Kakek Suma menatap jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa lampau. “Kerajaan takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Alkemis memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa menandingi kekuatan para pangeran dan pejabat kerajaan. Jika alkemis terus berkembang, mereka takut kekuatan mereka akan runtuh. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk memusnahkan semua alkemis, agar tak ada yang bisa menandingi kekuasaan mereka.”
Zidan menggigit bibirnya, merasakan kemarahan dan ketidakadilan yang mendalam. "Jadi, itulah mengapa mereka menyerang Desa Teratai," gumamnya. “Ya, Nak,” jawab Kakek Suma. “Desa Teratai terkenal karena para alkemisnya. Itulah sebabnya kerajaan memilih untuk menghancurkannya,” Mendengar itu, Zidan merasa bebannya semakin berat. Ia sadar bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang masa depan alkemis yang tersisa. "Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanyanya dengan suara lemah. “Kau harus terus belajar, Zidan. Kakek akan membantumu menguasai ilmu bela diri,” jelas Kakek Suma yang bisa mengajarkan Zidan beladiri. Karena Kakek Suma menguasai itu. Melihat pemuda yang ada dihadapannya kini membuat Kakek Suma ingin menurunkan semua ilmunya. Apalagi setelah tragedi desa teratai. Banyak orang yang menjadi korban karena kekuasaan dan rasa takut akan kehebatan seorang. “Benarkah, tapi saya belum cukup kuat untuk itu,” kata Zidan tidak yakin ia akan bisa menguasai ilmu beladiri. Karena sebelum belum ada Alkemis yang bisa ilmu beladiri dan pengobatan. Kekuatan yang seharusnya berdampingan. Kini harus ia pelajari bersama. Memikirkannya pun membuat Zidan tak percaya. “Tenang saja, kau juga bisa belajar alkemis,” jelas Kakek Suma yang pernah memiliki seorang Sahabat Alkemis. Jadi kakek Suma sudah terbiasa dengan Alkemis. “Katanya, kakek bukan seorang alkemis?” tanya Zidan yang tak yakin jika Kakek Suma bisa mengajarkan beladiri dan pengobatan. “Kau bisa mengetahuinya sendiri,” jawab Kakek Suma sambil tersenyum tipis. “Temanku pernah memberiku beberapa kitab alkimia. Bacalah, dan pelajari sendiri.” Zidan tersenyum lebar, matanya berbinar. “Baik, Kek!” ucapnya penuh semangat, langkah kakinya cepat menuju rumah kecil mereka di pinggir desa. Sesampainya di gubuk, Zidan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang ia kumpulkan selama perjalanan. Di tangannya, ada beberapa tumbuhan, akar, dan, yang paling berharga, sebatang ginseng tua. “Kau yakin ingin membuatnya sekarang?” tanya Kakek Suma, mengawasi Zidan dengan tatapan lembut. “Iya, Kek. Aku akan membuat pil pemulihan ini. Ayah pernah mengajarkannya padaku dulu,” jawab Zidan yakin sambil menata bahan-bahannya dengan hati-hati. “Benarkah? Apakah bahannya sama dengan yang ayahmu ajarkan?” Kakek Suma meneliti bahan-bahan yang terhampar di depan Zidan. Zidan tersenyum penuh percaya diri. “Tidak sepenuhnya. Aku menambahkan ginseng ini dan sedikit mengubah komposisinya.” Kakek Suma menyipitkan mata. “Apa kau yakin akan berhasil?” Zidan menarik napas dalam. “Ini percobaan pertamaku tanpa bantuan Ayah, jadi ada kemungkinan gagal. Tapi aku siap menghadapi risikonya.” Kakek Suma terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. “Kau sudah memahami risiko yang ada, itu bagus. Cobalah.” Dengan penuh ketelitian, Zidan mulai meracik bahan-bahannya. Tangannya cekatan, sementara matanya penuh konsentrasi. Ia menyalurkan tenaga dalamnya, dan seketika sinar biru terang menyelimuti ruangan. Aura misterius menyebar di udara, membuat suasana terasa tegang. Kakek Suma memperhatikan setiap gerakan Zidan dengan seksama. Dalam hati, ia terkejut. “Alkemis tingkat tiga... Siapa sangka, pemuda ini sudah bisa menguasai tingkat tiga dengan begitu sempurna,” gumamnya pelan. Ini bukan hal baru bagi Kakek Suma. Sebagai seseorang yang pernah hidup di antara para alkemis hebat, ia tahu betul bagaimana mengukur kekuatan dan keterampilan seorang alkemis. Meskipun dirinya tak pernah mempraktekkan alkemia, ia memiliki mata yang terlatih. Setelah melihat Zidan bekerja dengan penuh dedikasi, Kakek Suma merasa tenang. “Dia pasti bisa melakukannya,” pikirnya, lalu beranjak keluar gubuk untuk menunggu hasil di luar. Namun, tidak lama kemudian DUAR!! Sebuah ledakan mengguncang gubuk kecil itu. Suara keras menggema, mengejutkan Kakek Suma yang sedang menunggu di luar. “Apa yang terjadi?” gumam Kakek Suma, hatinya berdegup kencang. “Apakah dia gagal? Sayang sekali kalau ginseng seribu tahun itu terbuang sia-sia.” Dengan cepat, ia berlari masuk ke dalam gubuk, khawatir akan keselamatan Zidan. Kakek Suma menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu gubuk. Suara ledakan yang tadi terdengar jelas membuat hatinya berdebar-debar. Ia bukan hanya khawatir akan kegagalan Zidan, tapi juga cemas jika cucunya terluka karena ledakan itu. “Zidan! Kau baik-baik saja?” seru Kakek Suma sambil bergegas masuk ke dalam gubuk. Asap tipis masih memenuhi ruangan, dan aroma berbagai ramuan yang bercampur menyeruak ke udara. Di tengah ruangan, Zidan terduduk dengan wajah tertutup debu, namun senyum kecil terlihat di sudut bibirnya. “Kakek, aku... aku tidak apa-apa,” sahut Zidan sambil terbatuk-batuk, membersihkan wajahnya dengan lengan baju. Kakek Suma menghela napas lega meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Ia melangkah mendekat, memperhatikan meja kayu di depan ZidanLangit di atas Arzan membentang biru jernih, hanya dihiasi awan tipis yang melayang perlahan. Sinar matahari pagi memantulkan kilauan keemasan di atap istana yang megah, lambang dari pemerintahan baru yang kini membawa harapan bagi rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Raja Zidan, kerajaan yang dahulu dilanda peperangan kini berdiri dengan kokoh, lebih kuat dan lebih makmur dari sebelumnya.Di pusat kota, pasar yang dulunya sepi kini kembali ramai. Pedagang-pedagang memenuhi jalanan dengan tenda dan lapak mereka, menawarkan hasil bumi yang melimpah, kain-kain sutra yang indah, dan barang-barang berharga dari berbagai wilayah. Anak-anak berlarian dengan riang, suara tawa mereka menggema di antara bangunan-bangunan yang telah dipugar. Tidak ada lagi ketakutan di mata mereka, tidak ada lagi bayangan peperangan yang menghantui.Di depan istana, Zidan berdiri tegak di atas balkon, memandang ke arah rakyatnya dengan mata penuh kebanggaan. Ia mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan su
Setelah melalui perjalanan panjang penuh darah dan pengorbanan, Zidan akhirnya berdiri di puncak kekuasaan. Dia tidak mendambakan tahta, tetapi takdir membawanya ke posisi itu. Sebagai pemimpin baru kerajaan Arzan, dia memikul beban yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Hari-hari setelah kemenangan besar itu dipenuhi dengan pertemuan, keputusan, dan perubahan yang drastis. Zidan menyadari bahwa kerajaan yang baru harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, bukan hanya dengan kekuatan alkemis, tetapi juga dengan keadilan dan kebijaksanaan yang benar-benar mengutamakan rakyat.Rakyat Arzan, yang dulu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kini mengangkat kepalanya. Di jalanan dan pasar, mereka menyebutnya dengan penuh hormat: Raja Zidan, meski ia lebih suka dianggap sebagai pelayan rakyat.Zidan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Arzan, ditemani oleh beberapa pengawal dan anggota dewan penasihat. Di setiap sudut, warga menyapanya dengan hormat. Para ped
Zidan berdiri di tengah reruntuhan istana Arzan, menatap medan pertempuran yang kini mulai mereda. Udara masih dipenuhi debu, bau darah dan mesiu bercampur dengan angin malam yang dingin."Kyro, cari yang terluka dan kumpulkan mereka di pusat kota!" perintah Zidan, suaranya penuh kewibawaan meski kelelahan jelas terasa.Kyro mengangguk dan segera bergerak, bersama beberapa alkemis lain yang masih mampu berdiri."Asmar, periksa reruntuhan. Ada kemungkinan beberapa orang masih terjebak di bawah sana," lanjutnya.Asmar tanpa ragu mulai menggambar lingkaran alkemis di tanah. Dengan kekuatan alkeminya, batu-batu besar perlahan bergerak, membuka jalur bagi mereka yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing.Di sisi lain, Kakek Suma memimpin pasukan alkemis yang tersisa, menahan sisa-sisa pengawal kerajaan yang menyerah. "Mereka yang menyerah, ikat dan kumpulkan. Kita akan menentukan nasib mereka nanti," katanya tegas.Zidan berjalan ke tengah kota yang porak-poranda. Beberapa warga sipil
Zidan menggenggam pedangnya erat, tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tidak padam. Energi biru yang mengelilinginya berkobar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang penuh amarah.Makhluk bayangan itu menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekelilingnya berputar seperti badai, membentuk tombak kegelapan raksasa."MATI!" raung makhluk itu, melemparkan tombak tersebut ke arah Zidan dengan kecepatan kilat.BOOM!Zidan melompat ke samping tepat sebelum tombak itu menghantam lantai, menciptakan kawah besar dan meruntuhkan sebagian dinding perpustakaan. Batu dan pecahan kayu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal.Dari dalam kabut, makhluk itu melesat ke arah Zidan dengan kecepatan tak kasat mata!CLANG!Pedang Zidan bertemu dengan cakar hitam makhluk itu, menciptakan percikan energi yang menyilaukan. Tubuh Zidan terdorong ke belakang oleh kekuatan luar biasa, tapi dia tetap bertahan."Asmar! Beri dia dukungan!"
Zidan mengatur napasnya, darah mengalir dari luka di pelipisnya. Ia dan kelompoknya telah terpojok di dalam Perpustakaan Terlarang, dikelilingi oleh Zarif, Jenderal Morvath, dan pasukan kekaisaran. "Dinding mulai runtuh," bisik Kyro. "Kita tak bisa bertahan lama di sini." Asmar menekan luka di bahunya, matanya tajam mengamati Morvath. "Jadi ini rencana Kaisar? Menghapus seluruh jejak sejarah alkemis?" Morvath menyeringai. "Sejarah tidak lebih dari beban bagi yang lemah. Kaisar menginginkan kekuatan sejati." Zarif melangkah maju. "Tak perlu banyak bicara. Kita akhiri mereka sekarang." Zidan tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia menjejak tanah, menciptakan gelombang energi yang menghantam lantai. Batu-batu berhamburan, menciptakan kabut debu yang menghalangi pandangan. "SEKARANG!" teriaknya. Kyro melemparkan bom asap, mempertebal kabut. Dalam kekacauan itu, Zidan berlari ke arah Morvath, mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tebasan itu hampir mengenai Morvath
Ruangan masih dipenuhi asap akibat ledakan. Zidan mengatur napasnya, matanya tetap waspada mengawasi tubuh Zarif yang tergeletak tak berdaya di lantai. Namun, ia tahu bahwa kemenangan ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar. "Asmar, kita harus pergi sekarang," ucap Zidan tegas. Asmar mengangguk. "Terowongan ini tidak akan bertahan lama. Kita harus menuju ke bagian terdalam istana sebelum pasukan lain datang." Mereka bergerak cepat melalui lorong bawah tanah, langkah mereka tergesa-gesa namun tetap berhati-hati. Zidan merasakan atmosfer yang semakin mencekam—seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Saat mereka mencapai persimpangan lorong, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Zidan memberi isyarat agar semua berhenti. Dari kejauhan, terlihat sekelompok pengawal istana yang membawa obor, menerangi lorong yang remang. "Tidak ada jalan mundur," bisik Kyro, menggenggam belatinya erat. "Tidak," Zidan menggeleng. "Kita akan membuat mereka kehil