Amy masih berdiri di tengah-tengah ruangan, area yang semula terang mendadak menjadi redup. Sekitar mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkelap-kelip di dinding. Di hadapannya, terhampar sembilan boneka cantik dengan penampilan dan gaya yang berbeda. Setiap boneka entah bagaimana tampak bersinar dengan cahaya aneh, seolah-olah menyimpan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Gadis kecil yang mudah marah maupun tertawa itu berdiri di sisi lain ruangan, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Amy.Gadis aneh itu tersenyum miring, wajahnya berubah-ubah antara kegelapan dan kegilaan. "Pilihlah, tuan putri," katanya dengan suara yang menggema di ruangan itu. "Tapi dengan satu syarat.""Apa itu?""Salah satu boneka ini memiliki benda yang Anda cari. Pil keabadian. Tuan putri hanya boleh memilih satu kali dan ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensi."Amy merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Dia melangkah mendekati boneka-boneka itu, tangannya gemetar saat dia m
Di tepi danau yang tenang, sinar bulan menerobos melalui dedaunan, menciptakan bayangan yang indah di permukaan air. Di tengah hutan yang sunyi, Amy dan Rain bertemu setelah berpisah selama beberapa waktu.Amy dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke danau. Rain mendekatinya dengan langkah mantap. Mereka saling bertatapan, lalu Amy memulai percakapan."Dari mana kamu tahu aku alergi jahe?""Aku tahu semua tentangmu.""Tapi bagaimana ... sudahlah, kemarin, kamu pergi begitu saja," alih Amy dengan suara yang terdengar sedih.Rain terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Maaf, aku tidak ingat. Apa yang terjadi kemarin?"Amy merasa kesal. "Kamu tidak ingat? Kamu datang ke kamarku lalu pergi begitu saja tanpa kata-kata. Aku menunggumu, tapi kamu tidak kembali."Rain menggelengkan kepala. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingat."Amy bangkit dari tempat duduknya, wajahnya memancarkan kekecewaan. "Kamu selalu begitu, Rain. Selalu datang
Permukaan danau yang tenang menarik perhatian Rain selama sesaat. Pria itu menatap datar sembari bersandar pada pilar bangunan penginapan yang berbahan kayu solid. Di belakangnya, beberapa pria muda berbicara dengan nada sedikit bercanda. Meski tak berniat menguping, Rain mampu mendengar mereka sesekali menyebut-nyebut pil keabadian."Apa menurutmu benda itu benar-benar ada?""Yang benar saja. Jika bukan karena Nona Emilia menawarkan bayaran fantastis, aku tidak akan mau repot-repot datang kemari," timpal pria dengan rambut cepak diikuti gelak kecil."Cuma uang yang ada dipikiranmu," seloroh yang lain."Memangnya kau tidak? Realistis saja. Dunia peri dan semacamnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Omong kosong.""Kau terlalu berani. Ck, ck ....""Kita ikuti saja sampai mana nona muda itu mau bersikeras."Seseorang menepuk pundak Rain yang membuat kepala pria itu sedikit menoleh. Gideon kini berdiri di sampingnya, ikut menatap lurus pada permukaan danau yang cantik nan misterius
Dua wanita berdiri berhadapan bagaikan bercermin. Rambut hitam panjang yang sama, juga irish mata ungu gelap yang senada."Siapa kamu? Di mana teman-temanku?" Amy memeluk lengan ketika Amethyst berjalan mendekat. Ketenangan yang wanita itu tunjukkan tak ayal membuatnya tidak nyaman."Mereka baik-baik saja. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan keadaanmu sendiri," balas Amethyst.Jarak mereka tidak sampai satu meter sekarang. Amy masih memberikan tatapan was-was. Ia melirik kamar luas itu, tak menyadari tatapan simpati milik Amethyst."Apa tanda itu sudah muncul?" Amethyst mengangkat tangan seakan ingin menyentuh sosok yang serupa dengannya itu."Tanda apa yang kamu maksud?" tanya Amy, tangannya refleks menyentuh perut. Ia paham makna pertanyaan itu tapi masih berharap semua hanya kesalahan."Lebih awal dari semestinya." Amethyst tersenyum tipis.Bukannya menjawab, Amy memandangi wanita cantik dengan dress putih menutup mata kaki itu. Terpancar jelas kesedihan di matanya. Tak lama berse
Velia mengaduk sup jamur, memastikan rasa dan mematikan kompor tak lama kemudian. Ketika memasuki ruang tengah, tangannya telah membawa nampan berisi dua mangkuk sup yang masih mengepul."Kita makan dulu," ujarnya pada Amy yang fokus membolak-balik halaman buku bersampul hitam."Terimakasih, Vel. Tapi aku belum lapar," tolak Amy tanpa menoleh sama sekali.Mendengarnya Velia hanya mampu menghela napas kasar. Ia letakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk tepat di samping Amy. Amy terlihat tidak terganggu, ia masih terlihat fokus.Percuma sedari tadi ia membuka buku untuk ke sekian kali. Tulisan dalam buku sama sekali tak ia mengerti. Amy mendengkus frustasi. Tangannya meletakkan buku dengan asal di sofa samping lalu ujung secarik kertas tampak menyembul."Kita tidak tahu siapa wanita aneh tadi. Bagaimana kalau dia cuma mau nipu?" Velia yang khawatir hendak menyentuh lengan sahabatnya. Namun ia harus mengurungkan karena Amy saat itu juga berdiri."Villa Putih. Aku harus ke sana sekaran
"Ayo naik!" ajak Tora ketika berhasil menyusul Amy.Amy menatapnya sejenak. Tertegun. Ia sudah ingin membuka suara tapi Tora berucap kembali."Katamu ini tentang nyawa seseorang. Mau naik apa tidak?" Dengan segera Amy menuruti. Pikirannya kembali fokus pada Rain. Meski itu hanya gambaran tidak nyata dari kabut merah, tak dipungkiri rasa khawatir kini menjalari seluruh tubuhnya."Ke mana kita?" tanya Tora lagi sebelum menjalankan kendaraan roda duanya."Rumah kontrakanku, tolong cepat ya," pesan Amy masih dengan wajah kalut.Tora tidak bertanya lagi. Tak berapa lama, mereka pun sampai. Namun bukannya menuju tempat tinggalnya selama beberapa bulan belakangan, Amy justru dengan cepat menghampiri halaman rumah Pak Tino. Tampak Gideon sedang mengutak-atik jam tangan tua di toko barang antik itu."Gideon," panggil Amy yang langsung membuat pria berkacamata mata itu menoleh."Hm? Oh, hai, ada yang bisa kubantu?" tanya pria itu dengan senyum mengembang."Di mana Rain? Aku ingin bertemu denga