Share

Bab 6

AMBIL SAJA SUAMIKU 6

PoV MAYANG

Sakit sekali melihat dia masuk ke dalam rumah itu dan membiarkan aku dan Mimi pulang sendirian. Berada di dekat Kayyisa, Mas Arkan terlihat sangat berbeda. Dia tampak lemah dan tak berdaya. Sungguh berbeda saat bersamaku. Dia seperti bukan Mas Arkan yang dengan gampang tergoda lirikan mataku.

"Bawa Mimi pulang sekarang. Celia membutuhkan aku."

Suaranya keras, tidak lagi lembut dan mesra seperti kemarin. Aku dihantam rasa cemburu mendengarnya. Bukankah aku dan Mimi juga membutuhkan dia?

"Tapi, Mas. Mimi akan menangis kalau kau tak di rumah."

Mas Arkan melotot.

"Mayang, ini masalah genting. Aku harus meluluhkan hati Kayyisa, dan Celia adalah kelemahannya. Kita diambang kehancuran. Kau tahu berapa kerugianku? Dua ratus juta, Mayang!"

Ah, tol*l! Seharusnya uang itu cukup untuk membeli mobil baru untukku.

"Pulang, aku pesankan taksi online."

Mas Arkan mengeluarkan ponsel dan dengan cepat melakukan order. Aku cemberut menatapnya.

"Mas nggak sayang kami lagi. Aku tahu, kami hanya beban bagimu."

Biasanya, dia akan langsung luluh melihat air mataku. Dia akan langsung memeluk dan menanyakan apa yang kuinginkan. Tapi hari ini, dia tampak gusar karena aku merajuk.

"Jangan membuatku pusing, Mayang. Turuti aku kali ini."

Dia bahkan tak mau menatap Mimi.

Aku menghela napas. Baiklah, aku mungkin harus mengalah malam ini demi sebuah tujuan yang lebih besar. Tapi akan aku pastikan Mas Arkan tak akan pernah kembali pada Kayyisa. Gagal tender sekali nggak akan membuatnya miskin, kan? Dia punya perusahaan besar, uangnya banyak. Buktinya saja rumah itu, dalam waktu sebulan saja, Mas Arkan mampu membelikan rumah yang cukup mahal buatku. Dan oh, setelah ini, aku akan memaksa Mas Arkan membelikan aku mobil sendiri sehingga tak harus pergi-pergi dengan taksi online. Dan sejujurnya, aku iri melihat Kayyisa mengendarai honda BR-V putihnya yang mulus itu. Dia terlihat keren sekali.

Iri dan cemburu. Itulah sebenarnya yang kurasakan pada Kayyisa. Bagaimana mungkin ada orang seberuntung dia? Yang lahir dari keluarga kaya raya dan tak pernah kekurangan apapun? Lalu, aku mencoba mendekatinya, dan ternyata dia anak yang ramai dan ceria. Kami akrab dan bersahabat semakin erat. Persahabatan yang sangat menguntungkan bagiku karena sejak itu, aku tak pernah kekurangan uang jajan. Bude Narti, tempatku menumpang tinggal, tak lagi mengomel karena aku banyak makan. Aku sudah kenyang sebelum pulang ke rumah, karena Kayyisa selalu mengajakku makan di rumahnya sepulang sekolah.

Lalu, kelulusan SMA tiba. Dia dengan mudahnya memilih universitas dan jurusan yang dia inginkan. Tentu saja tak ada universitas yang menolak calon mahasiswa kaya dan cerdas sepertinya. Sementara aku, hanya bisa menatap dengan iri.

"Perusahaan Papa biasanya ngasih dana beasiswa untuk sepuluh anak setiap tahun. Aku akan minta Papa memasukkan namamu. Kamu pasti bisa kuliah."

Angin segar datang. Aku akhirnya kuliah dengan bantuan keluarga Kayyisa. Bahkan, uang kost dan biaya hidupku ditanggung perusahaan. Tadinya aku akan bekerja di perusahaan Papanya Kayyisa, tapi, usai wisuda, aku memilih menikah dan jadi Ibu rumah tangga saja. Rasanya lebih enak rebahan dan menerima gaji dari suami daripada capek kerja. Kalau kurang, toh aku selalu bisa minta pada Kayyisa.

Sampai tragedi itu menimpaku. Mas Hadi mengkhianatiku. Dia diam-diam kawin lagi di Surabaya sana. Sakit sekali rasanya saat dia akhirnya memilih si selingkuhan daripada aku dan Mimi. Aku akhirnya jadi janda, dan kemana lagi aku mengadu dan minta bantuan kalau bukan pada Kayyisa?

Aku akhirnya menerima tawarannya bekerja sebagai admin di lembaga kursusnya. Ya, apa boleh buat. Aku tak boleh terlihat terlalu mengandalkan dia. Dengan bekerja padanya, aku bisa meminta apa saja dan dia selalu memberi dengan senang hati atas nama persahabatan.

Lalu, entah kapan mulanya, tiba-tiba saja tatapanku terpaku pada sosok Mas Arkan. Lelaki tampan, gagah dan rupawan yang menjadi suami Kayyisa. Aku tahu Mas Arkan punya perusahaannya sendiri. Dia tidak tergantung pada Kayyisa. Dan saat tanpa sengaja mata kami bertemu, aku tiba-tiba saja tahu apa yang kuinginkan dan apa yang harus aku lakukan.

Menjadi istri seorang pengusaha yang kaya raya. Menjadi nyonya di rumahku sendiri, meski harus menyingkirkan Kayyisa. Kenapa tidak? Bukankah sudah terlalu kama Kayyisa hidup damai dan sejahtera? Kini saatnya dia mencoba menghadapi badai kehidupan.

Badai yang aku ciptakan.

"Bu, sudah sampai."

Lamunanku buyar. Taksi online berhenti di depank rumahku. Rumah yang sangat aku banggakan karena keindahan desain dan interiornya. Mas Arkan membuatkannya untukku, dengan memanggil arsitek terkenal agar rumahku menjadi sebuah bangunan yang indah dan nyaman ditempati.

Setelah membayar ongkos taksi, kugendong Mimi yang tertidur. Uh, sulit juga ternyata membuka pintu rumah sambil menggendong. Dasar gobl*k Mas Arkan! Kalau saja dia tidak kalah tender kemarin, tentu kami tak harus mengemis seperti ini pada Kayyisa.

Setelah memastikan Mimi tidur pulas, aku bersiap. Mandi lagi, menyemprot parfum ke sekujur tubuh dan memakai lingerie yang seksi. Mas Arkan mungkin sedang bicara dengan Kayyisa, tapi, aku pastikan saat dia pulang nanti, dia kembali jatuh dalam pelukanku. Tak akan kubiarkan tambang emasku berpaling lagi.

***

Aku terbangun karena menggigil. Ketiduran, dengan hanya memakai lingerie sementara AC kusetel kencang membuatku kedinginan. Kuraih ponsel untuk melihat waktu, dan seketika saja aku terbelalak. Sudah jam enam pagi. Aku melompat bangun dan melihat keluar. Tak ada mobil Mas Arkan. Tak ada dia dimanapun.

Dia tidak pulang semalam.

"Arrrggghhh!"

Aku tak mampu menahan kesal, menjerit sekuat tenaga sambil menjambak rambutku sendiri. Bagaimana kalau … bagaimana jika Mas Arkan kembali ke pelukan Kayyisa dan meninggalkan aku?

Aku tak akan sanggup.

Aku akan sangat marah

Dan aku akan melakukan apa saja untuk mencegah hal itu terjadi. Selama Mas Arkan masih bisa menjadi tambang emas bagiku, dia selalu layak dipertahankan.

"Mama?"

Mimi, berdiri di pintu kamar dengan mata ketakutan, menatapku dan tak berani mendekat. Setelah sekian lama, dia melihat lagi aku yang kehilangan kendali dan menjerit seperti orang gila.

"Mimi, sini!"

Gadis kecil itu mendatangiku dengan ragu. Kuberikan ponsel ke tangannya, lalu ku cubit dia. Sekejap saja, Mimi menangis kesakitan. Kuberikan ponsel padanya.

"Telepon Papa Arkan. Bilang padanya Mama jatuh di kamar mandi dan tak bisa bangun!"

Dia mengangguk takut-takut, masih sesenggukan dan menerima ponsel dariku yang sudah kusambungkan ke ponsel Mas Arkan. Dengan dada berdebar, kudengar suara Mas Arkan menjawab di seberang sana. Tangis Mimi pastilah yang pertama dia dengar.

"Apa? Oke, saya segera kesana!"

Saya. Dia bilang saya pada Mimi. Apa dia lupa bahwa dia seharusnya membiasakan Mimi memanggilnya Papa?

Aku tertawa getir. Kusuruh Mimi menunggu di ruang tamu setelah kuputar kuncinya agar bisa dibuka dari luar. Lalu, aku melangkah ke kamar mandi.

Waktunya membuat pertunjukan.

***

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
semoga jatuh nya Mayang bener2 parah biar patah itu kaki nya dn juga biar bokong nya sakit g bisa d gerakin lagi biar farsh itu bsru karma awal ...
goodnovel comment avatar
Khoir Moch
Saya suka KK lanjutkan
goodnovel comment avatar
Isabella
gak taunya jatuh beneran rasain
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status