Share

Bab 3

AMBIL SAJA SUAMIKU 3

Mungkin, rasanya tak akan sesakit ini jika saja perempuan itu bukan Mayang. Orang yang aku sayangi, sahabat yang selama ini menjadi tempatku berbagi. Ya, sejak dulu aku dan Mayang selalu berbagi apapun. Aku yang anak tunggal, merasa begitu bahagia memiliki dia. Sayang sekali, dia kebablasan, merasa aku mau berbagi apapun, termasuk suamiku.

"Apa-apaan ini?!"

Mas Arkan menghadangku di halaman lembaga kursus bahasa inggris milikku. Meski basic keluargaku adalah pengusaha, Papa membebaskan aku merintis karir apapun yang aku suka. Lulus kuliah, aku mendirikan kursus bahasa Inggris khusus percakapan bagi orang-orang yang akan bekerja keluar negeri. Kebanyakan yang belajar di sini adalah para calon BMI. Sampai sesaat sebelum mereka menikah, Mayang masih bekerja denganku, sebagai admin dan bagian keuangan. Sementara Mas Arkan dipersiapkan Papa untuk menggantikannya kelak. Tapi, ternyata, mereka sendiri yang menghancurkan rencana yang seharusnya menguntungkan bagi mereka.

Mas Arkan memban-ting sebuah amplop coklat ke atas kap mobil. Aku tahu, semalam dia baru saja pulang dari Jakarta. Bukankah selama ini aku yang mencatat jadwalnya dan mempersiapkan semua yang dia butuhkan?

Aku mengambil map ber-kop pengadilan agama itu. Meletakkannya kembali di atas kap mobil dengan tenang.

"Gugatan cerai. Memangnya kau pikir apa?"

"Kay, jangan menambah masalah. Aku mengalami kendala dalam pekerjaan, dan kau menambah beban pikiranku."

Aku tertawa. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku ini terdengar sangat lucu. Dia bilang aku menambah masalah? Kenapa dia tidak berpikir bahwa dialah yang menciptakan masalahnya sendiri?

"Mau aku kasih jalan yang mudah? Tandatangani surat itu, tak perlu datang ke pengadilan dan aku akan mengirim akta cerai padamu. Kau juga tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Mayang pasti membutuhkan uang banyak untuk memenuhi gaya hidupnya."

"Kay … "

"Apa? Kau mau marah? Bukankah kau sudah kuberi kesempatan untuk berhenti main-main dengannya dan kembali padaku, Mas? Tapi kau menyia-nyiakan kesempatan itu."

Kami saling tatap dengan bara di mata masing-masing. Lalu, Mas Arkan menghela napas panjang.

"Kay, semua ini masih bisa diperbaiki. Mayang akan mengalah dan bersedia tidak diakui di depan publik, asal aku tak menceraikannya lagi."

"Oh, hebat. Itukah yang dia katakan padamu? Dasar munafik!"

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, mungkin mulai saat ini kau perlu mengawasi sosial media miliknya dan lihat seperti apa dia disana."

Sesungguhnya Mas Arkan seorang workaholic. Hidupnya adalah kerja dan kerja, terutama ketika CV yang dia dirikan menunjukkan perkembangan menakjubkan. Sayang, semakin sukses seorang lelaki, semakin ingin dia menunjukkan kuasanya. Sementara itu, seorang wanita penggoda telah siap menunggu. Klop sudah.

"Sudahlah, kau membuang waktuku. Celia menungguku di rumah."

"Baikah, ayo kita pulang dan bicarakan ini di rumah."

Mas Arkan mencekal tanganku. Aku menatap tangan itu sejenak.

"Tidak. Mulai saat ini, kau tidak kuperkenankan untuk pulang apalagi tinggal di rumah."

"Tapi, Kay … "

"Bukankah kau sudah punya rumah lain untuk pulang?"

Aku menghempaskan tangan Mas Arkan, meraih map coklat dari atas kap mobil dan mendorong benda itu ke depan dadanya. Mau tak mau, Mas Arkan menerima benda itu. Gegas aku masuk ke mobil dan memutar kunci. Tapi dia tak juga beranjak dari sana.

Tiiinnnnn!

Mas Arkan akhirnya memutar dan berhenti di samping jendela mobil.

"Ayo kita bicara. Poligami tidak se-mengerikan yang kau bayangkan!"

Rasanya aku ingin tertawa keras-keras.

"Kau bukan poligami, Mas, tapi selingkuh dan berzina sebelum menikah. Sebaiknya kau berkaca dulu jika mau mengucapkan atau melakukan sesuatu. Minggir! Aku tak akan segan menyerempetmu!"

Mas Arkan tahu betapa nekadnya aku. Dia langsung bergeser dan aku menekan gas, meluncur pulang ke rumah. Poligami katanya?

***

Usai makan malam, kubawa Celia ke dalam kamar mandi, mencucikan tangan dan kaki, serta mengganti pakaiannya. Gadis kecilku terus berceloteh sementara tangan dan kakinya kubersihkan.

"Oh iya, aku baru ingat, tadi, di sekolah, Mimi bilang ada Papa di rumah. Kata Mimi, Papa sering menginap di rumahnya."

Aku menghentikan gerakanku memakaikan dia baju tidur dengan jantung yang seketika berdebar kencang. Mimi anak Mayang, bersekolah di taman kanak-kanak yang sama. Dulu mereka berteman baik, entah bagaimana sekarang.

"Tadi Celia naik abudemen kan pulangnya? Kalau Mimi naik apa?"

"Aku nggak liat," jawab Celia pendek. Aku menghela napas. Mungkin aku harus memindahkan sekolah Celia, tapi, apakah anakku mau? Disana, dia sudah akrab dengan teman-temannya. Dan kenapa harus Celia yang berkorban?

"Apa betul Papa sering di rumah Mimi?"

Celia bertanya lagi. Mas Arkan, kamu benar-benar baji-ngan. Tak tahukan kamu bahwa Celia kelak akan menjadi orang yang paling terluka?

"Emm, mungkin, yang dimaksud Mimi, papanya sendiri, bukan Papanya Celia. Kan, Papanya Celia lagi di luar kota."

Tok tok tok …

Ketukan di depan pintu menghentikan percakapanku dengan Celia. Aku merapikan bajunya dan menyuruhnya berbaring. Membuka pintu, wajah resah Bik Asih terlihat. Wanita berusia lima puluh tahun itu menoleh ke depan sejenak sebelum bicara denganku.

"Anu, Mbak Kay, ada Mas Arkan di depan."

Aku menghela napas panjang, berpikir dengan cepat. Kusuruh Bik Asih masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Celia tak boleh tahu keributan yang mungkin akan terjadi sebentar lagi. Apalagi, Mas Arkan tidak datang sendiri. Mayang duduk di sebelahnya dengan Mimi di antara mereka. Berani sekali Mas Arkan melakukan ini. Apakah dia tidak ingat pada Celia?

"Kau betul-betul kurang ajar ya, beraninya pembantu itu melarangku masuk."

"Dan kalian betul-betul tak tahu malu. Bisa-bisanya datang kesini tanpa minta izin padaku."

"Ini rumahku juga, Kay!"

"Bukan! Sejak kau memutuskan berselingkuh dan menikahi wanita itu, kau sama sekali tak punya lagi hak menginjakkan kaki di rumah ini. Kemarin aku masih berbaik hati padamu demi Celia."

"Kay, kau benar-benar berubah," desis Mas Arkan.

"Semua orang berubah, termasuk suamiku yang akan segera jadi mantan suami, dan sahabatku yang telah menjadi mantan sahabat."

"Kay … "

"Katakan mau apa kalian malam-malam begini?"

Tiba-tiba saja mereka tampak tegang. Saling lirik dengan gesture tubuh tak nyaman.

"Kay, aku kalah tender, padahal aku sudah menghabiskan banyak uang. Tolong, katakan pada Papa, bagaimana caranya agar aku bisa memenangkan lagi tender itu. Aku rugi besar, Kay. Aku akan miskin. Kita akan miskin."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
kapok. miskin miskino Dewe ojok ngajak ngajak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status