semakin mendekat, matanya menatap tajam ke arah Zidan. "Apa yang kau lakukan di sini, bocah?!" tanya pengawal itu dengan nada curiga.

Zidan mencoba tetap tenang, meskipun pikirannya kacau. "Aku... aku hanya mencari kakekku, Tuan," jawabnya dengan suara gemetar.

Pengawal itu menyipitkan mata, seolah mencoba membaca kebenaran dari ucapan Zidan. Lalu tatapannya tertuju pada bekas luka bakar di wajah Zidan. "Luka di wajahmu... dari mana kau mendapatkannya?" tanya pengawal itu dengan nada yang lebih tegas.

Zidan tersentak. Dia tahu bahwa luka itu bisa menjadi petunjuk yang membahayakan dirinya. "Ini... ini luka lama, Tuan. Kecelakaan," jawabnya terbata-bata.

Pengawal itu tampak tidak yakin. "Kau dari mana, bocah?"

Zidan terdiam. Dia tahu bahwa salah menjawab pertanyaan ini bisa membahayakan nyawanya. Namun, sebelum dia sempat menjawab, suara lain terdengar.

"Hei, bocah!" Kakek Suma muncul dari balik pepohonan, berjalan dengan cepat menuju Zidan. "Maaf, Tuan. Cucuku ini sedikit keras kepala. Dia seharusnya tidak berada di sini."

Pengawal itu menatap Kakek Suma dengan tatapan curiga. "Siapa kau, orang tua?"

"Saya hanya seorang pedagang keliling dari desa sebelah, Tuan," jawab Kakek Suma sambil menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan sikap hormat.

Kakek Suma dan Zidan tidak tahu apa pengawal itu percaya. Kakek Suma sudah berusaha keras untuk bisa menyelamatkan Zidan.

Pengawal kerajaan tak bisa percaya dengan mudah, walau kakek Suma sudah memberi penjelasan. Pengawal itu tetap membawa Zidan untuk melakukan pengecekan.

“Semua itu akan terbukti nanti, bawa anak ini dan Kakeknya ke Pengadilan,” ucapan Pengawal itu membuat Zidan bergetar.

Kakek Suma bahkan harus ikut bersama Zidan ke pengadilan kerajaan. “Bagaimana aku bisa membahayakan Kakek juga, apa yang harus aku lakukan,” batin Zidan yang kacau tak bisa berbuat apapun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ALKEMIS TERAKHIR    116. Raja Zidan

    Langit di atas Arzan membentang biru jernih, hanya dihiasi awan tipis yang melayang perlahan. Sinar matahari pagi memantulkan kilauan keemasan di atap istana yang megah, lambang dari pemerintahan baru yang kini membawa harapan bagi rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Raja Zidan, kerajaan yang dahulu dilanda peperangan kini berdiri dengan kokoh, lebih kuat dan lebih makmur dari sebelumnya.Di pusat kota, pasar yang dulunya sepi kini kembali ramai. Pedagang-pedagang memenuhi jalanan dengan tenda dan lapak mereka, menawarkan hasil bumi yang melimpah, kain-kain sutra yang indah, dan barang-barang berharga dari berbagai wilayah. Anak-anak berlarian dengan riang, suara tawa mereka menggema di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar. Tidak ada lagi ketakutan di mata mereka, tidak ada lagi bayangan peperangan yang menghantui.Di depan istana, Zidan berdiri tegak di atas balkon, memandang ke arah rakyatnya dengan mata penuh kebanggaan. Ia mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan su

  • ALKEMIS TERAKHIR    115. Raja Baru

    Setelah melalui perjalanan panjang penuh darah dan pengorbanan, Zidan akhirnya berdiri di puncak kekuasaan. Dia tidak mendambakan tahta, tetapi takdir membawanya ke posisi itu. Sebagai pemimpin baru kerajaan Arzan, dia memikul beban yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Hari-hari setelah kemenangan besar itu dipenuhi dengan pertemuan, keputusan, dan perubahan yang drastis. Zidan menyadari bahwa kerajaan yang baru harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, bukan hanya dengan kekuatan alkemis, tetapi juga dengan keadilan dan kebijaksanaan yang benar-benar mengutamakan rakyat.Rakyat Arzan, yang dulu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kini mengangkat kepalanya. Di jalanan dan pasar, mereka menyebutnya dengan penuh hormat: Raja Zidan, meski ia lebih suka dianggap sebagai pelayan rakyat.Zidan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Arzan, ditemani oleh beberapa pengawal dan anggota dewan penasihat. Di setiap sudut, warga menyapanya dengan hormat. Para ped

  • ALKEMIS TERAKHIR    114. Kemenangan

    Zidan berdiri di tengah reruntuhan istana Arzan, menatap medan pertempuran yang kini mulai mereda. Udara masih dipenuhi debu, bau darah dan mesiu bercampur dengan angin malam yang dingin."Kyro, cari yang terluka dan kumpulkan mereka di pusat kota!" perintah Zidan, suaranya penuh kewibawaan meski kelelahan jelas terasa.Kyro mengangguk dan segera bergerak, bersama beberapa alkemis lain yang masih mampu berdiri."Asmar, periksa reruntuhan. Ada kemungkinan beberapa orang masih terjebak di bawah sana," lanjutnya.Asmar tanpa ragu mulai menggambar lingkaran alkemis di tanah. Dengan kekuatan alkeminya, batu-batu besar perlahan bergerak, membuka jalur bagi mereka yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing.Di sisi lain, Kakek Suma memimpin pasukan alkemis yang tersisa, menahan sisa-sisa pengawal kerajaan yang menyerah. "Mereka yang menyerah, ikat dan kumpulkan. Kita akan menentukan nasib mereka nanti," katanya tegas.Zidan berjalan ke tengah kota yang porak-poranda. Beberapa warga sipil

  • ALKEMIS TERAKHIR    113. Serangan

    Zidan menggenggam pedangnya erat, tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tidak padam. Energi biru yang mengelilinginya berkobar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang penuh amarah.Makhluk bayangan itu menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekelilingnya berputar seperti badai, membentuk tombak kegelapan raksasa."MATI!" raung makhluk itu, melemparkan tombak tersebut ke arah Zidan dengan kecepatan kilat.BOOM!Zidan melompat ke samping tepat sebelum tombak itu menghantam lantai, menciptakan kawah besar dan meruntuhkan sebagian dinding perpustakaan. Batu dan pecahan kayu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal.Dari dalam kabut, makhluk itu melesat ke arah Zidan dengan kecepatan tak kasat mata!CLANG!Pedang Zidan bertemu dengan cakar hitam makhluk itu, menciptakan percikan energi yang menyilaukan. Tubuh Zidan terdorong ke belakang oleh kekuatan luar biasa, tapi dia tetap bertahan."Asmar! Beri dia dukungan!"

  • ALKEMIS TERAKHIR    112. Perang Kerajaan Arzan

    Zidan mengatur napasnya, darah mengalir dari luka di pelipisnya. Ia dan kelompoknya telah terpojok di dalam Perpustakaan Terlarang, dikelilingi oleh Zarif, Jenderal Morvath, dan pasukan kekaisaran. "Dinding mulai runtuh," bisik Kyro. "Kita tak bisa bertahan lama di sini." Asmar menekan luka di bahunya, matanya tajam mengamati Morvath. "Jadi ini rencana Kaisar? Menghapus seluruh jejak sejarah alkemis?" Morvath menyeringai. "Sejarah tidak lebih dari beban bagi yang lemah. Kaisar menginginkan kekuatan sejati." Zarif melangkah maju. "Tak perlu banyak bicara. Kita akhiri mereka sekarang." Zidan tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia menjejak tanah, menciptakan gelombang energi yang menghantam lantai. Batu-batu berhamburan, menciptakan kabut debu yang menghalangi pandangan. "SEKARANG!" teriaknya. Kyro melemparkan bom asap, mempertebal kabut. Dalam kekacauan itu, Zidan berlari ke arah Morvath, mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tebasan itu hampir mengenai Morvath

  • ALKEMIS TERAKHIR    111. Pengkhianatan

    Ruangan masih dipenuhi asap akibat ledakan. Zidan mengatur napasnya, matanya tetap waspada mengawasi tubuh Zarif yang tergeletak tak berdaya di lantai. Namun, ia tahu bahwa kemenangan ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar. "Asmar, kita harus pergi sekarang," ucap Zidan tegas. Asmar mengangguk. "Terowongan ini tidak akan bertahan lama. Kita harus menuju ke bagian terdalam istana sebelum pasukan lain datang." Mereka bergerak cepat melalui lorong bawah tanah, langkah mereka tergesa-gesa namun tetap berhati-hati. Zidan merasakan atmosfer yang semakin mencekam—seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Saat mereka mencapai persimpangan lorong, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Zidan memberi isyarat agar semua berhenti. Dari kejauhan, terlihat sekelompok pengawal istana yang membawa obor, menerangi lorong yang remang. "Tidak ada jalan mundur," bisik Kyro, menggenggam belatinya erat. "Tidak," Zidan menggeleng. "Kita akan membuat mereka kehil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status