Share

6. HATE

RASA BENCI

Sam berkali-kali memukul kemudi mobil dengan keras. Dia menggeram, berteriak seorang diri. Matanya memerah, bukan karena menangis, melainkan rasa benci yang teramat sangat pada seseorang.

Pria itu. Pria yang telah merebut calon istrinya. Pria yang sudah merebut orang yang sangat dicintainya.

“Kenapa harus dia?! Kenapa harus kau, Sialan!!!” gertaknya.

Tidak pernah terpikirkan olehnya jika mereka harus bersaing dengan cara seperti ini. Sam sangat membenci pria itu. Sudah tidak terbendung dan bahkan kalau dia menginginkannya, sudah sejak tadi dia mendobrak pintu rumah pria itu dan meninjunya sampai mati.

Bunyi klakson mobil di jalanan mengurai amarah pria tersebut. Sam mendengkus dan menggeleng. Dia menyeringai picik.

“Kita lihat saja, siapa yang akan menang, Steve Smith!”

***

Steve memasukkan beberapa buah batang kayu ke perapian, mengubah posisinya sedikit hingga kobaran api membesar perlahan. Suhu hangat mulai mengurai ke atmosfer ruangan.

Mata birunya menatap selongsong kayu di tepi perapian. Pikirannya masih berkecamuk setelah Fiona menjelaskan semuanya. Perjodohan itu adalah yang paling dihindari oleh Steve, tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya bukan siapa-siapa di sini. Hanya seorang pria yang kebetulan bermalam dengan seorang perempuan dan membuatnya hamil.

Pria itu bangkit dan berjalan menghampiri seorang wanita yang tengah menyeruput secangkir cokelat panas. Dia duduk di sampingnya dan mendaratkan kedua tangan di atas lutut.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyanya pelan.

Fiona meletakkan cangkirnya di atas meja. Dia menggeleng. “Isi kepalaku kosong rasanya,” jawabnya. Tangannya pelan-pelan menyentuh perut dan mengusapnya dengan lembut.

Hal itu menarik perhatian Steve. Dia menghela napas panjang. “Sam adalah adik tiriku,” katanya hingga membuat perempuan di sampingnya menoleh. “Aku memutuskan untuk hidup terpisah dengannya setelah selesai kuliah,” lanjutnya.

“Benarkah?” selisik Fiona.

Steve mengangguk menimpali. Sementara itu, wanita di sampingnya lantas menutup mulut. Berusaha tidak memercayai ucapan Steve, tetapi begitulah kenyataannya. Pria itu pun tidak berkutik dan masih berdiskusi dengan isi pikirannya sendiri.

Keduanya terkunci dalam diam selama beberapa saat.

“Kenapa?” Fiona mulai bersuara. “Kenapa harus serumit ini?”

Pria berambut hitam itu lantas menyentuh kedua tangan Fiona dan menggenggamnya erat. Mata mereka saling bersitatap, mengisi kekosongan melalui isyarat yang tidak terungkap.

“Tenanglah,” ucap Steve. “Aku masih di sini. Kita bisa melewatinya bersama.”

“Tapi, Steve—”

“Fiona,” sela pria itu. “Percayalah padaku.”

“Bagaimana aku bisa memercayaimu, Steve? Kau tahu bagaimana statusku, lalu apa yang harus aku lakukan?” Tubuh wanita itu gemetar mendadak. “Semua orang pasti akan tahu. Ayah pasti akan tahu soal kenakalanku selama ini.”

Steve tersentak. Kedua mata wanitanya itu berkaca-kaca menatap dirinya sekarang. Hatinya berdesir miris. Dia menggeleng.

“Tidak, Fiona,” ucapnya. “Percayalah padaku. Aku akan lakukan apa pun untukmu! Untuk anak kita!”

Fiona menatap Steve dalam-dalam. Sorot mata pria itu mengisyaratkan kesungguhan dan ketulusan yang tidak pernah didapatkannya dari orang lain selama ini. Dengan Sam pun, Fiona tidak pernah mendapatkan tatapan seperti ini meski mereka hanya berteman dulu.

Wanita itu mengangguk pelan. Sampai akhirnya, Steve membawa tubuhnya ke dalam pelukan. Usapan lembut diberikan pria itu, serta kecupan yang tiada henti di kepala Fiona, dan membawa energi positif untuk mereka.

***

Sementara itu, Sam masuk ke apartemennya. Dia berjalan tergesa-gesa ke jendela kaca di ruang tengah yang menampakkan pemandangan kota. Matanya menatap ke luar jendela, tersirat kebengisan di sana. Napasnya tertahan dengan segala emosi yang memberontak dalam hatinya. Urat nadi di pelipisnya menyembul begitu jelas.

Dia mengambil ponsel di saku jas dan menghubungi seseorang. Sampai sekian menit kemudian, panggilan diangkat.

“Kau di mana sekarang?” tanyanya pada lawan bicara.

Seseorang di seberang sana berbicara selama beberapa saat sebelum akhirnya Sam menyeringai. Dia berdecih.

“Aku tidak ingin kau memburunya sekarang,” ucap pria itu. “Aku ingin kau memburu wanita ini.”

***

Pagi-pagi sekali, Fiona sudah bersiap-siap. Pakaiannya juga sudah rapi. Setelah memasukkan tablet ke tas, dia melihat seorang pria yang baru saja selesai merapikan bekas sarapan mereka di dapur. Pria itu melepas celemek dan menghampirinya.

Sebuah kecupan lembut diberikan Steve di kening wanita karir tersebut. Kedua tangannya merengkuh pinggang Fiona dengan amat manis.

“Apa kau harus pergi sekarang?” tanya pria itu.

Fiona mengangguk. “Ada beberapa proyek yang harus kukerjakan hari ini,” jawabnya. “Aku akan kembali sebelum malam. Kau tenang saja.”

Steve menggeleng. “Biar aku yang menjemputmu nanti,” katanya. “Bagaimana kalau aku yang mengantarmu? Kau hamil sekarang dan aku tidak ingin kau kelelahan.”

“Tidak, Steve. Aku baik-baik saja—”

“Setelah kejadian kemarin?” potong pria tersebut dan langsung membuat Fiona diam seketika. “Aku mencemaskanmu,” lirihnya kemudian.

Fiona menangkupkan kedua tangan di wajah Steve, membingkai rahang tegas yang sangat disukainya itu. “Aku memahamimu,” katanya. “Tapi aku tidak ingin ada yang tahu kalau aku berhubungan denganmu. Nanti. Perlahan. Beri aku waktu.”

Steve membuang muka sejenak. Sebenarnya, dia cukup memaklumi betapa keras kepalanya Fiona. Mereka sudah saling berhubungan dan sekarang wanita itu sedang hamil anaknya. Namun, kenapa Fiona tidak jujur saja pada yang lain? Apa sesulit itu, bahkan hanya untuk mempertahankan hubungan mereka jika memang wanita itu mencintainya?

“Steve ….” Fiona merengek dengan mata bulatnya dan itu membuat pria di hadapannya meluruh sekejap.

Steve akhirnya mengangguk pelan. “Jika setelah jam 7 kau belum kembali, aku akan menyusulmu ke kantor,” ucapnya.

Wanita itu mengangguk setuju. Dia beralih mengambil tas hendak berangkat, tetapi pria itu mencekal lengannya. “Ada apa?”

Tanpa jeda, Steve mendaratkan kecupan di bibir perempuan tersebut, melumatnya dengan sangat lincah. Fiona hendak memberontak, tetapi ciuman Steve terlalu manis untuk dilepas olehnya. Beruntung, lisptiknya waterproof jadi dia tidak akan marah jika pria itu melumat habis kedua belah bibirnya sekarang.

Fiona menepuk pelan pipi Steve sebelum akhirnya dia benar-benar mengambil tas dan ke luar rumah. Pria itu mengantarnya sampai ke mobil dan melepaskannya pergi begitu saja. Mobil milik perempuan itu melaju meninggalkan halaman rumah Steve, menghilang di ujung jalan.

Steve lantas berjalan masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara menarik perhatiannya. Dia menoleh. Tidak ada apa pun di sekitar rumahnya selain kemeresak ranting dan angin dingin samar. Sesaat kemudian, dia memutuskan untuk masuk dan menutup pintu.

Seseorang di balik pohon bergegas menelepon. “Dia sudah berangkat.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status