Share

Bab 5

AMBIL SAJA SUAMIKU 5

Malam sudah larut. Aku tak bisa tidur, berguling-guling di atas ranjang, memikirkan anakku di kamar sebelah, yang tidur dalam pelukan Ayahnya. Tadi, kudengar sedikit keributan saat Mas Arkan memaksa Mayang pulang sendiri. Entah apa yang dikatakan Mas Arkan padanya, yang jelas, tak lama kemudian, sebuah taksi online datang dan membawa mereka pergi.

Apa yang dipikirkan Mas Arkan saat membawa Mayang dan Mimi ke rumahku malam ini? Berharap aku luluh karena dia tahu betapa aku menyayangi Mayang dan Mimi, dulu? Tak tahukan dia bahwa batas antara rasa sayang dan benci itu hanya seperti kulit ari?

Dulu, aku memang menyayangi mereka. Saat Mayang menikah dengan Hadi, teman kuliahnya, aku ikut bahagia. Bahkan akulah yang kesana kemari mengurus semua karena dia ingin resepsi diadakan di kota. Hamil dan melahirkan Mimi disaat yang hampir bersamaan dengan aku hamil dan melahirkan Celia, membuat kami kian akrab. Mungkin Tuhan memang menciptakan beberapa orang yang ditakdirkan memiliki ikatan batin yang kuat meski tak bertalian darah, pikirku waktu itu.

Celia dan Mimi tumbuh bersama, bersekolah bersama. Ketika Hadi meninggalkannya untuk perempuan lain, kuajak Mayang bekerja denganku di Lembaga Kursus agar dia tak terus bersedih dikhianati suami. Apa yang kurang dariku? Dan apa yang dia pikirkan saat menggoda dan kemudian merampas suamiku? Bukankah dia tahu bagaimana sakitnya dikhianati, kenapa dia justru membalas perlakuan suaminya padaku?

"Kay, kamu sibuk banget sih. Celia minta berenang ke waterboom. Kebetulan aku free hari ini."

Masih kuingat hari itu, saat Mas Arkan menelepon dan meminta aku menemani mereka ke waterboom. Saat itu, salah satu tentor bahasa Inggris di English Expert, lembaga kursus milikku sedang izin sakit hingga aku harus turun tangan sendiri. Tak mungkin meninggalkan siswa yang sudah datang sementara tentor lain memegang kelasnya masing-masing.

"Emm, bagaimana kalau ditemani Mayang saja? Kan sekalian sama Mimi. Kerjaan Mayang bisa ditunda besok. Aku nggak bisa ninggalin students, Mas. Seminggu lagi ada yang akan berangkat ke Singapura."

"Nggak apa-apa?"

"Ya nggak apa-apalah. Mayang itu sahabatku, sudah seperti saudara kandung bagiku."

"Oke. Aku jemput dia disana sekalian gimana?"

"Sip."

Saat itu, tak ada rasa curiga melihat Mayang masuk ke dalam mobil Mas Arkan, duduk di belakang bersama Mimi sementara Celia di depan. Bahkan aku tak curiga saat melihat posisi itu bertukar ketika mereka pulang. Mayang duduk di depan sementara kedua anak kecil itu tidur kelelahan di belakang. Padahal mungkin, saat itulah, mereka saling lirik dan akhirnya memandang, lalu memutuskan dalam hati masing-masing untuk mengkhianatiku.

Aku menghela napas. Memang salahku sendiri, yang membuka peluang ular itu masuk ke dalam rumah. Kupikir tadinya, cinta Mas Arkan cukup besar untuk membuatnya tetap menatapku saja. Kupikir, Mayang adalah perempuan yang tahu balas budi dan berterima kasih hingga tak mungkin menggigit tangan orang yang memberinya makan. Tapi ternyata, dia lebih hina dari seekor anjing.

Diluar, kudengar suara tiang listrik dipukul satu kali. Sudah larut malam. Aku berdiri, melangkah keluar dan membuka pintu kamar Celia perlahan. Plafon dengan bintang-bintang yang memancarkan sinar lembut yang berasal dari pantulan lampu tidurnya, menyambutku. Di atas kasur dengan sprei Winnie the Pooh itu, Celia lelap dalam pelukan Ayahnya.

Aku menelan ludah, kelu. Kututup lagi kamarnya dan kembali ke kamarku sendiri. Benarkah aku terlalu keras pada Mas Arkan? Dia memang belum sekalipun mengucap kata talak, tapi, fakta bahwa dia kini mempunyai istri lain, membuatku tak mampu memaafkannya.

***

Rasanya aku baru tidur sekejap saat suara adzan subuh di kejauhan terdengar begitu syahdu. Aku bangun dengan kepala sedikit pusing karena kurang tidur. Kupaksa diriku bangun, mandi dan salat subuh. Turun ke dapur, aroma masakan yang harum sudah menguar. Bik Asih yang sedang mengaduk mie goreng jawa di atas wajan, menoleh padaku.

"Mbak Kay agak pucat. Nggak tidur ya?"

Aku mengangguk, meraih gelas teh panas di atas meja dan menghirupnya perlahan. Dadaku berdebar menunggu Mas Arkan dan Celia keluar dari kamar. Tadi saat ku intip, mereka sedang salat berjamaah berdua di kamar Celia. Ah, Mas Arkan sesungguhnya lelaki yang baik. Dia fasih membaca Al-Quran dan suaranya tartil saat mengimami kami salat. Sayang sekali, dia tak tahan pada godaan ulat bulu itu.

"Bundaaa!"

Celia datang, bergandengan tangan dengan Mas Arkan dan langsung menghambur ke pangkuanku.

"Semalam Ayah cerita dongeng Putri Celia. Putti Celia masuk ke dalam hutan dan bertemu harimau, lalu ditolong oleh gajah dan kelinci."

Itu pasti dongeng karangan Mas Arkan sendiri. Suara Celia riang. Tampak sekali kalau dia sangat bahagia. Rabb, jangan biarkan hatiku bimbang. Aku tak mungkin bisa ikhlas berbagi hati dan tubuhnya dengan perempuan lain. Dan aku juga tak akan menyuruhnya menceraikan Mayang. Sudah terlambat.

Aku mencium puncak kepala Celia. Dia sudah rapi dan wangi. Salah satu kelebihan Mas Arkan lainnya, dia telaten mengurus Celia.

"Silakan, Mbak, Mas, dan anak cantik. Sudah semuanya."

Bik Asih meletakkan piring terakhir, berupa salad buah berlimpah parutan keju, kemudian berlalu meninggalkan meja makan. Aku mengambil piring untuk Celia, mengisinya dengan mie goreng kesukaannya.

"Ayah, suapin ya."

Oh, kenapa tiba-tiba Celia jadi manja? Padahai sejak usia tiga tahun, dia sudah biasa makan sendiri. Tapi, sebelum Mas Arkan menjawab, suara ponselnya memekik. Dia berdiri dan merogoh saku celananya, menerima telepon dari seseorang entah siapa.

"Apa? Oke, saya segera kesana!"

Lalu, tanpa menoleh lagi, lelaki itu pergi dengan langkah tergesa-gesa, dan tak lama, suara mobilnya meninggalkan rumah terdengar, lalu menjauh dan lenyap.

Apa yang lebih penting baginya dari pada Celia?

Di kursinya, anakku duduk sambil berlinang air mata.

***

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau ibu yg g berguna dan terlalu drama. terlalu banyak beretorika.
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status