"Aku terbawa kesal, bu. Habisnya aku merasa dia bodoh sekali sudah memberikan tubuhnya padahal laki-laki itu tidak memberikan apa-apa. Terus menyamakan aku dengan pria brengsek itu. Aku akui aku nakal, bu. Tapi aku masih menghargai wanita. Aku memakai Rini dengan imbalan yang lebih. Aku membelikannya mobil dan lain-lain walaupun sebagiannya bukan uangku.""Masalahnya sekarang itu yang harus kamu fokuskan adalah bagaimana caranya apa yang sedang dialami oleh Gina ada jalan keluarnya.""Nah, ini juga masalahnya, bu. Bagaimana mau mendapatkan jalan keluar kalau laki-laki itu saja tidak diketahui keberadaannya? Ibu dengar sendiri kan kalau Gina tidak tahu dimana rumah pria itu dan tempat kerjanya? Ibu pikir aku Intel bisa cari rumah pria brengsek itu tanpa diberitahu?""Aku mengerti maksudnya. Mencari orang yang tidak kita kenal memang tidak mudah atau bahkan rumit. Tapi tidak juga dengan cara mencela adik kamu. Adik kamu memang salah. Tapi jangan disudutkan. Saat ini dia pasti sedih, bin
Bagai petir di siang hari. Galih dan Marni kaget luar biasa begitu mendengar cerita Gina. Mau tidak percaya tapi Gina sendiri yang bercerita. Apa ini hanya prank?"Kamu jangan main-main dengan kami, Gin," ucap Galih sembari melangkah mendekati tempat tidur.Gina mengalihkan pandang pada Galih. "Tapi aku tidak main-main, mas. Aku serius. Saat ini aku memang sedang hamil anak dia.""Kalau begitu beritahu padaku siapa namanya dan alamatnya. O ya, nomer ponselnya saja dulu. Aku akan menelponnya.""Untuk apa mas menelponnya?""Tentu saja untuk meminta pertanggungjawaban atas kehamilan kamu!" sahut Galih dengan suara meledak. "Kenapa harus ditanyakan lagi sih?!""Tapi dia sudah punya istri dan anak, mas. Tadi kan aku sudah bilang.""Mau dia punya istri sepuluh dan anak seratus sekali pun, aku akan tetap menghubungi dia! Dia harus mempertanggung jawabkan apa yang terjadi sama kamu!""Maksud mas, dia tetap harus menikahi aku meskipun sudah punya anak dan istri? Aku jadi istri keduanya begitu
Bahu Galih mengendik. "Tidak taulah, bu. Kan Gina juga baru datang. Belum sempat nanyain ada apa. Tapi sepertinya terjadi apa-apa karena wajahnya basah dengan airmata dan rambut awut-awutan.""Duh, kenapa ya?" tanya Marni pada dirinya sendiri dengan perasaan khawatir."Baiknya ibu tanyakan langsung sekarang pada Gina. Takutnya memang sudah terjadi sesuatu sama dia.""Iya, deh." Marni pun masuk ke dalam kamar Gina disusul oleh Galih yang hanya sampai di pintu saja. Menurut Galih lebih baik ibunya saja yang bertanya karena sama-sama perempuan sedangkan dia hanya akan memperhatikan saja. Dan yang pertama kali mereka lihat adalah Gina sedang menangis dalam keadaan berbaring miring membelakangi pintu sambil memeluk bantal guling."Gin, ada apa kamu pulang dalam keadaan menangis begini?" tanya Marni sembari mengambil duduk di tepi tempat tidur. Gina tak menjawab. Gadis itu terus saja menangis. Malah tangisnya bertambah sedikit mengencang. Mendapati hal itu, Marni semakin penasaran dengan
"Kalau begitu tak ada gunanya kamu menjadi suami Rini!" sahut Siti dengan wajah marah dan tidak terima. "Rini butuh suami yang kaya! Bukan suami miskin!"Galih menelan saliva. "Kenapa ibu bisa bicara seperti itu? Memangnya siapa yang menginginkan aku menjadi suaminya Rini? Kalian bukan? Bahkan kalian memaksa aku untuk segera menikahi Rini."Mata Siti melebar mendengar jawaban itu sebagai ekspresi tak menyangka. Mulutnya pun turut menganga. "Apa kamu bilang?! Berani kamu menjawab seperti itu?!""Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, bu.""Yang membuat kami kesal adalah kenapa kamu tidak mengatakan kebenaran ini dari dulu?! Kalau Rini tahu kamu pria miskin, tentu dia tidak mau ada hubungan dengan kamu! Apalagi sampai hamil anak kamu!""Aku tidak pernah mengatakan pada Rini kalau aku pria kaya, bu. Rini sendiri yang mengambil kesimpulan kalau aku pria kaya. Terus, yang menginginkan kehamilan adalah Rini sendiri. Aku sering mengingatkannya untuk tidak lupa meminum pil KB. Eh, dia malah ti
Mendengar itu, tubuh Rini gemetar. Dia merasa langit baru saja runtuh. Bagaimana tidak, dia sudah memberikan diri sepenuhnya pada Galih dan menaruh harapan yang sangat besar pada pria itu demi bisa hidup tak berkekurangan. Tapi tiba-tiba dia mendengar pengakuan Galih kalau suaminya itu pria miskin yang tidak memiliki apa-apa."Kamu jangan membohongi aku, mas. Bilang kalau kamu bukan pria miskin. Bilang juga kalau rumah ini dan toko adalah milik kamu," ucap Rini menggebu. Dia menolak untuk menerima kenyataan yang sudah dijelaskan oleh semua orang yang sekarang ada di rumah ini."Tapi memang bukan aku pemilik rumah ini dan toko. Rumah ini dan toko adalah warisan orangtua Citra untuk Citra. Aku tidak membawa apa-apa masuk rumah ini selain mahar yang tidak seberapa.""Jadi kalau toko itu milik Citra, usahamu sekarang apa, mas?"Galih menelan saliva. Sebenarnya dia malu untuk mengakui. "E... aku sedang nganggur sekarang. Belum tau mau buka usaha apa. Bagaimana bisa aku harus mengakui rumah
"Apa-apaan ini?! Astaga! Kenapa kamu mengeluarkan semua barang-barang Citra dari kamarnya, Rin?!"Suara yang tiba-tiba muncul itu membuat semua orang menoleh ke sumbernya. Tampak Galih berjalan mendekati Rini dengan wajah syok."Apa perlu kamu tanyakan kenapa aku mengeluarkan semua barang-barang calon mantanmu itu dari kamar ini, mas? Tentu saja karena aku mau memakainya. Sekarang itu aku sudah jadi istri sah kamu. Aku berhak atas rumah dan kamar ini. Wanita itu harus keluar dari rumah ini. Begitu pun dengan pembantu tuanya itu. Aku tidak sudi mempunyai pembantu pembangkang seperti dia," jawab Rini dengan wajah tidak bersalah."Masalahnya kamu tidak bisa mengusir Citra dari rumahnya sendiri, Rin!" sahut Galih dengan nada tinggi tertahan. Dia bisa ada di sini sekarang karena Citra yang menelponnya. Citra melaporkan apa yang dilaporkan Sumi dan memintanya untuk membawa Rini pulang. "Kenapa tidak bisa?! Ini kan rumah kamu dan hasil kerja keras kamu, mas! Hanya karena ada Manisa di rumah